BERKENAAN dengan konferensi MEE di Den Haag, ibukota Belanda
minggu lalu Kanselir Jerman Barat Helmut Schmidt mengeluarkan
ancaman: Kalau harga minyak bumi dinaikkan lagi, negara-negara
Eropa Barat tidak sanggup menambah bantuan kredit mereka pada
negara-negara berkembang. Pernyataan itu ditujukan pada
negara-negara OPEC yang akan bersidang di Daha, ibukota Qatar,
pertengahan Desember nanti. Dan sikap Jerman Barat itu, didukung
oleh hampir semua negara anggota MEE lainnya, kecuali Belanda.
Soalnya, di kantor Deplu Kerajaan Belanda di alun-alun Den Haag,
akhir bulan lalu pecah perbedaan pendapat antara Menlu Belanda
Max van der Stoel dengan Menteri Kerjasama Ekonomi LN Jan Pronk.
Biang perdebatan adalah soal setuju-tidak-setuju kenaikan harga
minyak bumi yang direncanakan OPEC. Menurut harian Belanda yang
paling besar oplahnya, De Telegraaf, Menlu Van der Stoel tidak
setuju kenaikan harga minyak bumi yang drastis. Sebab kenaikan
harga 10% saja -- batas tertinggi yang dapat disetujui produsen
terbesar Arab Saudi - akan menambah rekening minyak MEE sekitar
$AS 5 milyar setahun.
Belanda memang tak terlalu tergantung pada minyak bumi seperti
beberapa negeri industri lainnya. Sebab di negeri itu telah
ditemukan--dan diolah sejak 10 tahun terakhir--gas alam yang
digunakan sebaai sumber utama bahan bakar non-transpor untuk
perumahan dan industri. Dari segi itu, Belanda sebenarnya untung
bila ada kenaikan harga minyak bumi, yang otomatis akan
mengkatrol harga gas alam pula. Jadi pemerintah Belanda
diperkirakan tak akan banyak berkurang pemasukannya. Meskipun
demikian, bagi konsumen akhir seperti rumah tangga maupun
industri kenaikan harga minyak bumi dibarengi kenaikan harga gas
alam tentunya bukan putusan yang populer menjelang pemilu di
Belanda, awal tahun depan. Dan harap diingat- Kebutuhan bahan
bakar minyak Eropa Barat hampir seluruhnya berasal dari
kilang-kilang minyak di Rotterdam, kota pelabuhan di muara
sungai Rijn. Makanya pemerintah Belanda sendiri harus
memperhitungkan tergesernya sejumlah karyawan dari kilang-kilang
Rotterdam itu kalau harga minyak yang tinggi mengurangi
permintaan BBM dari Rotterdam.
Bingung
Tapi berbeda dengan Van der Stoel dan konsensus yang dicapai
MEE, Menteri Pronk berpendapat bahwa kenaikan harga minyak
antara 10-15% masih dapat ditolerir "karena sesuai dengan
tingkat inflasi dunia". Van der Stoel takut bahwa pernyataan
Pronk itu akan dipakai sebagai senjata oleh negara-negara minyak
agar negara-negara industri lainnya juga mau menerima kenaikan
harga minyak bumi itu. Juga sang Menlu takut negaranya akan
dianggap tidak solider oleh anggota MEE lainnya, dan Amerika
Serikat yang di bawah pemerintahan Presiden Jimmy Carter juga
menentang kenaikan harga minyak bumi. Selanjutnya seorang
anggota parlemen Belanda dari fhak oposisi, H. de Koster merasa
bingung dengan ucapan Pronk itu "tak dapat dimengerti". Katanya
lagi, "bukankah negara-negara berkembang sendiri yang akan
paling menderita karena kenaikan harga minyak? Bagaimana bisa
seorang Menteri Kerjasama Pembangunan mengusulkan hal seperti
itu?"
Ancaman MEE untuk mengurangi bantuan pinjaman buat negara-negara
berkembang ini, bukan pertama kalinya merupakan usaha mengaitkan
kredit dengan harga minyak. Sebab ketika harga minyak naik 4 x
lipat di tahun 1973, lonjakan petro-dollar itu pun dijadikan
alasan oleh sejumlah negara kaya untuk mengurangi bantuan lunak
pada Nigeria dan Indonesia, dua negara anggota OPEC yang
termasuk kecil produksi minyaknya. Waktu itu, Pronk sebagai ke
tua I.G.G.I. juga tidak menentang tuntutan para kreditor itu.
Dan sejak saat itu, klub donor yang bertemu setahun sekali (atau
2 kali) di Amsterdam itu menghapuskan pinjaman lunak buat
Indonesia.
Namun ketika di Nairobi kelompok negara 77 menuntut penghapusan
dan penundaan pembayaran hutang mereka pada negara-negara kaya,
adalah Jan Pronk yang paling getol mendukung tuntutan kelompok
77 itu, bersama negara-negara Skandinavia. Mungkin dalam konteks
itulah Pronk kini begitu bersemangat mendukung rencana OPEC
menaikkan harga minyak. Lebih-lebih setelah ada jaminan dari
OPEC bahwa negara-negara berkembang yang paling miskin akan
mendapat dispensasi khusus - plus sejumlah pinjaman lunak untuk
membantu pertanian mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini