Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NADA-nada akustik dari lagu Tiger Shark ciptaan Peter Hodgkinson mengalun ritmis selepas kumandang azan magrib, pertengahan Oktober 1945. Sesaat rekaman musik grup The Hawaiian Islander itu diputar, arek-arek Suroboyo langsung mendekat ke corong pengeras suara yang tergantung di kampung-kampung.
Di pengujung lagu, terdengar suara pria memekikkan takbir dan salam dengan menggelegar. "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!" teriak pria itu di ujung siaran radio. Lalu berhamburanlah jargon politik dan retorika pengobar semangat perjuangan. Ya, inilah pidato yang selalu ditunggu-tunggu warga Surabaya demi menjaga semangat perjuangan mereka.
Empunya suara bariton itu tak lain ialah Sutomo alias Bung Tomo. Dia menggemakan pidato revolusinya melalui siaran Radio Pemberontakan. Detik-detik siaran radio itu diceritakan kembali oleh Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo, dua pekan lalu. "Radio tersebut mengudara untuk menyerang balik propaganda tentara Sekutu," dia berujar.
Cikal-bakal Radio Pemberontakan sebetulnya tak lepas dari bantuan Moestopo, Ketua Badan Keamanan Rakyat Jawa Timur saat itu. Prajurit pimpinan Moestopo sukses menyita transmiter radio dari tangan Jepang dan menghibahkannya kepada Bung Tomo.
Moestopo pula yang menyarankan Bung Tomo menyembunyikan pemancar ke Tegalsari untuk menghindari pelacakan Sekutu. Saat pemancar bergelombang pendek 34 meter itu dipindahkan, Bung Tomo merasa perlu memodifikasinya agar jangkauan sinyal lebih luas. Ia lalu meminta bantuan Hasan Basri, Ali Oerip, dan Soemedi—teknisi radio sekaligus anggota Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang dibentuk Bung Tomo—untuk menyempurnakan pesawat radio.
Berbekal transmiter sederhana atau biasa disebut zender itu, orasi Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan resmi mengudara pada 15 Oktober 1945. Dia memakai sebuah rumah bergaya limasan Jawa Timur di Jalan Mawar Nomor 10, Surabaya, sebagai markas. Sebelumnya propaganda melawan Sekutu disiarkan melalui pemancar milik Radio Surabaya, yang lokasinya di Jalan Simpang.
Dari markas di Jalan Mawar, siaran Radio Pemberontakan dikendalikan. Radio Republik Indonesia pun tak ketinggalan menyiarkan ulang orasi Bung Tomo ke kota besar lain, seperti Malang, Solo, dan Yogyakarta. "Relay dari RRI itu membuat Bung Tomo merasa pidatonya direspons baik oleh rakyat," ucap Bambang.
Rumah di Jalan Mawar sebenarnya milik seorang warga bernama Amin, yang membeli griya seluas 15 x 30 meter itu dari pejabat kolonial Belanda pada 1927. Saat itu dia bekerja sebagai pegawai perkebunan milik kompeni. "Bapak beli rumah ini dengan kondisi kosongan tanpa perabot," kata anak perempuan Amin yang enggan namanya dikutip dan kini menghuni rumah tersebut.
Berdasarkan penuturan ayahnya, anak perempuan Amin menyebutkan Bung Tomo kerap berpidato di atas bubungan rumah berbentuk segitiga. "Mungkin agar frekuensi radionya lancar," ucapnya.
Markas radio di Jalan Mawar juga pernah disinggahi Sukarno-Hatta, yang ditemani Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, pada 30 Oktober 1945. Menurut Soemarsono dalam buku Revolusi Agustus, dia pernah diajak Sukarno-Hatta-Amir ke markas Radio Pemberontakan untuk menyiarkan gencatan senjata. "Saya juga ikut menyerukan berhenti tembak-menembak," ujar Soemarsono, yang kala itu menjadi Ketua Pemuda Republik Indonesia dan ikut berperang melawan Sekutu.
Denyut revolusi di markas Radio Pemberontakan bukan sekadar siaran. K'tut Tantri, perempuan Amerika Serikat keturunan Skotlandia yang membantu Bung Tomo menyiarkan pidato dalam bahasa Inggris, menghabiskan waktu di sela siaran di Jalan Mawar dengan membuat poster untuk gerilyawan. "Saya membuat slogan perjuangan ketika radio tak beroperasi di siang hari," ucap perempuan yang aslinya bernama Muriel Stuart Walker itu dalam buku Revolt in Paradise.
Di markas Radio Pemberontakan itu juga K'tut Tantri pernah ditegur Bung Tomo. Penyebabnya, K'tut memesan spanduk bertulisan "Abraham Lincoln Walks Again in Indonesia". Tatkala pesanan spanduk itu jadi, slogannya berubah menjadi "Abe Walks Again in Indonesia". Abe ialah nama panggilan Lincoln. "Saya terpikat lantaran Lincoln dikenal di Indonesia," tuturnya.
Tak disangka Bung Tomo merobek spanduk itu. Dia juga meminta nama Abraham Lincoln tak ditulis dengan nama panggilan. "Abe terdengar seperti nama dalam kartun Amerika," kata Bung Tomo seperti ditulis K'tut Tantri di bukunya. "Tindakan tak terpuji meringkas nama seorang tokoh sebesar Lincoln," ujar Bung Tomo.
Kiprah Radio Pemberontakan di Jalan Mawar meredup seiring dengan pecahnya perang antara Sekutu dan arek Suroboyo sebagai buntut terbunuhnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Surabaya dihujani meriam dan peluru pasukan Sekutu pada 10 November 1945.
Area sekitar markas Radio Pemberontakan tak luput dari bombardir meriam. Menurut K'tut Tantri, hanya ada tiga orang yang berada di dalam markas radio saat pasukan Sekutu menggempur Surabaya. Dia dan seorang pekerja keturunan Arab selamat karena berlindung di ruang siaran. Sedangkan penyiar berkebangsaan India tewas tertusuk pecahan mortir saat berlari mencari perlindungan ke toilet.
Beberapa hari setelah pertempuran, markas radio di Jalan Mawar ditutup. Pusat siaran dipindahkan ke Bangil, sekitar 60 kilometer di sisi tenggara Surabaya. "Bung Tomo tetap datang ke Bangil dua kali dalam sepekan untuk berorasi," tutur K'tut.
Konsisten mengudara hingga 1947, kiprah radio ini tamat manakala Sukarno—yang mendapat bisikan dari Wakil Perdana Menteri Setiadjit—memerintahkan penghentian siaran. Bung Tomo dalam bukunya, Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru, menuturkan instruksi itu berkaitan dengan upaya pemerintah menciptakan suasana damai di tengah perundingan dengan Belanda. "Orasi Bung Tomo dinilai berseberangan dengan kemauan Bung Karno, yang mengedepankan diplomasi," kata sejarawan Dukut Imam Widodo.
Meski pemerintah menyetop aksi Radio Pemberontakan, pemancarnya masih dipakai saat Agresi Militer Belanda II pada 1948. Di bawah komando Mohammad Jasin, yang memimpin Mobiele Brigade Polisi Jawa Timur, Radio Gerilya mengudara. "Pusat Kepolisian Indonesia yang terakhir memakai pemancar Radio Pemberontakan," tulis Bung Tomo di buku Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru.
Kini rumah di Jalan Mawar tak banyak mengalami perubahan dibanding saat jadi markas Radio Pemberontakan. Hanya, hunian bercat putih itu kini terbagi menjadi dua bagian: bangunan utama dan bangunan kecil berpilar ganda.
Bangunan yang lebih kecil dikontrakkan anak perempuan Amin. Majalah Gatra sempat berkantor di sana 15 tahun silam. Perusahaan rental mobil juga pernah menyewa selama setahun sejak 2008. Tak ada satu pun memorabilia milik Bung Tomo ataupun pasukan BPRI saat siaran di rumah itu yang tersisa. "Langsung diringkesi," ujar anak perempuan Amin merujuk pada perpindahan zender ke Bangil.
Satu-satunya penanda rumah itu merupakan situs penting dalam pusaran sejarah pertempuran Surabaya hanya secarik kertas kuning kusam. Isinya keputusan Pemerintah Kota Surabaya yang menetapkan rumah itu sebagai bangunan cagar budaya. Sejak 2008, layang itu setia menempel di tembok teras rumah hingga sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo