Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Manis Gula di Kampung Sendiri

Bekas operator mesin di Malaysia ini menciptakan banyak lapangan kerja bagi warga Kulon Progo. Sekitar 80 persen produksi gula semutnya diekspor ke luar negeri.

1 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutriyana

AIR nira terlihat mengental dan meletup-letup di atas tungku pembakaran. Di dapur produksi gula semut Kelompok Usaha Bersama Tiwi Manunggal, Kamis dua pekan lalu, para perajin di Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu mengaduk-aduk air nira di dalam wajan.

Didampingi Sutriyana, mereka sibuk menyerok buih-buih di sekitar wajan untuk memisahkan kotoran. Setelah nira di wajan mengeras, mereka mengangkatnya dari tungku. Lalu dimulailah proses penghalusan gula menggunakan batok kelapa.

Ketua Kelompok Usaha Bersama Tiwi Manunggal itu masih mempertahankan sentuhan tradisional. "Proses kerja manual dipertahankan agar bisa menyerap banyak tenaga kerja," kata Sutriyana kepada Tempo.

Meski begitu, sebagian proses produksi sudah menggunakan mesin. Sutriyana adalah mantan operator mesin di perusahaan pembuat kemasan plastik di Selangor, Malaysia.

Setelah dihaluskan, gula diayak untuk memisahkan gula halus dan gula yang masih kasar. Pada tahap inilah ia menggunakan mesin. Gula semut kemudian dikeringkan di dalam oven. "Teknologi yang kami terapkan setengah modern," ujarnya.

Untuk mengolah 1 ton bahan baku, bekas tenaga kerja Indonesia di Malaysia ini membutuhkan 20-30 pekerja. Jika banyak pesanan, Sutriyana merekrut karyawan lebih banyak. "Prinsip saya, bagaimana usaha ini bermanfaat buat banyak orang," kata bapak dua anak itu.

Saat ini Sutriyana mempekerjakan 46 orang. Sebanyak 16 orang bekerja di sekretariat utama, 6 orang bekerja di rumahnya, dan 6 orang ia tempatkan di 4 cabang produksi. Sutriyana kini membina 940 petani penyadap nira pohon kelapa. Setiap bulan, volume produksinya mencapai 50 ton, dengan omzet rata-rata Rp 1,2 miliar.

Usaha tersebut ia rintis setelah pulang dari Malaysia. Di negeri jiran itu, ia bekerja sejak 2000 hingga 2006. Gajinya hanya 600 ringgit atau sekitar Rp 1,2 juta. Baru pada tahun keenam, gaji pokoknya naik menjadi 900 ringgit. "Jadi sebenarnya penghasilan di Malaysia dan di Indonesia kurang-lebih sama," kata pria kelahiran 8 April 1978 itu.

Sutriyana mengatakan minimnya kesempatan kerja di Tanah Air memaksa banyak orang, termasuk dirinya, merantau ke luar negeri. Padahal, kata dia, pendapatan mereka di sana sebenarnya tak jauh berbeda.

Enam tahun merantau, Sutriyana bekerja rata-rata 20 jam per hari, sejak matahari belum terbit hingga tengah malam. Di tengah rutinitas kerja itulah ia sering berpikir: apakah bekerja hampir seharian dengan penghasilan Rp 50 ribu per hari tidak bisa dilakukan di Indonesia? Sejak itu ia bertekad ingin pulang.

Orang tuanya sebenarnya hanya mengizinkan Sutriyana merantau dua tahun. Tapi ternyata, selama bekerja di Malaysia, ia tidak kunjung bisa mengumpulkan uang. Sutriyana akhirnya terus memperpanjang kontraknya hingga enam tahun.

Enam tahun bekerja di negeri orang, dia nyaris tak punya tabungan. "Saat pulang pada 2006, saya hanya bawa pengalaman," ujar Sutriyana.

Pulang dari Malaysia, ia tidak langsung merintis usaha gula semut. Sutriyana sempat bekerja sebagai petugas satuan keamanan selama empat bulan. Ia juga pernah merasakan menjadi tenaga pemasaran bisnis mebel selama tiga bulan. Pada akhir 2006, dengan sisa tabungan Rp 1,5 juta, ia nekat memulai langkahnya berwirausaha.

Kebetulan daerah Hargowilis, Kecamatan Kokap, merupakan salah satu sentra penyadap dan penghasil gula kelapa di Kulon Progo. Orang-orang di desanya, termasuk orang tuanya, menjual gula kelapa cetak itu apa adanya. Harganya pun rendah.

Menurut Sutriyana, produksi gula merah di kampungnya tak kunjung maju karena tidak memikirkan konsep industri dari hulu (kualitas proses produksi) hingga hilir (pemasaran). Padahal potensi gula kelapa di sepanjang pesisir laut selatan Jawa itu melimpah-ruah.

Sebagai bekas teknisi, ia punya pengalaman mengorganisasi tim kerja, termasuk membagi pekerjaan dan memantau proses produksi. Dengan bekal pengetahuan dan pengalamannya bekerja di industri kilang plastik di Malaysia, lulusan teknik mesin STM Muhammadiyah Nagung, Wates, Kulon Progo, itu ingin mengupayakan agar produksi gula kelapa memiliki nilai tambah. Salah satunya dengan memproduksi gula semut.

Gula kelapa dan gula semut sebenarnya sama-sama gula merah. Dinamakan gula semut karena bentuknya menyerupai sarang semut di tanah. Gula semut memiliki beberapa kelebihan dibanding gula merah pada umumnya. Karena kadar airnya rendah, gula semut bisa tahan lama disimpan, hingga dua tahun, tanpa mengalami perubahan warna dan rasa.

Gula semut sebenarnya bukan hal asing buat Sutriyana. Orang tuanya sudah memproduksi gula semut pada 1994, tapi menggunakan skema pemasaran seadanya. Mereka memproduksi gula semut bila ada pesanan. Satu loyang sekali produksi tak lebih dari tujuh kilogram.

Dengan modal seadanya, Sutriyana mencoba-coba mengemas gula semut dalam bentuk sachet, lalu dipasarkan dengan lebih serius. Awalnya, ia menjual ke pasar-pasar tradisional di Kulon Progo dan sekitarnya, seperti Pasar Wates, Pasar Sentolo, dan Pasar Bantul. Dari tahun ke tahun, meski ada peningkatan, angka penjualannya kurang signifikan.

Sutriyana mengatakan gula semut tak banyak digemari konsumen lokal. Sedangkan di luar negeri-menurut informasi yang didapatnya dari Internet-peminatnya justru lebih banyak. Mulailah dia mencari-cari pembeli di luar negeri.

Untuk menopang usaha gula semut, Sutriyana membuat usaha bersama dengan 700 lebih sesama mantan TKI dan keluarga TKI di Kabupaten Kulon Progo. Melalui Kelompok Usaha Bersama Tiwi Manunggal yang mereka dirikan, Sutriyana dan kawan-kawan mengenalkan produk gula semut melalui dunia maya. Di antaranya melalui Facebook dan Instagram. Tak butuh waktu lama, pada 2012, pesanan datang dari Jerman.

Sekarang gula semutnya rutin diekspor ke Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, dan beberapa negara Eropa. Sebanyak 80 persen pasarnya adalah luar negeri. Tak mengherankan bila produksi gula semut di Kabupaten Kulon Progo kini menjadi produk unggulan one village one product. Program ini melibatkan dan menghidupi ribuan petani kelapa di salah satu daerah miskin di Yogyakarta.

Sutriyana bertekad meningkatkan pemasaran. Saat ini ia dan rekan-rekannya tengah menyiapkan konsep pemasaran gula semut yang dikemas dengan paket wisata di desanya. Apalagi di desanya ada Bukit Cendana dan Waduk Sermo yang asri. "Orang yang datang ke sini bisa berwisata sekaligus berbelanja gula semut di lokasi produksi," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus