INI pun cerita serong. Juga di desa, menyangkut nasib wong cilik. Ngadini sudah punya suami. Sumarno sudah punya istri. Mereka berterangga. Sudah biasa akrab. Orang-orang tak curiga. Lho, di desa 'kan tetangga pada rukun. Kesempatan pulalah yang memberi peluang dari serong seks ini. Taswan, suami Nyonya Ngadini, bekerja sebagai buruh pasar. Ia berangkat pagi dan pulang menjelang malam. Nyonya Sumarno pun berangkat pagi dan pulang sore hari sebagai penjaja makanan keliling. Maka, Sumarno dan Ngadini bisa memanfaatkan waktunya siang-siang, edan. Cerita tak begitu penting untuk dirinci. Pokoknya, suatu hari Taswan memergoki istrinya digauli Sumarno. Terjadi peperangan? Tidak, kejadian di desa begini kadang sulit dimengerti oleh orang kota. (Kalau dalam film pasti terjadi saling jotos, kan?) Taswan sadar hukum, ia melaporkn kejadian itu kepada tetua desa. "Saya tak ingin ribut-ribut," kata Taswan kemudian kepada Slamet Subagyo dari TEMPO. Tetua di Desa Pandak, Banyumas, Jawa Tengah, kemudian menyidangkan kasus yang terjadi di bulan November lalu itu. Persidangan dipimpin Kartadiwirya. Selain dihadiri Taswan, Ngadini, dan Sumarno, beberapa pamong desa juga diundang. Sidang dibuka dengan medengarkan keterangan Taswan, pihak yang merasa dirugikan. Tuntutannya, "Saya minta Sumarno menikahi istri saya," tutur Taswan tegas. Sumarno keberatan. "Soalnya, saya sudah punya istri dan anak. Kasihan mereka," kata ayah satu anak ini. Tapi Taswan ngotot. Sumarno pun tak mundur. Sidang diskors. Para pejabat desa berembuk. Taswan kemudian diminta mengganti tuntutannya dalam bentuk lain. "Kalau begitu, saya menuntut supaya Sumarno membayar denda Rp 200 ribu," kata Taswan. Tapi lagi-lagi Sumarno menolak. Denda itu terlalu besar. Alasannya, dia baru (sialan, pakai kata "baru") menggauli Ngadini 10 kali. "Kalau dengan pelacur, hanya Rp 5 ribu sekali main. Itu pun sudah cantik," ucap Sumarno. "Kalau baru main 10 kali, mestinya cuma Rp 50 ribu." Padahal, katanya lagi, perbuatannya dengan Ngadini dilakukan atas dasar suka sama suka. Taswan punya argumentasi jitu. "Istri saya bukan pelacur. Kalau tidak kuat membayar, ya, kawini saja, 'kan suka sama suka," katanya. Ia tetap menuntut Rp 200 ribu atau dikawini. Akhirnya, setelah berembuk panjang lebar, para pamong desa memutuskan begini. Sumarno bersalah dan harus membayar denda Rp 150 ribu. Uang itu harus dilunasi sebelum Tahun Baru 1989. Taswan maupun Sumarno menerima keputusan itu. Yusroni Henridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini