Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Presiden yang Tak Paham Hukum

Feri Amsari

Feri Amsari

Dosen Hukum Tata Negara dan peneliti di Pusat Studi Politik Hukum Pemilu dan Demokrasi Universitas Andalas

Dalam 100 hari pemerintahannya, Prabowo Subianto mengabaikan sejumlah undang-undang. Tak memiliki kemampuan berpidato.

2 Februari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Rudi Asrori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Program kerja 100 hari kabinet Prabowo Subianto di bidang hukum tak memuaskan.

  • Prabowo tak memiliki kemampuan untuk menjawab kegelisahan masyarakat.

  • Dia tidak pernah menerbitkan peraturan untuk memperbaiki pemberantasan korupsi.

SEJAK menjalani inaugurasi pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto langsung berdiri di atas “es tipis”: silap melangkah bisa terbenam. Bila bergerak terlalu berhati-hati, dia malah dianggap lamban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terry Sullivan, pakar politik University of North Carolina, Amerika Serikat, menyebutkan setiap presiden selalu berdiri di atas “es tipis” pada 100 hari pertamanya. Periode itu digunakan berbagai pihak untuk menilai kompetensi presiden. Pelaku ekonomi akan membaca pasar. Pencari keadilan menimbang proses penegakan hukum. Politikus mewaspadai lawan dan kawan. Rakyat pun memimpikan harapan. Poinnya, penilaian 100 hari pertama adalah cara publik mereka-reka kapasitas dan prioritas presiden. Lalu berapa nilai pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam 100 hari pertamanya di bidang hukum tata negara?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum Franklin Delano Roosevelt menjadi Presiden Amerika Serikat, kompetensi presiden tidak pernah diukur dengan melihat 100 hari pertamanya. Penilaian semacam itu tidak pernah ada dalam konstitusi dan peraturan apa pun. Roosevelt menggunakan terminologi “first 100 days” untuk membangun harapan di tengah resesi ekonomi yang parah. Permasalahan terbesar yang dihadapi kala itu adalah angka pengangguran yang mencapai 25 persen dan tidak stabilnya perbankan. Beberapa puluh tahun kemudian, Presiden Barack Obama menghadapi isu yang mirip: kendala ekonomi, tenaga kerja, dan kesehatan.

Keduanya menempuh dua solusi yang cukup mirip: mengeluarkan paket peraturan yang berpihak kepada publik dan pelaku usaha serta membangun optimisme rakyat melalui pidato yang hebat. Malangnya, dua langkah itu merupakan kelemahan serius Prabowo sejak hari pertama dilantik.

Roosevelt menerbitkan 50 paket undang-undang yang dirancang untuk membenahi tatanan ekonomi dan mengurangi angka pengangguran. Meningkatnya jumlah lapangan kerja dan murahnya harga bahan kebutuhan pokok sukses menambah geliat ekonomi Amerika. Obama juga menerbitkan peraturan kesehatan (Obamacare) dan kebijakan yang berpihak kepada tenaga kerja. Pembentukan peraturan yang tepat selalu menjadi indikator keberhasilan 100 hari pertama.

Presiden Prabowo malah bermasalah dengan beberapa peraturan. Contoh paling memalukan adalah ketika Prabowo mengabaikan Undang-Undang Kementerian Negara dan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia dalam menyusun kabinet. Revisi Undang-Undang Kementerian Negara dilakukan untuk menambah jumlah menteri, wakil menteri, utusan khusus, dan staf khusus presiden. Presiden bahkan “tidak membaca” Undang-Undang TNI ketika melantik Sekretaris Kabinet. Alasan Istana bahwa Sekretaris Kabinet bukanlah jabatan setingkat menteri dan karena itu dapat diisi prajurit aktif memperlihatkan bahwa jajaran Presiden tidak membaca peraturan perundang-undangan dengan baik.

Penyakit tidak mematuhi hukum kian terasa ketika Mahkamah Konstitusi memutus perkara Nomor 60/PUU-XII/2024 yang menutup kesempatan anak bungsu Presiden Joko Widodo maju dalam pemilihan kepala daerah 2024. Padahal putusan Mahkamah yang sebelumnya telah memberi jalan si sulung mencalonkan diri pada pemilihan presiden yang lalu. Partai koalisi Prabowo sempat meradang atas putusan “berani” Mahkamah Konstitusi nomor 60 dengan berupaya mengubah kembali Undang-Undang Pilkada. Namun demonstrasi besar bertanda pagar “Peringatan Darurat Garuda Biru” menghentikan langkah koalisi pemerintah itu.

Prabowo justru tidak belajar dari demonstrasi itu. Ia malah berpidato hendak mengubah pemilihan kepala daerah menjadi tak langsung. Pilkada oleh dewan perwakilan rakyat daerah dianggap lebih baik dan menghemat anggaran. Selain memperlihatkan ketidakpahaman terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pidato itu salah mengutip contoh negara tanpa pemilihan langsung. Semua negara itu bersistem parlementer yang tentu saja berbeda dengan sistem Indonesia yang presidensial. Ibaratnya, Prabowo tak paham beda antara catur dan halma.

Selain pidato yang bermasalah, peraturan yang diterapkan cenderung “mencekik” rakyat. Simak rencana peningkatan pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen atau rencana zakat untuk program makan bergizi gratis. Dua kebijakan ekonomi itu terkesan sebagai upaya berburu sumber keuangan baru. Walau batal dilakukan, Presiden telanjur dinilai tidak berencana dan tak sistematis dalam mengelola negara.

Prabowo perlu merancang strategi seperti Roosevelt melalui peraturan dan pidato yang kuat agar publik menilai ada harapan cerah di masa depan. Jangan sibuk membedaki wajah pemerintahan dengan survei kepuasan saja sebagaimana kerja pendahulunya.

Richard Neustadt dalam buku Presidential Power and the Modern Presidents berpendapat bahwa kebiasaan publik menilai kapasitas presidennya adalah tradisi ketatanegaraan yang baik. Sebagai kepala negara cum pemerintahan, Neustadt menjelaskan, kepemimpinan seorang presiden dinilai melalui dua jenis kategori sederhana, yaitu “kuat” atau “lemah”.

Presiden disebut kuat ketika mampu membangun harapan banyak orang melalui ucapannya. Sebab, kuasa presiden sesungguhnya adalah kemampuannya meyakinkan rakyat bekerja bersamanya seperti yang dilakukan Sukarno, Nelson Mandela, dan Barack Obama. Sebaliknya, presiden yang lemah adalah presiden yang kerap keliru menyampaikan pesan. Lalu apa kategori bagi Prabowo jika merujuk pada 100 hari pertamanya?

Prabowo sulit disebut presiden kuat. Contohnya dalam kasus pagar laut di Tangerang, Banten. Alih-alih meyakinkan orang banyak, para menterinya justru bersilang pendapat. Menurut Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, Presiden mengambil kebijakan keliru ketika memerintahkan militer sebagai pasukan pertahanan mencabut pagar itu. Komando presiden mesti tidak sekadar benar, tapi juga harus tepat secara hukum.

Beberapa pidato Prabowo yang lain bahkan lebih menyedihkan. Misalnya pidato berburu koruptor hingga ke Antarktika. Selain terdengar berlebihan, pidato itu hanya berisi premis. Secara empiris, Presiden tidak pernah menerbitkan peraturan yang memperbaiki upaya pemberantasan korupsi yang dirusak pendahulunya.

Pidato itu sama lemahnya dengan pidato yang menyatakan sawit merupakan bagian dari hutan. Siapa orang Istana yang membuat Presiden terlihat sekonyol itu? Padahal, bagi publik, isu sawit akan dilihat sarat kepentingan pribadi karena keluarga Presiden dikenal sebagai pebisnis sawit. Belum lagi jika dikaitkan dengan Pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 tentang bisnis yang harus pro-lingkungan hidup.

Terlepas dari ketidakpahamannya perihal konstitusi dan peraturan, Prabowo dianggap kuat dalam diplomasi karena cakap berbahasa asing. Namun, ketika Prabowo terpeleset berdiplomasi dengan Cina tentang sembilan garis putus-putus, dugaan asal menyampaikan pernyataan kian dirasakan.

Melihat hal itu, dalam 100 hari pertama pada lima ranah kekuasaan presiden, yakni birokrasi, pembentukan undang-undang, penegakan keadilan, hubungan luar negeri, serta pertahanan dan keamanan, bisa dikatakan Prabowo masih “omon-omon”. Bukankah keberhasilan 1.000 langkah ke depan ditentukan dari langkah pertama? Jika diperkenankan menilai rapor 100 hari pertama, bagi penulis, Presiden Prabowo belum naik kelas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus