DESEMBER ini nampaknya akan berakhir dengan ketenangan.
Khususnya untuk satu masalah yang beberapa waktu yang lalu
dihebohkan - termasuk oleh para anggota DPR yang mulai siap
menghadapi pemilu yakni: perkara penggusuran di Jakarta. Menurut
pelbagai sumber, setelah Desember, kegiatan menggusur penduduk
dari tanah yang ditempatinya akan mereda, bahkan mungkin distop.
Tapi "stop" itu agaknya buat sementara - maklum, menghadapi
pemilu. Apalagi menurut Gubernur Kepala Daerah DKI Ali Sadikin
sendiri, masih ada sekitar 5% lagi 'penduduk' yang bakal terkena
penggusuran berikutnya.
Yang tak akan luput, tentu saja, ialah mereka yang selama ini
menghuni rumah tanpa izin bangunan (IMB), dan mereka yang
mendirikan rumah di atas tanah yang bukan haknya secara sah.
Bagi mereka ini pemerintah daerah tidak menjanjikan suatu apa.
Mereka adalah yang selama ini menghuni 'perkampungan' sepanjang
sisi rel kereta api, di pinggiran kali Ciliwung, banjir kanal
dan jalur hijau. "Penggusuran itu, sesungguhnya, untuk
menyelamatkan sebagian besar warga ibukota juga", kata Ali
Sadikin. Sebab, jumlah yang 5% dari seluruh penghuni Jakarta
yang 5 juta jiwa itu, jika tidak segera ditertibkan, nanti akan
dapat "menghancurkan hukum".
Hukum yang dimaksud cukup jelas, yakni hukum yang mengatur hak
milik. "Kelak tidak ketahuan lagi, mana perbuatan yang benar
dengan yang salah", kata gubernur.
Memang, berbondong-bondong pencari nafkah di Jakarta ini telah
nekad menghuni setiap jengkal tanah kosong di semua sudut kota.
Tidak peduli tanah itu siapa punya. Bahkan tidak peduli bahwa
tempat meneduhnya itu berupa trotoir atau pertamanan. Mulai
dengan dinding dan atap papan, mereka kemudian membangun rumah
darurat, semi permanen atau juga bertembok. Lebih dari itu,
mereka juga mengontrakkan atau menjual-belikan rumah berikut
tanah serobotannya kepada penghuni lain .
Kejadian semacam ini, "berarti mengundang lebih banyak orang
lagi ke Jakarta", kata Ali Sadikin. Sebab, "gambaran orang luar
tentang Jakarta menjadi: dapat mengambil tanah orang semaunya
sendiri". Itulah antara lainucapan Gubernur Jakarta di muka
peserta penataran pengacara muda beberapa waktu yang lalu.
Sementara itu Walikota Jakarta Pusat, Eddy Djadjang
Djajaatmadja, sekarang sudah dapat menunjukkan sebuah peta kota
yang dipotret dari udara. Jakarta memang hampir rapi: sepanjang
banjir kanal dan sisi-sisi kali Ciliwung sudah dapat dipamerkan.
Bersih. "Menyusul nanti perumahan di pinggiran rel KA. Sebelum
tahun ini habis, harus sudah ditertibkan", kata Walikota itu
kepada TEMPO pekan lalu.
Untuk membersihkan tempat-tempat tersebut, "kita tak perlu
bicara soal ganti rugi, apalagi menyebutnya jualbeli", kata
Djadjang. Alasannya tentu, "karena mereka menghuni rumah tanpa
izin dan di atas tanah yang tidak semestinya".
Pesangon memang ada diberikan ala kadarnya kepada korban
penggusuran. Yaitu Rp 35 ribu per kepala-keluarga, misalnya yang
diterima oleh penghuni pinggiran Ciliwung. Penduduk sisi rel KA
lebih beruntung. Sebab Departemen Perhubungan mampu memberikan
pesangon Rp 37,5 ribu per kepala-keluarga. "Sebenarnya pesangon
pun tak perlu di berikan Juga", ujar Djadjang mengemukakan
kebijaksanaannya. "Tapi tahu keadaan warga memang menyedihkan,
saya tak dapat membiarkan mereka begitu saja tergusur tanpa
bantuan apa-apa walaupun mereka jelas telah melakukan
kesalhan".
Untung kalau Walikota punya kebijaksanaan begitu. Tapi lihatlah
warga lain yang tergusur dari tanah yang dalam planologi kota
disebut jalur hijau Tebet. Mereka ini, sejak tahun lalu,
sebagian telah tergusur tanpa pesangon. Di mana mereka
tertampung?
Tony Santosa, pensiunan mayor yang diangkat jadi sesepuh
warganya, berkata: "Tak ada penampungan buat kami". Yang ada,
"kami memang dianjurkan membeli tanah di Klender, Duren Sawit,
yang disediakan dengan harga paling murah Rp 18Q ribu
perkaveling". Yang menebus bagiannya tidak banyak, kira-kira
hanya 10 kepala-keluarga. "Mana kami mampu menebusnya dengan
penghasilan rata-rata di bawah standar hidup di Jakarta", ujar
Tony mewakili orang-orangnya.
Lagi pula, yang jadi keberatan si tergusur, apa yang disebut
penampungan itu menurut mereka tidak sehat. Memang bentuk
perpetakannya sudah kapling. Tapi belum tampak ada jalan
lingkungan yang sederhana sekalipun. Lokasinya lebih berupa
sawah, yang merawa di waktu hujan.
Yang mampu menebus, seperti Muchtari, ceritanya cukup dapat
dianggap sebagai contoh manusia Jakarta yang mampu hidup di
segala keadaan. Ia (50 tahun), buruh bangunan, "mula-mula memang
terasa pahit". Rumahnya yang sekarang dibangun dari sisa gusuran
rumahnya di Tebet dulu. Sekarang, "saya merasa bersyukur", kata
Muchtari. Paling tidak ia kini telah merasa menempati rumah yang
aman. Bersama isterinya, di rumah baru yang dihuni beberapa anak
dan famili, Muchtari membuka warung. Punya IMB? "Belum", katanya
tidak mengerti. Jadi, menurut ketentuan DKI, rumah ini tokh
masih liar juga, walau pun sudah dikapling yang sah.
Korban penggusuran lainnya, yang dibawah pimpinan Tony, nasibnya
hingga kini masih belum terangkat. Mereka golongan yang tak
mampu menebus jatah kaplingnya. Nasib akhirnya menentukan mereka
harus tinggal di sebuah lapangan tak jauh dari kapling Muchtari.
Bangunan yang didirikan dari bekas reruntuhan rumah Tebet,
menurut Tony, "milik warga setempat, yang kebetulan basis MKGR
(Musyawarah Keluarga Gotong Royong)". Karena sesama anggota MKGR
itulah, begitu kisahnya, warga Duren Sawit ini menyediakan
penampungan.
Sampai kapan 79 kepala-keluarga ini akan diam di sana? Tony
sudah berusaha. "Kami pemilih Golkar dalam pemilu yang lalu",
kata pensiunan mayor itu. Petugas Golkar barubaru ini juga telah
ke sana, mencatat ini dan itu mengenai keadaan pemilihnya di
sana. "Mudah-mudahan setelah pemilu nanti, keadaan kami dapat
berubah". Yang mereka maui: "Tunjukkanlah kepada kami,
warganegara Indonesia ini, di mana kami harus berumah tangga",
ujar Tony.
Suatu pagi di Bor Panas, Maret lewat, suasananya memang panas.
Sekitar 4000 jiwa di atas tanah yang bakal diperuntukkan
perumahan Sekneg tergoncang dari tidurnya. Desas-desusnya:
dinihari itu juga rumah tinggalnya bakal dibongkar secara paksa
oleh petugas DKI. Siapa yang membandel, begitu bisik-bisiknya,
bakal dibakar tanpa ampun. Kejadian siang harinya tidak segawat
yang didengar kuping rakyat kecil ini. Pasukan Kapten Albert
memang datang 'menyerbu' ke sana. Tapi tanpa peluru di bedil.
Ancaman sekali lagi dikumandangkan: yang tidak menuruti perintah
agar membongkar sendiri-bangunannya, maka Kapten Albert akan
mengerahkan anak buahnya merobohkan secara paksa. Ada perlawanan
dari warga, tapi tak berarti.
Pesangon untuk korban penggusuran di sini sebenarnya telah
disediakan. Tapi ada saja yang membandel. Maklum saja, sebab
uang pesangon tentu tak cukup nntuk boyongan. Sampai beberapa
hari korban masih juga menunggui puing rumahnya -- tak tahu ke
mana harus pindah. Tapi itu tak bisa lama-lama berkemah di sana.
Karena, tiba-tiba, armada truk sampah mendrop kotoran di atas
tanah perkampungan itu. Berikutnya lalat ikut juga menyerbu.
Binatang inilah alat penggusur terakhir. Ke mana mereka
tergusur? Sudah pasti tidak di perumahan yang dibangun pengusaha
real estate.
Nasib mereka yang selalu dalam surat peringatan disebut
'penghuni liar' dengan garis tebal di bawahnya sudah jelas.
Namun yang tidak "begitu liar" pun bukannya terbebas dari rasa
was-was. Mereka ini masih pemilik rumah tanpa IMB, walaupun
tanah di bawah rumahnya itu dikuasainya secara sah. Baik itu hak
milik bersertifikat, masih berupa girik, maupun tanah sewa.
Sebab bukannya tak mungkin rumahnya itu tidak sesuai dengan yang
dikehendaki rencana kota. Seperti cerita penggusuran di Pulo
Nangka dan di Pedongkelan yang terjadi belum lama ini.
Dua perkampungan di sisi Jalan Spoor 1,5 meter dari jalan,
menurut rencana harus "hijau". Itu ditegaskan oleh SK bersama
Walikota Jakarta Utara dan Timur. "Rakyat, yang sudah tinggal di
sana sebelum ada rencana jalur hijau, sebenarnya merelakan
tanahnya untuk. kepentingan bersama", kata Minang Warman dari
LBH, sebagai kuasa warga untuk mengurus segala sesuatunya. Yang
menjadikan keberatan warga umumnya Bctawi asli dan bertitel haji
ialah pelaksanaan penggusuran yang melampaui batas. Petugas
dalam prakteknya hendak rmenggusur semua rumah, sehingga 75
meter dari jalan. Alasannya: petugas berhak membongkar rumah
yang tanpa IMB.
Syukur protes LBH didengar yang berwajib. DKI menghentikan
pekerjaannya sementara. LBH, mewakili kliennya, menyatakan:
"Rakyat juga tidak keberatan menyerahkan tanahnya semua, asalkan
dapat penggantian dan penampungan sewajarnya". DKI geleng
kepala. "Pemerintah tidak mengganggu hak mereka atas tanahnya",
kata Syariful Alam, Humas. "Rakyat tetap boleh memiliki tanahnya
dan boleh menanam apa saja, asal jangan ruman", lanjut juru
bicara ini. Tapi jika tidak untuk rumah tinggal, apa artinya
tanah bagi penduduk DKI yang butuh tempat berteduh?
Nasib seperti itu juga dialami oleh penduduk yang memiliki tanah
di komplek dekat lapangan terbang Halim Perdanakusuma. Mula-mula
hampir saja mereka tergusur begitu saja dari rumah di atas tanah
milik seluas 1000 hektar. Alasan resminya: rumah-rumah itu tanpa
IMB. Untung lagi-lagi LBH berhasil menyetop penggusuran. Hanya
penduduk tak tahu lagi, manfaat apa yang bisa diambil dari tanah
miliknya itu. Sebab DKI memancang papan peringatan, yang
melarang penduduk membangun atau menjual belikan tanahnya.
Membetulkan rumah saja tidak luput dari mata petugas kamtib.
DALAM hal lain, karena alasan planologi juga, pemilik tanah juga
harus menyerahkan haknya kepada orang lain yang ditunjuk
Gubernur. Yaitu kepada pengusaha swasta, atau otorita milik
pemerintah, yang mendapat izin untuk membangun sesuatu proyek
di atas tanah penduduk. Tak ada pilihan lain bagi penduduk,
selain harus menerima keadaan. Untungnya, dalam kasus semacam
ini, mereka terbebas dari peneterapan proyek law enforcement.
Biasanya istilah yang dikenakan 'pembebasan tanah'.
Yang masih dapat dituntut, paling-paling, ialah soal ganti rugi.
Penduduk yang tahu bahwa pengusaha akan mengambil manfaat dari
bekas tanahnya, mencoba untuk pasang tarif tinggi. Tapi tuntutan
semacam itu tidak banyak bisa menaikkan jumlah ganti rugi.
Lumayan asal bisa naik saja sedikit. Sebab, pengusaha yang
mengantongi SK Gubernur untuk menguasai tanah yang ditunjuk,
kenyataannya dapat menekan harga.
Memang ada panitia penaksir harga yang terdiri dari para
pejabat. Pedoman kerjanya juga tersedia. Misalnya: untuk tanah
milik yang bersertifikat dapat penggantian 100%. Yang belum
(girik) 90%. Sedangkan harga tanah, begitu SK Gubernur No. 18
tahun 1972, harus sesuai dengan yang berlaku ketika penggusuran
dilakukan.
Tapi berapa harga yang sesuai itu? Itulah soal yang sungguh
pelik. Pengusaha dan pemerintah sepakat, agar rakyat jangan
menuntut terlalu tinggi. Alasannya, agar si pengusaha mungkin
mengkomersilkan proyeknya. "Kalau terlalu mahal tentu tidak
menarik investor" kata Djadjang. Dengan kata lain, "agar harga
tanah wajar dan terkendali", ujar Walikota pula. Tapi yang wajar
dan terkendali seperti diterapkan sekarang, ternyata belum
sedikit pun memuaskan si tergusur.
"Ganti rugi kepada penduduk sebenarnya bisa lebih tinggi sedikit
dari yang sekarang", kata seorang pengusaha real estate
terus-terang. Nah. Hanya, syaratnya, pemerintah harus
mengendorkan target pendapatannya dari sektor ini. Kabarnya,
tidak sedikit uang pengusaha yang harus disetorkan ke kas DKI.
Belum lagi beban prasarana dan kewajiban membangun sesuatu
proyek DKI, jika hendak membangun proyek komersil. Semuanya itu,
termasuk biaya pembebasan tanah untuk penduduk, tidak sebanding
dengan kesempatan mereka untuk menggunakan tanah itu yang cuma
selama 20 tahun. Tapi barangkali itulah cara pemerintah DKI
untuk tidak memanjakan pengusaha.
Kadang-kadang calon korban penggusuran kelihatan sangat gigih
menuntut ganti rugi. Bahkan istilah uang ganti rugipun bisa
ditolak. Adnan Buyung Nasution SH, sebagai pembela penduduk
Simpruk yang harus tergusur oleh proyek rumah mewah, pernah
mengatakan: "Soalnya bukan ganti rugi, tapi harus jual beli".
Dalam hal ihwal jual beli, yang pokok tentu: persesuaian harga.
Di sini pengusaha kena batunya.
Buyung akhirnya memang berhasil mendesak PT Berdikri, yang
memperoleh izin membangun rumah mewah Simpruk, untuk menjadi
'pembeli' tanah yang dibutuhkannya dari rakyat. Bahkan kondisi
jual belinya, bisa menjadi teladan untuk bisa ditiru yang lain.
Mula-mula PT Berdikri harus membayar harga tanah Rp 5 ribu/M2
(tahun 1973). Ini belum termasuk harga rumah dan tanaman.
Sebelum melakukan pembebasan, pengusaha ini diwajibkan untuk
menyediakan penampungan. Untuk ini Anton, pengusahanya, harus
membebaskan tanah di Kampung Rawa yang seharga Rp 4 ribu/M2.
Setelah dimatangkan, tanah itu dijual kepada penduduk eks
Simpruk cuma Rp 3 ribu/M2. Itu belum lagi beban lain yang jadi
tanggungannya: menyediakan jalan, pengadaan listrik & air,
membangun mesjid dan balai pertemuan.
ANTON sendiri kelihatannya A tenang saja memenuhi tuntutan
Buyung. Malah kepada TEMPO ia pernah mengatakan: "Sebaiknya
setiap penggusuran disediakan penampungan lebih dulu, agar ikut
menyelesaikan problim pemukiman". Begitu katanya sembari
menawarkan rumah mewahnya yang konon, bisa laku Rp 300 juta.
Sayangnya cara pembebasan & penampungan semacam itu hanya
terjadi sekali di Simpruk saja. Walaupun selalu ada pertentangan
seru mengenai ganti rugi, tapi hasilnya penduduk selalu di fihak
yang tidak puas.
Penduduk Kuningan, yang tanahnya hendak dikuasai Otorita Jakarta
Selatan ternyata hanya para Ketua rt, rw dan pemuka masyarakat
saja yang merasa sedikit puas. Karena mereka inilah yang
menerima ganti rugi lebih baik dari penduduk biasa. Yang merasa
menerima Rp 15 ribu/M2 saja, sudah kikuk jika hendak diketahui
tetangganya. Dan yang berhasil mengantongi antara Rp 25 ribu
hingga Rp 40 ribu, yaitu yang memperoleh penggantian istimewa,
sudah buru-buru angkat kaki.
Cara memberikan ganti rugi di Kuningan, oleh sementara penduduk,
memang dianggap cara yang tidak ingin berterang-terangan.
Mengapa penduduk tidak bersama menuntut ganti rugi secara
terang? "Kami tidak kuat digoda para petugas yang keliling
kampung membawa segepok uang", kata D, seorang penduduk yang
mengaku telah mendapat ganti rugi lebih baik dari umumnya. Di
samping menggoda dengan uang, petugas itu juga sedikit
mengancam: kalau tak mau menerima ganti rugi, penggusuran tetap
akan dijalankan tanpa penggantian. Sebab, harap diketahui, DKI
tak pernah mengundurkan jadwal pembangunannya hanya karena warga
tak menyetujui jumlah ganti rugi.
Memang begitu. Bahkan Ali Sadikin, melalui Humasnya, menyatakan
bahwa pembangunan (termasuk penggusuran) tidak akan tertunda
oleh suatu perintah badan pengadilan sekalipun.
Ini hampir saja terjadi. Yaitu ketika pemerintah DKI berurusan
dengan penduduk di Jalan Sunan Giri. Pemerintah menghendaki agar
rakyat menyerahkan tanahnya untuk memperluas pembangunan pasar.
Ganti rugi ditetapkan Rp 8 ribu/M2 untuk tanah dan Rp 6 ribu/ M2
untuk bangunan darurat dan Rp 15 ribu/M2 untuk bangunan
permanen. Rakyat, umumnya para pedagang, tidak akur. Namun DKI
merasa harus cepat bekerja, sehingga buru-buru perkampungan
dipagar rapat.
Protes penduduk sampai di meja pengadilan dengan dibantu LBH.
Ini gugatan yang ke-386 terhadap DKI dalam masalah tanah dan
perumahan. LBH berhasil meyakinkan Hakim Wieke Siti Kumawati SH,
hakim anggota Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, sehingga
tanah sengketa itu ditetapkan sebagai sitaan atas jaminan.
Humas DKI mewakili Gubernurnya bersikeras. "Pokoknya disita atau
tidak, pembongkaran rumah tanpa IMB akan tetap dilaksanakan oleh
DKI pada waktunya", kata Syariful. Bagaimana dengan adanya
ketetapan penyitaan oleh pengadilan? "Jalan terus. Jangan sampai
pembongkaran dan pembangunan di DKI tertunda dan terlambat jika
setiap yang tergusur mengadu ke pengadilan". Pejabat lainnya pun
tak kurang sibuknya membujuk hakim Wieke untuk mencabut
penetapannya.
Untung keadaan yang tidak enak antara DKI dan lembaga pengadilan
segera berubah. Sebelum tanggal 17 bulan lalu, hari yang
ditentukan untuk pembongkaran secara paksa, terjadi perdamaian.
Pemerintah bersedia menaikkan ganti rugi 1OO, sementara
penduduk masih diperkenankan menempati rumahnya hingga saat
terakhir diperlukan untuk dibangun. Juga warga, nantinya, akan
diberi kesempatan untuk menyewa kios lebih dulu dengan tarif Rp
850 sehari. Dengan perdamaian ini, selamatlah dua wajah
sekaligus: DKI tak harus menerjang kewibawaan pengadilan dan
hakim tak usah terpaksa mencabut ketetapannya tanpa melalui
prosedur hukum yang benar.
Perkara lain, antara beberapa penduduk di Karet Tengsin dengan
pemerintah DKI, hingga kini belum tercapai perdamaian. Ali
Mahfud, pemilik bangunan dan tanah di sana, menggugat DKI karena
telah merobohkan rumahnya secara paksa. Pembongkaran rumah
Mahfud ini dilakukan petugas Kamtib bersamaan dengan rumah
penduduk lain, dalam rangka surat penunjukan DKI kepada CV
Budiman Motor untuk menguasai tanah di sana. Kamtib sudah
terlanjur meroboh-robohkan rumah, padahal persesuaian harga
ganti rugi belum lagi disepakati antara pembebas dan yang
dibebaskan. Penghuni dari Karet Tengsin ini, umumnya pengontrak
dari pemilik rumah, berantakan tak tahu ke mana harus pindah.
Begitulah, tampaknya masalah ganti rugi ini, yang memusingkan
berbagai fihak yang terlibat, menjadi fokus segala macam
persoalan penggusuran. Tapi setelah tercapai kesepakatan
mengenai ganti rugi dan penggusuran pun dilaksanakan, ke mana
para tergusur harus bermukim?
Bekas gusuran dari Muara Karang, yang terdiri dari buruh nelayan
miskin dan tak mampu menebus rumah di perumahan nelayan Muara
Angke, tentu tidak dapat mengelola uang pesangonnya untuk
memperoleh rumah yang sesuai dengan planologi. Sebagia masih
menggubuk liar di dekat-dekat situ juga. Sebagian lagi menjauh,
tapi juga masih mengontrak petak-petak perumahan liar di Muara
Kamal. Penghuni eks jalur hijau Tebet, seperti disebutkan di
atas, menghuni secara liar lagi di Duren Sawit. Itu nasib yang
memang berumah dan bertanah liar.
Yang setengah liar (rumahnya tanpa IMB tapi tanahnya sah), yang
menerima uang pembebasan cukup besar, pun belum tentu bermukim
secara benar. Kalau tak terjangkau membeli rumah yang disediakan
oleh pengusaha pembangun rumah yang banyak di Jakarta ini, itu
memang nasib. Tapi ada juga yang sebenarnya mampu menukarkan
uang ganti ruginya itu dengan rumah yang planologis, tapi lebih
suka mencari rumah liar lagi dengan 'keuntungan' mengantongi
selisih harga.
Jika pemerintah dapat memaksa penduduk meninggalkan rumah dan
tanahnya, demi tertib kota, dapatkah juga memaksa penduduk untuk
tinggal di tempat yang semestinya? Ada pengusaha, seperti Anton
dari PT Berdikri yang mengusulkan: sebaiknya DKI mewajibkan real
estate menyediakan penampungan sebelum menggusur. Atau usul
orang lain: sebaiknya pemerintah DKI menahan sebagian uang ganti
rugi dan memaksa penduduk untuk membeli rumah dan tanah yang
baik. "Sulit", jawab Djadjang, Walikota. Jakarta, melalui PIB
pernah menyediakan penampungan seluas lebih dari 200 hektar
untuk proyek penggusuran law enforcement. Walaupun itu jauh
untuk mencukupi kebutuhan, "tapi di mana lagi ada tanah kosong
di Jakarta ini untuk menampung setiap korban penggusuran?" ujar
Djadjang.
Agaknya penggusuran penduduk terutama dan tanahnya yang sah
sekalipun, dengan alasan tertib kota, tidak memecahkan persoalan
ketertiban itu sendiri sekaligus. Sebab, tanpa pengarahan
terhadap korban tergusur, mereka akan tetap menghuni tempat liar
sambil menunggu penggusuran berikutnya. Atau harus pergi dari
ibukota ini - kalau mau. "Silakan kembali ke daerah atau
bertransmigrasi", kata Walikota Jakarta Pusat.
Mungkinkah? Selama Jakarta masih jadi sasaran kedatangan ribuan
manusia dari daerah, persoalan penggusuran akan terus menghantui
kita. Baik dengan Ali Sadikin atau tidak, kisah penggusuran bisa
serupa cerita 1001 malam yang bukan fantasi, dan tidak menghibur
siapapun. Juga tak menghibur pak Gubernur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini