Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"bagaikan bola salju..."

Pendapat tiga tokoh: wilopo, adnan b nasution dan jacob tobing, tentang hutang pertamina, serta penyimpangan keuangan pertamina, wajar ibnu sutowo diusut secara pidana maupun perdata. (nas)

22 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH Pertamina akan dibicarakan lagi di DPR minggu ini. Pembicaraan di luar itu sudah banyak terdengar. Misalnya. sejumlah tokoh masyarakat yang diwaancarai oleh majalah ekonomi & sosial Prisma, edisi bulan Mei 1976. Antara lain mereka adalah Ketua DPA Wilopo, yang diangkat Presiden jadi ketua Komisi Empat (menelaah perkara korupsi) 1970. Pengacara Adnan Buyung Nasution kebetulan punya pengalaman pribadi sehubungan dengan pinjaman Pertamina. Tak ketingalan Jacob Tobing,Ketua Komisi VI (Pertambangan-industri) DPR. WILOPO: Dari dulu saya meminta pemerintah agar meneliti anggaran perusahaan yang diajukan Pertamina. Ini saya kemukakan karena banyaknya anggaran yang justru minta hutang, serta banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam keuangan Pertamina. Kelemahan dan kelalaian yang dilakukan Pertamina antara lain: * pajak yang belum dibayar kepada pemerintah tahun 1967 sebesar Rp 1,344 milyar, tahun 1968 Rp 5,454 milyar, tahun 1969 perhitungan dengan cara Menghitung Pajak Sendiri (MPS) belum dilakukan dan belum dibayar. * bonus berupa kompensasi data kontrak-karya tahun 1968 - 1969 US$ 10,6 juta belum diserahkan. * dana pembangunan tahun-tahun 1958 - 1963 dan 1966 - 1969 keti-ka itu belum dibayar. Bahkan anggaran perusahaan Pertamina tahun 1970 sudah defisit sebesar US$ 17 juta yang ingin ditutup dengan pinjaman jangka panjang. Ini menimbulkan situasi yang sulit di mana pemerintah sedang cari kredit, perusahaan negara juga meminta hutang. Ketika minyak naik sebesar 400% tahun 1974, DPA juga memperingatkan agar kita hemat dengan "anugerah" berupa kenaikan itu. Sebab, bukan produksi yang naik melainkan keadaan yang memungkinkan. Tapi kita seolah-olah telah menjadi "mabuk minyak". Apa yang dikemukakan enam tahun yang lalu, semuanya telah terjadi. Pertamina menjelma menjadi ''monster'' yang menelan kita semua, dengan hutang-hutang yang membesar bagaikan bola salju. Bagaimana Membayar Hutang? Menurut saya kita selesaikan secara giat dan tekun. Saya yakin dalam tempo dua tahun kita sudah mampu membayar semuanya. Kita tidak usah sampai berfikir bahwa negara ini sudah bangkrut. Bagaimanapun minyak masih tetap mengalir. Dengan modal ini kita masih dapat mengharapkan pinjaman dari luar negeri. Seperti halnya tahun lalu kita mendapatkan US$ 1 milyar. Italia saja yang hampir bangkrut karena tidak punya minyak, atau India, toh tertolong, apalagi kita. A.B. NASUTION: Pada tahun 1972 kebetulan saya menjadi penasehat hukum dari konsortium bank asing di mana Pertamina hendak mengajukan kredit, lebih kurang sebesar US$ 200 juta. Pada kesempatan itu saya sarankan klien saya agar permohonan pinjaman itu ditolak andaikata tanpa ijin Dewan Komisaris dan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Waktu pendapat itu saya kemukakan, orang-orang di sekeliling Ibnu Sutowo naik pitam .Mereka kemudian mencoba mendiskreditkan saya dengan berbagai cara. Dalam kesempatan ini saya bersyukur bahwa para teknokrat melalui Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan akhirnya dapat membujuk Ibnu Sutowo untuk memenuhi ketentuan seperti yang saya sarankan itu. Sesudah itu saya tidak pernah diajak serta lagi dalam segala urusan pinjaman Pertamina. Ibnu Sutowo . . . Wajar kalau Ibnu Sutowo bukan hanya dipecat, tapi juga kemudian diusut, baik secara pidana maupun perdata. Dalam perkara penyelundupan? beberapa orang di"Nusakambangan"-kan. Sedangkan Ibnu Sutowo dibiarkan mondar-mandir Indonesia-Amerika. Hingga sekarang kita ketahui sumber informasi (tentang hutang-hutang Pertamina) adalah Pemerintah Republik Indonesia. Dus baru satu fihak saja. Di sini kita juga harus bersikap adil dan perlu mendidik jiwa demokratis. Berikanlah kesempatan yang sama bagi Ibnu Sutowo beserta braintrustnya di Pertamina untuk juga memberikan penjelasan. Rakyat berhak tahu dan mendapatkan informasi dari kedua fihak. JACOB TOBING: Kontrol DPR sudah kita laksanakan dengan meminta Ibnu Sutowo beberapa kali berbicara di depan DPR. Ketika ditanya apakah DPR "puas" kita jawab: "sudah". Ini mungkin karena kwalitas kita wakil-wakil rakyat ini yang belum memadai. Menteri Pertambangan Sadli, Menteri Keuangan Ali Wardhana, Menteri Ekuin Widjojo dan Presiden Soeharto sendiri sudah berbicara di depan DPR. Sesuai dengan wewenang DPR semuanya sudah kita lakukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus