Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Jejak Permakaman Nazi dan Kisah Deutsche Schule

PENULIS berkebangsaan Jerman, Horst Henry Geerken, membeberkan risetnya tentang jejak Adolf Hitler dan paham Nazi di Indonesia lewat buku Hitlers Griff nach Asien jilid III dan IV. Dua jilid anyar yang terbit tahun lalu ini mendalami temuan Geerken dalam dua buku pertamanya yang berjudul sama. Tulisan Geerken dalam dua jilid barunya antara lain bertolak dari buku harian Otto Coerper yang mengisahkan secara detail sekitar 300 orang Jerman yang sempat dibui di Hindia Belanda. Menurut catatan Coerper, setelah Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, para tawanan itu dibebaskan. Mereka lalu tinggal di Sarangan, kaki Gunung Lawu, Jawa Timur, dan mendirikan Sekolah Jerman atau Deutsche Schule. Coerper juga mendirikan Latihan Opsir Polisi Tentara. Presiden ketika itu, Sukarno, mengirim kadet-kadet sekolah angkatan laut di Yogyakarta untuk mempelajari bahasa Jerman di Deutsche Schule agar mereka memahami peralatan militer yang banyak datang dari negara tersebut. Di antara sederet alumnusnya, terdapat nama Raden Eddy Martadinata dan Donald Isaac Pandjaitan.

8 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERMAKAMAN di kaki Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, itu punya pemandangan yang tak biasa. Dipayungi pohon-pohon karet dan kencana yang menjulang, terdapat sepuluh makam bertanda Eisernes Kreuz, salib baja khas Nazi atau Nationalsozialist, Partai Nasionalis-Sosialis Pekerja Jerman. Area sekitar 20 x 50 meter itu berada di Arca Domas, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Dalam bahasa Sunda Kuno, Arca Domas berarti 800 patung, merujuk pada arca peninggalan Kerajaan Pajajaran yang berada di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kompleks makam Arca Domas beraksen tiga undakan. Di undakan pertamanya ada monumen berisi tulisan berbahasa Jerman, “Dem Tapferen Deutsch-Ostasiatischen Geschwader 1914. Errichtet von Emil und Theodor Helfferich 1926”, yang berarti “Skuadron Jerman-Asia Timur pada 1914 yang Pemberani. Didirikan oleh Emil dan Theodor Helfferich pada 1926”. Monumen tersebut diapit replika patung Ganesha di sebelah kiri dan patung Buddha di kanan. Kedua patung baru ini tidak berkaitan dengan Arca Domas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Naik ke undakan kedua, terdapat delapan kuburan dengan identitas lengkap berisi nama dan jabatan berukuran 2,5 x 0,5 meter. Di undakan ketiga, ada dua makam yang berukuran lebih besar bertulisan “Unbenkannt” alias makam anonim. Saban hari makam itu diurus Ratna, 67 tahun. Ia meneruskan lakon bapaknya sejak 1950-an. Ratna mengaku diberi tugas oleh Kedutaan Besar Jerman di Indonesia untuk mengurus permakaman itu. “Kedubes Jerman membayar saya untuk merawat makam ini,” ujar Ratna saat ditemui Tempo, pertengahan Maret lalu.

Terkadang, kata Ratna, ada orang dari Kedutaan Jerman yang datang untuk mengecek kondisi makam. Ia juga mengungkapkan bahwa tiap November ada upacara peringatan oleh Kedutaan Jerman untuk menghormati mereka yang dimakamkan di sana. Namun kawasan itu belakangan menjadi obyek sengketa lahan yang menghangat karena adu klaim antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dan penggarap lokal yang bercocok tanam di sana sejak 1991. Perusahaan pelat merah itu mengklaim pihaknya mengelola sertifikat hak guna usaha setelah pemerintah Indonesia menasionalisasi lahan bekas perusahaan penjajah pada 1958.

Kapal van Imhoff terlihat di perairan Indonesia, antara 1930-1940. KITLV

Sejarah permakaman Arca Domas lahir dari dua bersaudara, Emil dan Theodor Helfferich, yang berkerabat dengan Wakil Perdana Menteri Kekaisaran Jerman Karl Helfferich. Keduanya datang ke Indonesia setelah pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik pintu terbuka (opendeur politiek) pada 1905, yang memberi kesempatan bagi orang Eropa untuk berinvestasi di sini. Emil datang kira-kira pada 1905, sementara Theodor, yang juga anggota Partai Nazi, baru tiba delapan tahun setelahnya.

Dua saudara itu lalu merintis perkebunan teh di Gunung Mas dan mendirikan pabrik di lahan seluas 900 hektare seusai Perang Dunia I (1914-1918). Kepala Desa Sukaresmi, M. Iib Ibrahim, mengatakan monumen yang dibangun pada 1914 itu baru diresmikan pada 1926, bersamaan dengan kunjungan Hamburg, kapal penjelajah dari Jerman, ke Pelabuhan Tanjung Priok. Sejak itu, area perkebunan juga menjadi tempat peristirahatan para tentara Jerman yang bertugas di wilayah Asia.

Menurut Iib, Helfferich bersaudara menanami lahan perkebunan dengan berbagai macam tanaman, sebagian besar teh. Saking besarnya usaha mereka kala itu, Helfferich bersaudara juga mendirikan pembangkit listrik tenaga air untuk kepentingan operasi pabrik. Namun pembangkit itu kini sudah rusak dan mangkrak. Adapun pabriknya beralih fungsi menjadi kantor Kepolisian Sektor Megamendung.

Dua saudara itu dikenal patriotik. Tak aneh bila mereka kemudian mendirikan tugu setinggi 4 meter di Arca Domas sebagai simbol penghormatan terhadap aksi kepahlawanan Admiral Maximilian Graf von Spee, yang mengomandoi pasukan Jerman Asia Tenggara. Kapal Graf von Spee karam di Kepulauan Falkland pada 8 Desember 1914 dalam bentrokan antara skuadronnya dan tentara Inggris. Tak hanya membangun monumen, Helfferich juga menyiapkan lahan makam untuk para tentara yang tewas.

Selain di blok Arca Domas, makam tentara Jerman disebut berada di wilayah Jonggol, Kabupaten Bogor; dan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Hal itu diungkapkan warga Sukaresmi yang juga bekas pekerja PTPN XI Cikopo Selatan, Agus Hermawan.

•••

KEBERADAAN makam tentara Jerman di Arca Domas menjadi petunjuk tumbuhnya ideologi Nazi di Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan sebelum Adolf Hitler berkuasa pada 1933, perwakilan Nazi sudah bercokol di Hindia Belanda sejak 1931. Kantor pusatnya berada di Batavia dengan cabang yang tersebar di kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Padang, dan Makassar. Bahkan kantor di Hindia Belanda menjadi yang terbesar kedua di kawasan Asia-Pasifik setelah perwakilan Nazi di Cina.

Penulis Jerman, Horst Henry Geerken, dalam bukunya, Hitlers Griff nach Asien (Hitler Merambah Asia)—diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada 2016 dengan judul Jejak Hitler di Indonesia—menyingkap adanya hubungan Jerman dengan Hindia Belanda dan pembangunan basis marinir Jerman di Asia Tenggara. Temuan itu diperdalam Geerken dalam Hitlers Griff nach Asien jilid III dan IV yang terbit tahun lalu. Dua jilid ini merekam tilas ideologi Nazi di Indonesia yang menjadi inspirasi partai politik sebelum kemerdekaan, seperti Partai Gerakan Rakyat Indonesia dan Partai Indonesia Raya pimpinan Mohammad Husni Thamrin. Menurut Geerken dalam bukunya, Hitler tak ragu mengucurkan fulus ke partai-partai pendukung Nazi demi memperluas pengaruh paham ideologinya.

Deretan makam serdadu Jerman yang di Bogor, di Arca Domas, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Maret 2021. TEMPO/M.A Murthado

Dalam jilid anyar ini, Geerken juga mencatatkan temuannya tentang sejumlah bekas petinggi politik Nazi yang bersembunyi di Indonesia pada 1941-1945. Salah satunya Roeder Edsker, bekas pasukan pengawal Hitler (Schutzstaffel/SS) yang disebut terlibat dalam pembunuhan massal di Warsawa, Polandia. Edsker, yang semestinya tergolong penjahat perang dan disidang di Pengadilan Nürnberg seperti begundal Nazi lain, malah bisa tinggal di Jakarta.

Geerken juga mengisahkan lagi orang-orang Jerman di Hindia Belanda yang berpihak pada pejuang kemerdekaan Indonesia dan ikut berperang melawan Belanda setelah kekalahan Jepang. Jerman juga punya andil dalam kemerdekaan Indonesia karena, berkat mesin tik berlogo burung Adler—lambang negara Jerman—milik Hermann Kandeler, bekas komandan basis marinir Jerman di Batavia, naskah proklamasi bisa diketik di atas kertas untuk ditandatangani Sukarno dan Mohammad Hatta. Begitu yang tertulis dalam buku jilid III Geerken yang baru dirilis dalam bahasa Jerman.

Jerman ditengarai mendukung Indonesia karena merasa menghadapi musuh yang sama. Invasi Jerman ke Belanda pada Perang Dunia II, Mei 1940, dibalas Belanda dengan penangkapan terhadap orang-orang Jerman di Hindia Belanda. Tidak pandang bulu. Semua yang punya “darah” Jerman—orang sipil, ilmuwan, dokter, pengusaha, misionaris, bahkan yang sudah menjadi warga negara Belanda—ditangkap dengan brutal dan dijebloskan ke penjara. Ibu dan anak dipisahkan dari bapak. Anak laki-laki berusia di atas 16 tahun dipenjara bersama orang dewasa.

Mereka disebar ke berbagai barak tahanan di Pulau Jawa (Ngawi, Salatiga, Batavia), Maluku, New Guinea (sekarang Irian Barat), dan Sumatera. Seorang saksi hidup, Erich Voigt, menulis dalam buku harian mengenai pengalamannya ditawan di kamp Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta. Kamp berkapasitas 35 barak  itu dipisahkan kawat berduri dan dihuni 2.500 tawanan. Di antara para tawanan, ada orang-orang Belanda simpatisan Nazi dan prajurit Belanda yang terjangkit penyakit kelamin mematikan. Voigt menuturkan, tawanan bisa dibedil kapan saja tanpa sebab. “Tindakan ilegal. Kami diperlakukan seperti binatang,” kata Voigt dalam buku hariannya.

Saat Jepang mulai merangsek Asia Tenggara pada Perang Dunia II, Belanda segera melarikan tawanannya. Pada 23 Desember 1941, sebagian besar tawanan di Onrust digelandang ke kamp tahanan Allas Valei di Aceh. Ada juga yang dibuang ke kamp Judensavanna di Guyana (sekarang masuk wilayah Suriname). Belanda merencanakan pengasingan tawanan di Allas Valei ke Dehra Dun, kamp tahanan milik koloni Inggris di Sri Lanka. Tahanan dibagi menjadi tiga kelompok. Dari Pelabuhan Sibolga, kapal kayu yang membawa mereka berangkat mulai awal Januari 1942. Voigt berada di kapal pertama dan selamat sampai di tujuan. Tapi kapal yang terakhir nahas. Pada 19 Januari 1942, kapal Van Imhoff—kapal barang milik perusahaan perkapalan Die Koninklijke Paketvaart Maatschappij di Batavia—karam di Samudra Hindia setelah sehari sebelumnya dihantam bom dari pesawat Jepang.

Kapal Van Imhoff diserang karena tak dibekali tanda Palang Merah sebagai simbol adanya tawanan di dalamnya. Dari tiga bom yang diluncurkan, satu jatuh persis di sebelah kapal hingga kapal oleng dan rusak berat. Kapten kapal, H.K. Hoeksama, segera saja kabur dengan perahu penyelamat, meninggalkan lebih dari 400 tawanan yang panik. Bahkan, sebelum pergi, Hoeksama sempat memerintahkan enam perahu penyelamat dirusak saja agar tak dipakai tawanan. Walhasil, banyak tawanan tenggelam, di antaranya musikus dan pelukis Jerman yang lama bermukim di Bali, Walter Spies, dan kawan karibnya yang seorang ilmuwan serangga, Hans Friedrich Overbeck.

Sejumlah tawanan lain berhasil menumpang perahu penyelamat. Salah satunya Stephan Walkiwiak, yang mendayung kapalnya dengan tangan sampai ke Pulau Simu, Sumatera. Kisah ini dikutip Geerken dari buku harian Albert Vehring, ilmuwan yang mengayuh rakit buatan sampai ke Pulau Nias, Sumatera. Adapun beberapa tawanan lain tewas karena kelaparan dan kelelahan. Tenggelamnya kapal Van Imhoff masih menjadi pembahasan sampai sekarang. Belanda menyangkal semua tuduhan dan mengklaim mengirim kapal penyelamat, Boelongan. Tapi Vehring menyebut kabar itu bohong karena Boelongan ngacir setelah mengangkut korban dari kalangan orang Belanda.

Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat dan Jepang mulai menduduki Hindia Belanda. Semua tawanan Jerman yang tersisa dibebaskan. Sebagian dari mereka memilih mudik, tapi ada juga yang bertahan di Indonesia. Vehring, yang selamat, misalnya, bersama rekannya malah sempat membantu rakyat Nias membentuk Republik Bebas Nias dengan ia menjadi menteri luar negerinya. Hal itu juga ditulis dalam buku Sejarah Ketjil tulisan Rosihan Anwar.

Sesuai dengan permintaan, Jepang lalu mengangkut sekitar 600 orang Jerman yang separuhnya bocah ke Sarangan di kaki Gunung Lawu, Jawa Timur. Daerah ini berhawa sejuk, cocok bagi mereka yang terbiasa tinggal di negeri empat musim. Di Sarangan kemudian berdiri Deutsche Schule (Sekolah Jerman) dan SORA (Sekolah Olahraga). Sekolah itu memutar tiga lagu kebangsaan: Deutschland, Deutschland Über Alles (Jerman), Kimigayo (Jepang), dan Indonesia Raya, serta mengibarkan empat bendera: Nazi, Jepang, serta Merah Putih dan bendera komunis berlambang bintang dan bulan sabit yang dikibarkan bergantian.

Deretan makam serdadu Jerman yang di Bogor, di Arca Domas, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Maret 2021. TEMPO/M.A Murthado

Kepala Deutsche Schule, Otto Coerper, juga menggunakan gedung sekolah itu sebagai tempat mengajarkan teknik militer kepolisian atau Latihan Opsir Polisi Tentara (LOPT). Di Deutsche Schule, Coerper mengajar matematika serta bahasa Latin dan Jepang. Sebelum perang, ia adalah kepala “Sekolah Kepolisian” milik Belanda di Sukabumi, Jawa Barat. Awalnya, murid-murid LOPT hanya terdiri atas personel militer yang sudah punya pengalaman, seperti bekas serdadu Belanda (KNIL) dan tentara Pembela Tanah Air. Pelajaran diberikan dalam bahasa Jerman dan Indonesia. Meskipun Coerper sudah mengganti kewarganegaraannya dari Jerman menjadi Belanda, bahasa Belanda dilarang digunakan di lingkungan sekolah.

Makin hari, murid Coerper makin bertambah banyak. Banyak pemuda Indonesia yang berduyun-duyun datang untuk bergabung sehingga jumlah muridnya membengkak menjadi 300 orang. Sekolah Sarangan luber peminat dan tidak bisa menampung murid lagi. Akhirnya, Coerper, yang kemudian mengganti namanya menjadi Pak Kemal, membagi muridnya menjadi dua grup. Satu grup tetap di Sarangan, satu lainnya di Plaosan. Setiap hari Pak Kemal menunggang kuda turun-naik lembah untuk mengajar karena lokasi kedua daerah itu berbukit-bukit.

Sarangan akhirnya menjadi pusat pendidikan militer yang penting sebelum pecah perang kemerdekaan (1949-1955). Selain Coerper, yang mengajar di situ adalah Weirich Kurse, bekas kepala komunikasi radio kapal penjelajah Jerman di Yokohama, Jepang. Di Yogyakarta, sekolah kelautan didirikan August Friedrich Hermann Rusenow. Bekas kapten kapal ekspedisi jalur Hamburg-Amerika HAPAG ke Hindia Belanda sebelum Perang Dunia I itu pernah diasingkan Belanda ke Allas Valei. Selama Perang Dunia II, ia mengungsi ke Jepang dan baru kembali ke Jakarta setelah Belanda takluk. Di Indonesia, ia menemui Sukarno untuk membahas idenya mengenai sekolah kelautan. Sukarno setuju.

Anak-anak dan wanita Jerman mengibarkan bendera Nazi di Sarangan, setelah dibebaskan Jepang dan dibawa ke Sarangan. Buku Hotlers Griff nach Asien jilid Ill

Maka berdirilah akademi militer di Yogyakarta dan Rusenow menjadi pengajarnya. Rusenow juga berjasa membentuk Angkatan Laut Republik Indonesia. Sukarno kemudian mengirim para kadet di Yogyakarta ke Sarangan untuk memperdalam pengetahuan. Menurut Horst H. Geerken, Sukarno ingin mempersiapkan para perwira muda itu menjadi “diplomat” Indonesia di dunia internasional. “Selain memperdalam teknik militer di situ, mereka mempelajari bahasa Jerman di Deutsche Schule dan berolahraga dengan para instruktur Jerman di SORA agar tubuh tegap dan kuat,” ucapnya.

Para calon perwira laki-laki dan perempuan juga diajari etiket makan gaya Barat. Mereka tinggal di rumah-rumah keluarga Jerman untuk belajar tentang cara menggunakan sendok, garpu, pisau, dan serbet. Bekas laksamana Angkatan Laut, Raden Eddy Martadinata, dan Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan adalah sebagian alumnusnya. Seperti halnya Sukarno, yang kadang datang ke Sarangan bersama Mohammad Hatta dan keluarganya untuk beristirahat, keduanya juga fasih berbahasa Jerman. Sarangan akhirnya bertambah populer dan menjadi tempat idaman bagi orang-orang Jerman. Daerah ini banyak dikunjungi petinggi militer Jerman, seperti sekretaris jenderal Nazi di Jakarta serta kapten perang angkatan laut, dan menjadi peristirahatan para awak kapal selam Jerman yang berbulan-bulan mengarungi Samudra Atlantik dan Hindia Belanda.

Deutsche Schule, setelah lima setengah tahun berdiri, ditutup pada 15 Desember 1948 ketika Sarangan diserbu tiba-tiba setelah Belanda menyelinap masuk dari Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta, dalam agresi militer. Orang-orang Jerman, dewasa dan anak-anak, disuruh berlutut berjam-jam di halaman rumah. Rumah mereka digeledah dan dirampok. Dengan kata-kata kasar, tentara KNIL yang terdiri atas orang Ambon dan Manado berteriak, “Orang-orang Jerman harus ditembak. Kita harus lihat darah mereka.”

SRI PUDYASTUTI BAUMEISTER, M.A. MURTADHO, ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus