Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penggeseran: cerita lama yang ... gusur terus ... penggusuran:cerita lama yang ...

Masih 5% penduduk yang akan tergusur. nasib korban penggusuran menyedihkan. tak ada standar pemberian ganti rugi. perlu penampungan sebelum menggusur, agar korban gusuran tidak menghuni tempat liar. (kt)

11 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESEMBER ini nampaknya akan berakhir dengan ketenangan. Khususnya untuk satu masalah yang beberapa waktu yang lalu dihebohkan - termasuk oleh para anggota DPR yang mulai siap menghadapi pemilu yakni: perkara penggusuran di Jakarta. Menurut pelbagai sumber, setelah Desember, kegiatan menggusur penduduk dari tanah yang ditempatinya akan mereda, bahkan mungkin distop. Tapi "stop" itu agaknya buat sementara - maklum, menghadapi pemilu. Apalagi menurut Gubernur Kepala Daerah DKI Ali Sadikin sendiri, masih ada sekitar 5% lagi 'penduduk' yang bakal terkena penggusuran berikutnya. Yang tak akan luput, tentu saja, ialah mereka yang selama ini menghuni rumah tanpa izin bangunan (IMB), dan mereka yang mendirikan rumah di atas tanah yang bukan haknya secara sah. Bagi mereka ini pemerintah daerah tidak menjanjikan suatu apa. Mereka adalah yang selama ini menghuni 'perkampungan' sepanjang sisi rel kereta api, di pinggiran kali Ciliwung, banjir kanal dan jalur hijau. "Penggusuran itu, sesungguhnya, untuk menyelamatkan sebagian besar warga ibukota juga", kata Ali Sadikin. Sebab, jumlah yang 5% dari seluruh penghuni Jakarta yang 5 juta jiwa itu, jika tidak segera ditertibkan, nanti akan dapat "menghancurkan hukum". Hukum yang dimaksud cukup jelas, yakni hukum yang mengatur hak milik. "Kelak tidak ketahuan lagi, mana perbuatan yang benar dengan yang salah", kata gubernur. Memang, berbondong-bondong pencari nafkah di Jakarta ini telah nekad menghuni setiap jengkal tanah kosong di semua sudut kota. Tidak peduli tanah itu siapa punya. Bahkan tidak peduli bahwa tempat meneduhnya itu berupa trotoir atau pertamanan. Mulai dengan dinding dan atap papan, mereka kemudian membangun rumah darurat, semi permanen atau juga bertembok. Lebih dari itu, mereka juga mengontrakkan atau menjual-belikan rumah berikut tanah serobotannya kepada penghuni lain . Kejadian semacam ini, "berarti mengundang lebih banyak orang lagi ke Jakarta", kata Ali Sadikin. Sebab, "gambaran orang luar tentang Jakarta menjadi: dapat mengambil tanah orang semaunya sendiri". Itulah antara lainucapan Gubernur Jakarta di muka peserta penataran pengacara muda beberapa waktu yang lalu. Sementara itu Walikota Jakarta Pusat, Eddy Djadjang Djajaatmadja, sekarang sudah dapat menunjukkan sebuah peta kota yang dipotret dari udara. Jakarta memang hampir rapi: sepanjang banjir kanal dan sisi-sisi kali Ciliwung sudah dapat dipamerkan. Bersih. "Menyusul nanti perumahan di pinggiran rel KA. Sebelum tahun ini habis, harus sudah ditertibkan", kata Walikota itu kepada TEMPO pekan lalu. Untuk membersihkan tempat-tempat tersebut, "kita tak perlu bicara soal ganti rugi, apalagi menyebutnya jualbeli", kata Djadjang. Alasannya tentu, "karena mereka menghuni rumah tanpa izin dan di atas tanah yang tidak semestinya". Pesangon memang ada diberikan ala kadarnya kepada korban penggusuran. Yaitu Rp 35 ribu per kepala-keluarga, misalnya yang diterima oleh penghuni pinggiran Ciliwung. Penduduk sisi rel KA lebih beruntung. Sebab Departemen Perhubungan mampu memberikan pesangon Rp 37,5 ribu per kepala-keluarga. "Sebenarnya pesangon pun tak perlu di berikan Juga", ujar Djadjang mengemukakan kebijaksanaannya. "Tapi tahu keadaan warga memang menyedihkan, saya tak dapat membiarkan mereka begitu saja tergusur tanpa bantuan apa-apa walaupun mereka jelas telah melakukan kesalhan". Untung kalau Walikota punya kebijaksanaan begitu. Tapi lihatlah warga lain yang tergusur dari tanah yang dalam planologi kota disebut jalur hijau Tebet. Mereka ini, sejak tahun lalu, sebagian telah tergusur tanpa pesangon. Di mana mereka tertampung? Tony Santosa, pensiunan mayor yang diangkat jadi sesepuh warganya, berkata: "Tak ada penampungan buat kami". Yang ada, "kami memang dianjurkan membeli tanah di Klender, Duren Sawit, yang disediakan dengan harga paling murah Rp 18Q ribu perkaveling". Yang menebus bagiannya tidak banyak, kira-kira hanya 10 kepala-keluarga. "Mana kami mampu menebusnya dengan penghasilan rata-rata di bawah standar hidup di Jakarta", ujar Tony mewakili orang-orangnya. Lagi pula, yang jadi keberatan si tergusur, apa yang disebut penampungan itu menurut mereka tidak sehat. Memang bentuk perpetakannya sudah kapling. Tapi belum tampak ada jalan lingkungan yang sederhana sekalipun. Lokasinya lebih berupa sawah, yang merawa di waktu hujan. Yang mampu menebus, seperti Muchtari, ceritanya cukup dapat dianggap sebagai contoh manusia Jakarta yang mampu hidup di segala keadaan. Ia (50 tahun), buruh bangunan, "mula-mula memang terasa pahit". Rumahnya yang sekarang dibangun dari sisa gusuran rumahnya di Tebet dulu. Sekarang, "saya merasa bersyukur", kata Muchtari. Paling tidak ia kini telah merasa menempati rumah yang aman. Bersama isterinya, di rumah baru yang dihuni beberapa anak dan famili, Muchtari membuka warung. Punya IMB? "Belum", katanya tidak mengerti. Jadi, menurut ketentuan DKI, rumah ini tokh masih liar juga, walau pun sudah dikapling yang sah. Korban penggusuran lainnya, yang dibawah pimpinan Tony, nasibnya hingga kini masih belum terangkat. Mereka golongan yang tak mampu menebus jatah kaplingnya. Nasib akhirnya menentukan mereka harus tinggal di sebuah lapangan tak jauh dari kapling Muchtari. Bangunan yang didirikan dari bekas reruntuhan rumah Tebet, menurut Tony, "milik warga setempat, yang kebetulan basis MKGR (Musyawarah Keluarga Gotong Royong)". Karena sesama anggota MKGR itulah, begitu kisahnya, warga Duren Sawit ini menyediakan penampungan. Sampai kapan 79 kepala-keluarga ini akan diam di sana? Tony sudah berusaha. "Kami pemilih Golkar dalam pemilu yang lalu", kata pensiunan mayor itu. Petugas Golkar barubaru ini juga telah ke sana, mencatat ini dan itu mengenai keadaan pemilihnya di sana. "Mudah-mudahan setelah pemilu nanti, keadaan kami dapat berubah". Yang mereka maui: "Tunjukkanlah kepada kami, warganegara Indonesia ini, di mana kami harus berumah tangga", ujar Tony. Suatu pagi di Bor Panas, Maret lewat, suasananya memang panas. Sekitar 4000 jiwa di atas tanah yang bakal diperuntukkan perumahan Sekneg tergoncang dari tidurnya. Desas-desusnya: dinihari itu juga rumah tinggalnya bakal dibongkar secara paksa oleh petugas DKI. Siapa yang membandel, begitu bisik-bisiknya, bakal dibakar tanpa ampun. Kejadian siang harinya tidak segawat yang didengar kuping rakyat kecil ini. Pasukan Kapten Albert memang datang 'menyerbu' ke sana. Tapi tanpa peluru di bedil. Ancaman sekali lagi dikumandangkan: yang tidak menuruti perintah agar membongkar sendiri-bangunannya, maka Kapten Albert akan mengerahkan anak buahnya merobohkan secara paksa. Ada perlawanan dari warga, tapi tak berarti. Pesangon untuk korban penggusuran di sini sebenarnya telah disediakan. Tapi ada saja yang membandel. Maklum saja, sebab uang pesangon tentu tak cukup nntuk boyongan. Sampai beberapa hari korban masih juga menunggui puing rumahnya -- tak tahu ke mana harus pindah. Tapi itu tak bisa lama-lama berkemah di sana. Karena, tiba-tiba, armada truk sampah mendrop kotoran di atas tanah perkampungan itu. Berikutnya lalat ikut juga menyerbu. Binatang inilah alat penggusur terakhir. Ke mana mereka tergusur? Sudah pasti tidak di perumahan yang dibangun pengusaha real estate. Nasib mereka yang selalu dalam surat peringatan disebut 'penghuni liar' dengan garis tebal di bawahnya sudah jelas. Namun yang tidak "begitu liar" pun bukannya terbebas dari rasa was-was. Mereka ini masih pemilik rumah tanpa IMB, walaupun tanah di bawah rumahnya itu dikuasainya secara sah. Baik itu hak milik bersertifikat, masih berupa girik, maupun tanah sewa. Sebab bukannya tak mungkin rumahnya itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki rencana kota. Seperti cerita penggusuran di Pulo Nangka dan di Pedongkelan yang terjadi belum lama ini. Dua perkampungan di sisi Jalan Spoor 1,5 meter dari jalan, menurut rencana harus "hijau". Itu ditegaskan oleh SK bersama Walikota Jakarta Utara dan Timur. "Rakyat, yang sudah tinggal di sana sebelum ada rencana jalur hijau, sebenarnya merelakan tanahnya untuk. kepentingan bersama", kata Minang Warman dari LBH, sebagai kuasa warga untuk mengurus segala sesuatunya. Yang menjadikan keberatan warga umumnya Bctawi asli dan bertitel haji ialah pelaksanaan penggusuran yang melampaui batas. Petugas dalam prakteknya hendak rmenggusur semua rumah, sehingga 75 meter dari jalan. Alasannya: petugas berhak membongkar rumah yang tanpa IMB. Syukur protes LBH didengar yang berwajib. DKI menghentikan pekerjaannya sementara. LBH, mewakili kliennya, menyatakan: "Rakyat juga tidak keberatan menyerahkan tanahnya semua, asalkan dapat penggantian dan penampungan sewajarnya". DKI geleng kepala. "Pemerintah tidak mengganggu hak mereka atas tanahnya", kata Syariful Alam, Humas. "Rakyat tetap boleh memiliki tanahnya dan boleh menanam apa saja, asal jangan ruman", lanjut juru bicara ini. Tapi jika tidak untuk rumah tinggal, apa artinya tanah bagi penduduk DKI yang butuh tempat berteduh? Nasib seperti itu juga dialami oleh penduduk yang memiliki tanah di komplek dekat lapangan terbang Halim Perdanakusuma. Mula-mula hampir saja mereka tergusur begitu saja dari rumah di atas tanah milik seluas 1000 hektar. Alasan resminya: rumah-rumah itu tanpa IMB. Untung lagi-lagi LBH berhasil menyetop penggusuran. Hanya penduduk tak tahu lagi, manfaat apa yang bisa diambil dari tanah miliknya itu. Sebab DKI memancang papan peringatan, yang melarang penduduk membangun atau menjual belikan tanahnya. Membetulkan rumah saja tidak luput dari mata petugas kamtib. DALAM hal lain, karena alasan planologi juga, pemilik tanah juga harus menyerahkan haknya kepada orang lain yang ditunjuk Gubernur. Yaitu kepada pengusaha swasta, atau otorita milik pemerintah, yang mendapat izin untuk membangun sesuatu proyek di atas tanah penduduk. Tak ada pilihan lain bagi penduduk, selain harus menerima keadaan. Untungnya, dalam kasus semacam ini, mereka terbebas dari peneterapan proyek law enforcement. Biasanya istilah yang dikenakan 'pembebasan tanah'. Yang masih dapat dituntut, paling-paling, ialah soal ganti rugi. Penduduk yang tahu bahwa pengusaha akan mengambil manfaat dari bekas tanahnya, mencoba untuk pasang tarif tinggi. Tapi tuntutan semacam itu tidak banyak bisa menaikkan jumlah ganti rugi. Lumayan asal bisa naik saja sedikit. Sebab, pengusaha yang mengantongi SK Gubernur untuk menguasai tanah yang ditunjuk, kenyataannya dapat menekan harga. Memang ada panitia penaksir harga yang terdiri dari para pejabat. Pedoman kerjanya juga tersedia. Misalnya: untuk tanah milik yang bersertifikat dapat penggantian 100%. Yang belum (girik) 90%. Sedangkan harga tanah, begitu SK Gubernur No. 18 tahun 1972, harus sesuai dengan yang berlaku ketika penggusuran dilakukan. Tapi berapa harga yang sesuai itu? Itulah soal yang sungguh pelik. Pengusaha dan pemerintah sepakat, agar rakyat jangan menuntut terlalu tinggi. Alasannya, agar si pengusaha mungkin mengkomersilkan proyeknya. "Kalau terlalu mahal tentu tidak menarik investor" kata Djadjang. Dengan kata lain, "agar harga tanah wajar dan terkendali", ujar Walikota pula. Tapi yang wajar dan terkendali seperti diterapkan sekarang, ternyata belum sedikit pun memuaskan si tergusur. "Ganti rugi kepada penduduk sebenarnya bisa lebih tinggi sedikit dari yang sekarang", kata seorang pengusaha real estate terus-terang. Nah. Hanya, syaratnya, pemerintah harus mengendorkan target pendapatannya dari sektor ini. Kabarnya, tidak sedikit uang pengusaha yang harus disetorkan ke kas DKI. Belum lagi beban prasarana dan kewajiban membangun sesuatu proyek DKI, jika hendak membangun proyek komersil. Semuanya itu, termasuk biaya pembebasan tanah untuk penduduk, tidak sebanding dengan kesempatan mereka untuk menggunakan tanah itu yang cuma selama 20 tahun. Tapi barangkali itulah cara pemerintah DKI untuk tidak memanjakan pengusaha. Kadang-kadang calon korban penggusuran kelihatan sangat gigih menuntut ganti rugi. Bahkan istilah uang ganti rugipun bisa ditolak. Adnan Buyung Nasution SH, sebagai pembela penduduk Simpruk yang harus tergusur oleh proyek rumah mewah, pernah mengatakan: "Soalnya bukan ganti rugi, tapi harus jual beli". Dalam hal ihwal jual beli, yang pokok tentu: persesuaian harga. Di sini pengusaha kena batunya. Buyung akhirnya memang berhasil mendesak PT Berdikri, yang memperoleh izin membangun rumah mewah Simpruk, untuk menjadi 'pembeli' tanah yang dibutuhkannya dari rakyat. Bahkan kondisi jual belinya, bisa menjadi teladan untuk bisa ditiru yang lain. Mula-mula PT Berdikri harus membayar harga tanah Rp 5 ribu/M2 (tahun 1973). Ini belum termasuk harga rumah dan tanaman. Sebelum melakukan pembebasan, pengusaha ini diwajibkan untuk menyediakan penampungan. Untuk ini Anton, pengusahanya, harus membebaskan tanah di Kampung Rawa yang seharga Rp 4 ribu/M2. Setelah dimatangkan, tanah itu dijual kepada penduduk eks Simpruk cuma Rp 3 ribu/M2. Itu belum lagi beban lain yang jadi tanggungannya: menyediakan jalan, pengadaan listrik & air, membangun mesjid dan balai pertemuan. ANTON sendiri kelihatannya A tenang saja memenuhi tuntutan Buyung. Malah kepada TEMPO ia pernah mengatakan: "Sebaiknya setiap penggusuran disediakan penampungan lebih dulu, agar ikut menyelesaikan problim pemukiman". Begitu katanya sembari menawarkan rumah mewahnya yang konon, bisa laku Rp 300 juta. Sayangnya cara pembebasan & penampungan semacam itu hanya terjadi sekali di Simpruk saja. Walaupun selalu ada pertentangan seru mengenai ganti rugi, tapi hasilnya penduduk selalu di fihak yang tidak puas. Penduduk Kuningan, yang tanahnya hendak dikuasai Otorita Jakarta Selatan ternyata hanya para Ketua rt, rw dan pemuka masyarakat saja yang merasa sedikit puas. Karena mereka inilah yang menerima ganti rugi lebih baik dari penduduk biasa. Yang merasa menerima Rp 15 ribu/M2 saja, sudah kikuk jika hendak diketahui tetangganya. Dan yang berhasil mengantongi antara Rp 25 ribu hingga Rp 40 ribu, yaitu yang memperoleh penggantian istimewa, sudah buru-buru angkat kaki. Cara memberikan ganti rugi di Kuningan, oleh sementara penduduk, memang dianggap cara yang tidak ingin berterang-terangan. Mengapa penduduk tidak bersama menuntut ganti rugi secara terang? "Kami tidak kuat digoda para petugas yang keliling kampung membawa segepok uang", kata D, seorang penduduk yang mengaku telah mendapat ganti rugi lebih baik dari umumnya. Di samping menggoda dengan uang, petugas itu juga sedikit mengancam: kalau tak mau menerima ganti rugi, penggusuran tetap akan dijalankan tanpa penggantian. Sebab, harap diketahui, DKI tak pernah mengundurkan jadwal pembangunannya hanya karena warga tak menyetujui jumlah ganti rugi. Memang begitu. Bahkan Ali Sadikin, melalui Humasnya, menyatakan bahwa pembangunan (termasuk penggusuran) tidak akan tertunda oleh suatu perintah badan pengadilan sekalipun. Ini hampir saja terjadi. Yaitu ketika pemerintah DKI berurusan dengan penduduk di Jalan Sunan Giri. Pemerintah menghendaki agar rakyat menyerahkan tanahnya untuk memperluas pembangunan pasar. Ganti rugi ditetapkan Rp 8 ribu/M2 untuk tanah dan Rp 6 ribu/ M2 untuk bangunan darurat dan Rp 15 ribu/M2 untuk bangunan permanen. Rakyat, umumnya para pedagang, tidak akur. Namun DKI merasa harus cepat bekerja, sehingga buru-buru perkampungan dipagar rapat. Protes penduduk sampai di meja pengadilan dengan dibantu LBH. Ini gugatan yang ke-386 terhadap DKI dalam masalah tanah dan perumahan. LBH berhasil meyakinkan Hakim Wieke Siti Kumawati SH, hakim anggota Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, sehingga tanah sengketa itu ditetapkan sebagai sitaan atas jaminan. Humas DKI mewakili Gubernurnya bersikeras. "Pokoknya disita atau tidak, pembongkaran rumah tanpa IMB akan tetap dilaksanakan oleh DKI pada waktunya", kata Syariful. Bagaimana dengan adanya ketetapan penyitaan oleh pengadilan? "Jalan terus. Jangan sampai pembongkaran dan pembangunan di DKI tertunda dan terlambat jika setiap yang tergusur mengadu ke pengadilan". Pejabat lainnya pun tak kurang sibuknya membujuk hakim Wieke untuk mencabut penetapannya. Untung keadaan yang tidak enak antara DKI dan lembaga pengadilan segera berubah. Sebelum tanggal 17 bulan lalu, hari yang ditentukan untuk pembongkaran secara paksa, terjadi perdamaian. Pemerintah bersedia menaikkan ganti rugi 1OO, sementara penduduk masih diperkenankan menempati rumahnya hingga saat terakhir diperlukan untuk dibangun. Juga warga, nantinya, akan diberi kesempatan untuk menyewa kios lebih dulu dengan tarif Rp 850 sehari. Dengan perdamaian ini, selamatlah dua wajah sekaligus: DKI tak harus menerjang kewibawaan pengadilan dan hakim tak usah terpaksa mencabut ketetapannya tanpa melalui prosedur hukum yang benar. Perkara lain, antara beberapa penduduk di Karet Tengsin dengan pemerintah DKI, hingga kini belum tercapai perdamaian. Ali Mahfud, pemilik bangunan dan tanah di sana, menggugat DKI karena telah merobohkan rumahnya secara paksa. Pembongkaran rumah Mahfud ini dilakukan petugas Kamtib bersamaan dengan rumah penduduk lain, dalam rangka surat penunjukan DKI kepada CV Budiman Motor untuk menguasai tanah di sana. Kamtib sudah terlanjur meroboh-robohkan rumah, padahal persesuaian harga ganti rugi belum lagi disepakati antara pembebas dan yang dibebaskan. Penghuni dari Karet Tengsin ini, umumnya pengontrak dari pemilik rumah, berantakan tak tahu ke mana harus pindah. Begitulah, tampaknya masalah ganti rugi ini, yang memusingkan berbagai fihak yang terlibat, menjadi fokus segala macam persoalan penggusuran. Tapi setelah tercapai kesepakatan mengenai ganti rugi dan penggusuran pun dilaksanakan, ke mana para tergusur harus bermukim? Bekas gusuran dari Muara Karang, yang terdiri dari buruh nelayan miskin dan tak mampu menebus rumah di perumahan nelayan Muara Angke, tentu tidak dapat mengelola uang pesangonnya untuk memperoleh rumah yang sesuai dengan planologi. Sebagia masih menggubuk liar di dekat-dekat situ juga. Sebagian lagi menjauh, tapi juga masih mengontrak petak-petak perumahan liar di Muara Kamal. Penghuni eks jalur hijau Tebet, seperti disebutkan di atas, menghuni secara liar lagi di Duren Sawit. Itu nasib yang memang berumah dan bertanah liar. Yang setengah liar (rumahnya tanpa IMB tapi tanahnya sah), yang menerima uang pembebasan cukup besar, pun belum tentu bermukim secara benar. Kalau tak terjangkau membeli rumah yang disediakan oleh pengusaha pembangun rumah yang banyak di Jakarta ini, itu memang nasib. Tapi ada juga yang sebenarnya mampu menukarkan uang ganti ruginya itu dengan rumah yang planologis, tapi lebih suka mencari rumah liar lagi dengan 'keuntungan' mengantongi selisih harga. Jika pemerintah dapat memaksa penduduk meninggalkan rumah dan tanahnya, demi tertib kota, dapatkah juga memaksa penduduk untuk tinggal di tempat yang semestinya? Ada pengusaha, seperti Anton dari PT Berdikri yang mengusulkan: sebaiknya DKI mewajibkan real estate menyediakan penampungan sebelum menggusur. Atau usul orang lain: sebaiknya pemerintah DKI menahan sebagian uang ganti rugi dan memaksa penduduk untuk membeli rumah dan tanah yang baik. "Sulit", jawab Djadjang, Walikota. Jakarta, melalui PIB pernah menyediakan penampungan seluas lebih dari 200 hektar untuk proyek penggusuran law enforcement. Walaupun itu jauh untuk mencukupi kebutuhan, "tapi di mana lagi ada tanah kosong di Jakarta ini untuk menampung setiap korban penggusuran?" ujar Djadjang. Agaknya penggusuran penduduk terutama dan tanahnya yang sah sekalipun, dengan alasan tertib kota, tidak memecahkan persoalan ketertiban itu sendiri sekaligus. Sebab, tanpa pengarahan terhadap korban tergusur, mereka akan tetap menghuni tempat liar sambil menunggu penggusuran berikutnya. Atau harus pergi dari ibukota ini - kalau mau. "Silakan kembali ke daerah atau bertransmigrasi", kata Walikota Jakarta Pusat. Mungkinkah? Selama Jakarta masih jadi sasaran kedatangan ribuan manusia dari daerah, persoalan penggusuran akan terus menghantui kita. Baik dengan Ali Sadikin atau tidak, kisah penggusuran bisa serupa cerita 1001 malam yang bukan fantasi, dan tidak menghibur siapapun. Juga tak menghibur pak Gubernur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus