Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Kalangan pegiat lingkungan mengkritik respons pemerintah dalam mengatasi memburuknya kualitas udara DKI Jakarta dan sekitarnya. Mereka menilai strategi pemerintah, yang berfokus pada upaya menekan emisi dari sektor transportasi, tak akan mengatasi polusi udara secara menyeluruh di wilayah Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami tidak menyanggah bahwa sektor transportasi masih menjadi penyumbang terbesar. Tapi cara pemerintah seperti ini seakan-akan menegasikan sumber polusi lainnya,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Suci Fitria Tanjung, pada Selasa, 15 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suci menilai pemerintah terus mengabaikan fakta bahwa kontributor terbesar polusi udara Ibu Kota lainnya adalah sektor energi. Dia mengingatkan bahwa saat ini Ibu Kota dikepung oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang beroperasi dalam radius 100 kilometer dari Jakarta. "Kami melihat potensi polusi muncul dari PLTU-PLTU itu," ujarnya. "Dan ini tak pernah ditangani."
Pembangkit listrik yang dimaksudkan Suci adalah PLTU Suralaya, PLTU Labuan Unit 1-2, PLTU Lontar Unit 1-3, PLTU Babelan Unit 1-2, PLTU Banten Unit 1-2, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU Jawa 5, PLTU Jawa 7 Unit 1-2, PLTU Jawa 9, dan PLTU Jawa 10. Kajian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), yang dirilis pada Agustus 2020, juga telah menyoroti pembangkit-pembangkit tersebut karena dinilai berkontribusi terhadap polusi udara di Jakarta.
Masalah polusi udara Ibu Kota kembali menjadi perbincangan publik. IQAir, perusahaan teknologi asal Swiss yang berfokus pada pengukuran kualitas udara, mencatat indeks kualitas udara Jakarta dalam sebulan terakhir terus berada di angka 110-164 dengan kategori "tidak sehat". Polusi udara Jakarta dan sekitarnya juga tergolong yang terburuk di dunia.
Sepanjang Selasa kemarin, indeks kualitas udara Jakarta—yang direkam IQAir dari 10 stasiun pemantauan—kembali berada di level 155, memburuk dari sehari sebelumnya di level 152. Adapun pada hari ini, setidaknya hingga pukul 03.00 WIB, indeks telah meloncat ke level 160. Konsentrasi PM2.5, partikel debu dalam udara, mencapai 72 mikrogram per meter kubik, 14 kali lipat dari ambang batas kualitas udara ideal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Suasana polusi udara Jakarta, 25 Juli 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Persoalan ini masuk ke telinga Presiden Joko Widodo. Senin lalu, Jokowi menggelar rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, untuk membahas upaya mengurangi polusi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Membuka rapat itu, Jokowi mengakui terdapat beberapa faktor yang menyebabkan memburuknya kualitas udara.
"Antara lain kemarau panjang selama tiga bulan terakhir yang menyebabkan peningkatan konsentrasi polutan tinggi," kata Jokowi. "Serta pembuangan emisi dari transportasi dan aktivitas industri di Jabodetabek, terutama yang menggunakan batu bara di sektor industri manufaktur."
Dalam rapat itu, Jokowi memberikan arahan kepada seluruh kementerian dan lembaga yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. Dalam jangka pendek, pemerintah akan melakukan intervensi berupa rekayasa cuaca untuk memancing hujan, menerapkan regulasi percepatan batas emisi Euro 5 dan Euro 6, memperbanyak ruang terbuka hijau, dan jika diperlukan, mendorong perkantoran menerapkan kerja di rumah.
Selain itu, menurut Jokowi, dalam jangka menengah, pemerintah akan konsisten melaksanakan kebijakan mengurangi penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil dan mendorong peralihan ke transportasi massal. Dia mengatakan elektrifikasi kendaraan umum juga akan dipercepat dengan bantuan pemerintah. "Dalam jangka panjang perlu memperkuat aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus dilakukan pengawasan kepada sektor industri dan pembangkit listrik, terutama di sekitar Jabodetabek," ujarnya.
Suci menilai strategi jangka pendek dan menengah tersebut menunjukkan pemerintah hanya melihat sumber utama pencemaran udara Jakarta adalah sektor transportasi. Sedangkan upaya pengendalian kualitas udara pada sumber emisi tidak bergerak, terutama sektor industri manufaktur dan PLTU batu bara, tidak pernah serius dilakukan. "Kami menyuarakan ini sejak 2019, tapi kami belum melihat upayanya masuk ke dalam rencana strategis pemerintah," ujarnya.
Menurut Suci, mempertimbangkan faktor cuaca sebagai salah satu penyebab meningkatnya polusi udara merupakan pandangan keliru, apalagi menganggap hujan buatan bisa menjadi solusi. “Karena sebenarnya konsentrasi polutan tetap tinggi saat musim hujan,” ujarnya. “Justru kami khawatir saat hujan justru dampak pencemarannya akan ke tanah dan sumber air yang digunakan masyarakat.”
Aktivis lingkungan melakukan demonstrasi menuntut hak udara bersih di depan Balai Kota DKI Jakarta, 16 September 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Bukan Masalah Baru
Buruknya kualitas udara bukan persoalan baru di DKI Jakarta. Pencemaran udara Jakarta pula yang mendorong Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta—disingkat Ibu Kota—untuk menggugat Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, serta Gubernur Banten pada Juli 2019. Gugatan tanpa permintaan ganti rugi yang dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu hanya punya satu tuntutan: pemerintah pusat dan daerah mengendalikan pencemaran udara di Ibu Kota dan sekitarnya.
Putusan majelis hakim atas gugatan citizen law suit Koalisi Ibu Kota tersebut baru datang pada 16 September 2021. Hakim mengabulkan gugatan para pemohon. Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dinilai melakukan perbuatan melawan hukum lantaran tak menjalankan upaya pengendalian polisi udara di Ibu Kota. Vonis serupa diberikan kepada Menteri LHK, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan.
Majelis hakim menilai para tergugat telah lalai dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat di wilayah Jakarta. Dalam putusannya, hakim memerintahkan Presiden Joko Widodo mengetatkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem.
Adapun Menteri LHK diperintahkan untuk mensupervisi Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten dalam menginventarisasi emisi lintas batas di wilayah mereka. Satu-satunya petitum penggugat yang ditolak majelis hakim adalah agar pengadilan menyatakan para tergugat telah melanggar hak asasi manusia.
Kini, dua tahun sejak putusan pengadilan itu dibacakan, masalah buruknya kualitas udara DKI Jakarta tak kunjung tertangani. Perintah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat masih sebatas tertuang dalam salinan putusan. Perkara ini seakan-akan tak berujung. Pemerintah pusat menolak disalahkan atas pencemaran udara di Jakarta. Pada November dan Desember 2022, Menteri LHK dan Presiden RI secara berturut-turut mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung setelah upaya banding mereka ditolak oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Ogah Menyalahkan Pembangkit Batu Bara
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Reliantoro, mengakui pola pencemaran udara di Jakarta memang berasal dari Bekasi, Bogor, Depok, dan Tangerang Selatan. Namun dia membantah keberadaan PLTU di sekitar Jakarta sebagai biang polusi. “Di Banten, PLTU Suralaya, sebetulnya sifatnya sumber emisi lokal. Tidak ada yang dari PLTU Suralaya masuk ke Jakarta,” kata Sigit. “Arah angin ke Selat Sunda, tidak ke daratan.”
Dia juga menolak tudingan bahwa penggunaan batu bara oleh industri sebagai sumber polusi. Dari catatan pemerintah, kata Sigit, batu bara hanya menyumbang 0,42 persen bahan bakar yang digunakan industri manufaktur. “Kalau pembangkit biasanya dialihkan menggunakan gas,” ujarnya. Menurut Sigit, untuk mengurangi dampak polusi di Jakarta, pemerintah telah mengkaji delapan rekomendasi, yakni pengadaan kendaraan operasional listrik, pengetatan standar emisi transportasi, pengadaan bus listrik, uji emisi, peralihan dari angkutan pribadi ke umum, konversi ke kompor listrik, pengendalian debu dari konstruksi, dan pelarangan pembakaran sampah terbuka.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengatakan sektor transportasi menyumbang 70 persen polusi udara di Jakarta. Menurut dia, pertumbuhan volume kendaraan di Ibu Kota terus meningkat setiap tahun sehingga berdampak terhadap kemacetan dan peningkatan emisi gas buang. “Sehingga meningkatkan konsentrasi dari polutan udara,” ujarnya.
Dia berpendapat bahwa kegiatan usaha atau industri yang menggunakan bahan bakar fosil juga turut menyumbang pencemaran udara. Masalah bertambah ketika masih ada masyarakat yang tak mempedulikan lingkungan, seperti tetap memusnahkan sampah dengan cara dibakar. Namun, menurut Asep, pola cuaca dan topografi Jakarta pun dapat mempengaruhi tingkat polusi udara. Musim kemarau seperti saat ini, kata dia, tak ada hujan yang bisa membantu melarutkan polutan di udara. “Kondisi cuaca yang kering dan kecepatan angin yang lemah menyebabkan terakumulasinya polutan di udara dalam jangka waktu yang cukup lama,” ujarnya.
IMAM HAMDI | HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo