BEGINILAH akibatnya jika roh gentayangan dijadikan jaksa sekaligus hakim. Ketut Bawarna, 45 tahun, harus diikat pada sebatang pohon besar di Pura Alas Angker di Gianyar, Bali. Bukan untuk satu atau dua hari, tapi selama enam minggu.
Apa salahnya? Ini gara-gara Jro Mardana, tokoh adat Desa Adat Kertha di Gianyar, mengaku mendapat titah dari niskala alias alam gaib. Isinya, Ketut Bawarna diduga mencuri uang sesajen di Pura Alas Angker. Petani beranak tiga ini tak sendirian. Dua "tersangka" lain, Ketut Pindah dan Nang Liwat, juga mendapat tuduhan gaib. Bedanya, mereka dituding memiliki ilmu hitam dan sering mencelakai orang.
Cara pembuktiannya unik. Ketiga "tersangka" itu diundang datang ke rumah Jro Mardana. Sesampai mereka di sana, sang tuan rumah langsung kesurupan sambil memukul kentungan tiada putus sehingga seluruh warga terkumpul. Saat itulah dari mulut Jro Mardana keluar berbagai tudingan terhadap mereka.
Sebagai hukumannya, mereka bertiga diikat pada sebatang pohon di Pura Alas Angker selama 42 hari. Bagi para terdakwa, hukuman ikat pohon itu masih ringan. Yang menakutkan adalah mereka harus pula dikeluarkan dari adat.
Hanya, sekitar 12 jam kemudian, Bupati Gianyar, Tjokorda Gde Budi Setyawan, yang mendengar adanya "pengadilan gaib" itu, langsung bereaksi. Dia segera memerintahkan agar menghentikannya. Bupati ingin masalah itu ditangani polisi. "Saya bukan mencampuri urusan adat," katanya.
Di kepolisian, bukan cuma ketiga "tersangka" yang diperiksa. Jro Mardana dan sejumlah tokoh adat yang terlibat juga diusut. Polisi menduga pengadilan gaib itu digelar gara-gara dendam pribadi semata.
Yang pasti, tokoh agama Hindu asal Buleleng, Ida Bhagawan Nawa Sandhi, menyesalkan tindakan pemuka adat itu. Dia curiga suara gaib itu bukan datang dari Bhtara atau Tuhan. "Jangan-jangan suara bhuta kala atau setan," katanya.
Agung Rulianto, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Alit Kertaraharja (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini