Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Prabowo Subianto tak memprioritaskan reformasi hukum dalam 100 hari kerja kabinetnya.
Pemisahan Kementerian Hukum dan HAM menjadi tiga kementerian sebagai contoh Prabowo mengutamakan bagi-bagi kekuasaan.
Institusi penegakan hukum justru banyak masalah.
“Orang hukum susah diajak melakukan revolusi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Sukarno mengucapkan kalimat itu dalam pembukaan Kongres I Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia di Yogyakarta, 26 November 1961. Ia mengutip pidato aktivis buruh Jerman, Karl Liebknecht, dalam bahasa Belanda: “Met jusristen kan je revolutie maken”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ujaran Liebknecht itu bisa berarti dua hal. “Orang hukum” adalah penghalang revolusi karena ia berada dalam kelas borjuis. Tapi bisa jadi ungkapan ini muncul karena ada hal-hal dalam prinsip negara hukum yang tak bisa dikompromikan oleh orang-orang yang paham hukum.
Ungkapan serupa datang dari William Shakespeare, seorang pujangga Inggris, yang pada 1591 menorehkan satu bagian dari naskah drama Henry VI: “Let’s kill all the lawyers!”. Kalimat ini di Indonesia kerap digunakan sebagai cemooh kepada advokat curang dan korup. Padahal penggalan naskah drama ini justru menggambarkan bahwa hukum bisa menjadi penjaga masyarakat dari kekuatan jahat.
Ini pula yang disadari oleh penguasa culas di banyak negara. Saat demokrasi sedang dimundurkan dan sistem hukum masih bisa berdiri tegak mempertahankan konstitusi, hukum akan dirusak sehingga ia tak mampu lagi menjaga negara hukum dan demokrasi.
Negara hukum memang tak hanya menaruh beban pada kekuasaan yudikatif. Prinsip ini juga harus dijalankan oleh lembaga eksekutif dan legislatif karena prinsip negara hukum adalah soal pembatasan kekuasaan dan hak asasi manusia. Hukum membatasi tindakan pemerintah dan pemerintah harus memastikan bagian dari sistem peradilan di bawahnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan sistem pemasyarakatan, memberikan keadilan yang substantif melalui prosedur yang ajek. Pemerintah juga harus selalu menaati hukum dan memastikan penaatan hukum, baik yang dibuat dalam legislasi maupun putusan pengadilan yang harus dieksekusi.
Repotnya, “orang hukum” yang barangkali dimaksud Liebknecht, yang hanya menjadi tukang bagi kelompok elite, memang sangat banyak dan justru membuat dalil-dalil bagi prinsip hukum yang dipelintir atau bahkan menciptakan peraturan yang menyimpang dari konstitusi.
Inilah yang bisa dibaca dari 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Bukannya mengumumkan dan melaksanakan program reformasi hukum sebagai fondasi bagi jalannya Republik, pemerintah justru menempatkan hukum hanya di pinggiran. Hukum hanya menjadi pasal-pasal tak berlandaskan moralitas, yang bisa dibawa ke tengah sebagai justifikasi tindakan pemerintah, lalu diletakkan kembali di pinggiran sekadar untuk menopang penyalahgunaan kekuasaan.
Lihat saja, sejak sebelum dimulainya pemerintahan, Undang-Undang Kementerian Negara sengaja diubah untuk memuluskan jalannya pemerintahan yang didesain untuk membagi-bagi kekuasaan. Jumlah kementerian ditambah. Di sini soalnya bukan jumlah kementerian belaka—karena memang tidak ada teori dan rumus soal ini—tapi juga proses perubahannya yang dipaksakan dan tanpa partisipasi bermakna.
Dalam kabinet raksasa ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dibagi menjadi tiga, yaitu Kementerian Hukum, Kementerian HAM, serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Ketiganya kemudian dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, tujuan pemisahan ini adalah mempertajam fungsi, tugas, dan program. Namun ada pertanyaan yang tersisa tentang fungsi Kementerian HAM, yang beririsan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan justru dijauhkan dari fungsi sebelumnya. Sewaktu masih berbentuk direktorat jenderal, kementerian itu berdekatan dengan proses legislasi, bantuan hukum, serta pemasyarakatan, yang kini terpisah di dua kementerian lain.
Tak lama, Menteri HAM justru menimbulkan kontroversi ketika ia menyatakan keinginannya mendirikan Universitas HAM satu-satunya di dunia sehingga membutuhkan anggaran sebesar Rp 20 triliun. Pernyataan ini menggambarkan ketidakpahamannya akan tugas dan fungsi kementeriannya serta sistem pendidikan dan metode pembelajaran HAM.
Pengumuman kabinet tak hanya mengejutkan dari segi jumlah, tapi juga dalam hal orang-orang yang mengisinya. Beberapa menteri masih tersangkut kasus hukum. Meski mereka “belum” menjadi terpidana, komitmen pada pemberantasan korupsi bisa terbaca dari tidak adanya menteri yang rekam jejaknya bermasalah. Begitu pula potensi benturan kepentingan yang terbuka luas dengan masuknya menteri-menteri yang dekat dengan oligarki.
Belakangan, berbagai jabatan dan fungsi pemerintahan juga diberikan kepada kerabat presiden dan keluarga pejabat. Bahkan rekrutmen para pendengung di media sosial dan pendukung ke jajaran pemerintahan ditunjukkan tanpa malu-malu lagi. Misalnya diadakannya jabatan utusan khusus untuk orang-orang yang dianggap berjasa dalam kampanye, meskipun rekam jejak dan keahlian mereka terasa tak relevan. Nepotisme dan balas jasa politik makin dianggap normal dan etis.
Di sisi lain, alih-alih menopang negara hukum, institusi-institusi penegakan hukum justru menunjukkan banyak masalah. Beberapa kasus pelanggaran hukum di kepolisian terungkap, dari pemerasan sistematis di Djakarta Warehouse Project sampai pembunuhan siswa di Semarang. Kepolisian juga dijuluki sebagai Partai Cokelat karena peran aktifnya dalam pemilihan umum, terutama pemilihan kepala daerah. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi diwarnai kontroversi sejak penggantian pimpinannya sehingga Koran Tempo pernah menyinggungnya dalam tajuk berjudul “Komisi Politisasi Korupsi”.
Presiden Prabowo sendiri kemudian menambah kekisruhan narasi dengan mengungkapkan keinginannya mengampuni koruptor dalam pidatonya di hadapan mahasiswa. Para menteri dengan cekatan mencarikan pembenaran dan caranya, meskipun secara prinsip pembelajar hukum paham bahwa pernyataan ini salah. Meskipun belakangan diralat, pidato ini menunjukkan tidak adanya kepemimpinan presiden dalam perumusan program kerjanya dalam pemberantasan korupsi.
Indonesia memang tidak sedang melaksanakan revolusi seperti yang dibayangkan Karl Liebknecht atau yang diterapkan Sukarno saat ia mendapat gelar Pemimpin Besar Revolusi dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada 1963. Namun saat ini begitu banyak perbaikan yang harus dilakukan dalam bidang hukum, dari kepolisian dan kejaksaan yang banyak dikritik sampai partisipasi bermakna dalam proses legislasi yang kerap diterabas. Karena itu, bila pemerintahan ini memang serius hendak membangun demokrasi konstitusional, desain reformasi hukum semestinya dijadikan prioritas yang diumumkan kepada publik berikut tolok ukurnya.
Harus diingat, meski kata “pemerintah” dekat dengan kata “perintah,” tugas pemerintah bukanlah memerintah rakyatnya, melainkan menghormati, memenuhi, dan melindungi hak-hak rakyat. Pemerintah adalah pelayan publik dan hukum adalah instrumen untuk menjalankan tugas-tugasnya itu dengan baik.
Barangkali kita memang tak bisa berharap pada pemerintahan yang dibebani dua bandul pemberat seperti bola besi yang membuat orang hukuman pada masa lalu tak bisa bergerak. Dua bandul itu adalah cara pemerintahan ini mendapatkan kekuasaannya dan rekam jejak mereka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan negara hukum, seperti hak asasi manusia. Jangan lupa, kekuasaan kali ini didapat justru dengan pertama-tama memelintir hukum dengan nepotisme, lalu dilanjutkan melalui penyalahgunaan hukum dalam proses pemilihan.
Tak mudah melepas dua bandul ini dari kaki mereka. Tapi, bagaimanapun, hukum tidak boleh berada di pinggiran. Hukum harus menjadi titik sentral dalam Republik. Bukan hanya soal keadilan, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah juga hanya bisa dicapai bila ada kepastian hukum. Gustav Radbruch, seorang filsuf Jerman pada awal abad ke-20, mendalilkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tiga nilai yang dijaga keseimbangannya dalam berhukum. Seharusnya bandul pemerintahan tidak mematikan hukum, tapi menjadi bandul pengayun untuk menyeimbangkan nilai-nilai hukum itu. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo