MASALAH Pertamina akan dibicarakan lagi di DPR minggu ini.
Pembicaraan di luar itu sudah banyak terdengar. Misalnya.
sejumlah tokoh masyarakat yang diwaancarai oleh majalah ekonomi
& sosial Prisma, edisi bulan Mei 1976. Antara lain mereka adalah
Ketua DPA Wilopo, yang diangkat Presiden jadi ketua Komisi
Empat (menelaah perkara korupsi) 1970. Pengacara Adnan Buyung
Nasution kebetulan punya pengalaman pribadi sehubungan dengan
pinjaman Pertamina. Tak ketingalan Jacob Tobing,Ketua Komisi VI
(Pertambangan-industri) DPR.
WILOPO:
Dari dulu saya meminta pemerintah agar meneliti anggaran
perusahaan yang diajukan Pertamina. Ini saya kemukakan karena
banyaknya anggaran yang justru minta hutang, serta banyaknya
penyimpangan yang terjadi dalam keuangan Pertamina. Kelemahan
dan kelalaian yang dilakukan Pertamina antara lain:
* pajak yang belum dibayar kepada pemerintah tahun 1967 sebesar
Rp 1,344 milyar, tahun 1968 Rp 5,454 milyar, tahun 1969
perhitungan dengan cara Menghitung Pajak Sendiri (MPS) belum
dilakukan dan belum dibayar.
* bonus berupa kompensasi data kontrak-karya tahun 1968 - 1969
US$ 10,6 juta belum diserahkan.
* dana pembangunan tahun-tahun 1958 - 1963 dan 1966 - 1969
keti-ka itu belum dibayar. Bahkan anggaran perusahaan Pertamina
tahun 1970 sudah defisit sebesar US$ 17 juta yang ingin ditutup
dengan pinjaman jangka panjang. Ini menimbulkan situasi yang
sulit di mana pemerintah sedang cari kredit, perusahaan negara
juga meminta hutang.
Ketika minyak naik sebesar 400% tahun 1974, DPA juga
memperingatkan agar kita hemat dengan "anugerah" berupa kenaikan
itu. Sebab, bukan produksi yang naik melainkan keadaan yang
memungkinkan. Tapi kita seolah-olah telah menjadi "mabuk
minyak". Apa yang dikemukakan enam tahun yang lalu, semuanya
telah terjadi. Pertamina menjelma menjadi ''monster'' yang
menelan kita semua, dengan hutang-hutang yang membesar bagaikan
bola salju.
Bagaimana Membayar Hutang?
Menurut saya kita selesaikan secara giat dan tekun. Saya yakin
dalam tempo dua tahun kita sudah mampu membayar semuanya.
Kita tidak usah sampai berfikir bahwa negara ini sudah bangkrut.
Bagaimanapun minyak masih tetap mengalir. Dengan modal ini kita
masih dapat mengharapkan pinjaman dari luar negeri. Seperti
halnya tahun lalu kita mendapatkan US$ 1 milyar. Italia saja
yang hampir bangkrut karena tidak punya minyak, atau India, toh
tertolong, apalagi kita.
A.B. NASUTION:
Pada tahun 1972 kebetulan saya menjadi penasehat hukum dari
konsortium bank asing di mana Pertamina hendak mengajukan
kredit, lebih kurang sebesar US$ 200 juta. Pada kesempatan itu
saya sarankan klien saya agar permohonan pinjaman itu ditolak
andaikata tanpa ijin Dewan Komisaris dan Bank Indonesia sebagai
Bank Sentral.
Waktu pendapat itu saya kemukakan, orang-orang di sekeliling
Ibnu Sutowo naik pitam .Mereka kemudian mencoba mendiskreditkan
saya dengan berbagai cara. Dalam kesempatan ini saya bersyukur
bahwa para teknokrat melalui Sekretaris Jenderal Departemen
Keuangan akhirnya dapat membujuk Ibnu Sutowo untuk memenuhi
ketentuan seperti yang saya sarankan itu. Sesudah itu saya tidak
pernah diajak serta lagi dalam segala urusan pinjaman Pertamina.
Ibnu Sutowo . . .
Wajar kalau Ibnu Sutowo bukan hanya dipecat, tapi juga kemudian
diusut, baik secara pidana maupun perdata. Dalam perkara
penyelundupan? beberapa orang di"Nusakambangan"-kan. Sedangkan
Ibnu Sutowo dibiarkan mondar-mandir Indonesia-Amerika.
Hingga sekarang kita ketahui sumber informasi (tentang
hutang-hutang Pertamina) adalah Pemerintah Republik Indonesia.
Dus baru satu fihak saja. Di sini kita juga harus bersikap adil
dan perlu mendidik jiwa demokratis. Berikanlah kesempatan yang
sama bagi Ibnu Sutowo beserta braintrustnya di Pertamina untuk
juga memberikan penjelasan. Rakyat berhak tahu dan mendapatkan
informasi dari kedua fihak.
JACOB TOBING:
Kontrol DPR sudah kita laksanakan dengan meminta Ibnu Sutowo
beberapa kali berbicara di depan DPR. Ketika ditanya apakah DPR
"puas" kita jawab: "sudah". Ini mungkin karena kwalitas kita
wakil-wakil rakyat ini yang belum memadai. Menteri Pertambangan
Sadli, Menteri Keuangan Ali Wardhana, Menteri Ekuin Widjojo dan
Presiden Soeharto sendiri sudah berbicara di depan DPR. Sesuai
dengan wewenang DPR semuanya sudah kita lakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini