Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Tiga bulan Presiden Prabowo Subianto menjabat, arah kebijakan ekonominya tak kunjung jelas.
Program dan proyek ekonomi populisnya bersifat retoris dan cenderung tidak berbasis data.
Maju-mundurnya berbagai program ekonomi mengindikasikan minimnya peran teknokrat dalam Kabinet Merah Putih.
PRESIDEN Prabowo Subianto tak kunjung menunjukkan arah strategi ekonominya. Selama lebih dari tiga bulan menjabat, dia melansir sejumlah kebijakan, antara lain penghapusan tagihan utang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); penundaan kenaikan pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen; penaikan upah minimum provinsi 6,45 persen; serta permintaan kepada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah agar mengirit belanja demi membiayai proyek prioritas seperti makan bergizi gratis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun semua kebijakan populis itu malah membuat kepercayaan investor cenderung turun. Hal itu tecermin dari anomali di pasar keuangan. Tiga bulan terakhir, imbal hasil surat berharga negara terus naik, padahal tingkat inflasi rendah—pada Desember 2024 cuma 1,57 persen. Lazimnya, keduanya berbanding lurus. Artinya ada yang tidak beres sehingga investor menuntut bunga lebih tinggi sebagai dampak peningkatan risiko penempatan uang mereka di kas negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama 100 hari awal pemerintahan Prabowo, investor dan dunia usaha cenderung memilih menunggu dan melihat perkembangan perekonomian. Ada ketidakyakinan mereka terhadap banyaknya proyek pemerintah yang bersifat retoris.
Misalnya rencana pemerintah menghapus kredit macet UMKM. Untuk tahap awal, ada 67 ribu pelaku usaha yang utangnya dianulir dengan nilai Rp 2,4 triliun. Total utang yang diputihkan Rp 14 triliun. Peruntukan sisanya belum jelas. Sedangkan sasaran program ini, seperti tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2024, berjumlah 1 juta pelaku usaha.
Instruksi Prabowo agar kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah berhemat sekilas terkesan mulia. Bagaimana tidak, dia meminta para bawahannya mengurangi pemakaian uang negara untuk perjalanan dinas, sewa kendaraan, seremoni, dan sebagainya hingga Rp 306 triliun.
Namun sepertinya Presiden lupa bahwa dia memberi jabatan bagi seabrek pendukungnya sehingga ada 109 menteri, wakil menteri, dan pejabat setingkat menteri yang setiap bulan harus digaji dan difasilitasi negara. Jumlah ini melonjak dari 60 pejabat di era Presiden Joko Widodo. Dampak penggemukan kabinet ini adalah tambahan anggaran Rp 40-158 triliun hanya untuk gaji, tunjangan, dan belanja barang.
Bagi pemerintah daerah, kewajiban ikut membiayai proyek prioritas lewat Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 itu bisa mengurangi kualitas pelayanan publik, yang di banyak tempat sudah buruk. Ada juga risiko pelambatan pembangunan infrastruktur, penurunan stimulus daya beli melalui bantuan sosial, dan hambatan pertumbuhan ekonomi. Padahal Prabowo sendiri yang mematok tinggi target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.
Deretan program itu menunjukkan tidak adanya kesatuan dalam kebijakan ekonomi pemerintah Prabowo. Semuanya serba maju-mundur, persis seperti rencana pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara. Kabut makin tebal karena pemerintah tak kunjung menerbitkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Lazimnya, dokumen ini hadir paling lambat tiga bulan setelah presiden dan wakil presiden dilantik. Misalnya saat Presiden Jokowi mengeluarkan RPJMN 2015-2019 pada awal Januari 2015.
Kondisi ini mengindikasikan kelemahan, atau malah ketiadaan, peran teknokrat dalam Kabinet Merah Putih. Memang, masih ada Sri Mulyani Indrawati di kursi Menteri Keuangan. Namun peran ekonom Universitas Indonesia itu tak lagi terasa seperti saat dia dan jajarannya di Kementerian Keuangan membendung krisis moneter global pada 2008-2009. Keberadaan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu lebih terasa sebagai stempel untuk menguatkan klaim sepihak Prabowo bahwa pemerintahannya adalah kabinet zaken, terdiri atas para ahli, bukan perwakilan partai politik. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Kabut Tebal Kebijakan Ekonomi