Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih Berbatu-Batu

Produksi sepeda motor meningkat. pabrik komponen vespa di pulogadung kerjasama indonesia, italia dan denmark, komponen dalam negeri mencapai 35%. pajak sepeda motor mencapai 55%. (eb)

11 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFLASI merek seperti terjadi pada perakitan kendaraan roda 4 rupanya tidak terjadi pada adiknya yang beroda-2. Tapi dalam soal jumlah, si roda-2 sungguh masya Allah. Bagaikan berpacu dengan laju penduduk, sepeda motor dan scooter kini tampak menyesakkan jalan raya dari kota sampai ke desa. Tahun lalu, tercatat sebanyak 1,18 juta motodi seluruh Indonesia, yang 3 tahundiperkirakan akan meningkat sampai 2 juta. Pasaran sebagian besar didominasi oleh merek-merek Jepang seperti Honda, Yamaha dan Suzuki. Sedang pasaran skuter - Mercy-nya motor, kata orang - tetap dirajai oleh Vespa dari Italia, meskipun tahun lalu juga muncul skuter Bajaj dari India - yang lebih berhasil di pasaran alat angkutan jenis ke-4. Melihat suksesnya Vespa, tak heran ketika Dubes Denmark, AC Karsten tampak berseri-seri wajahnya ketika menghadiri peresmian pabrik komponen Vespa di Pulogadung. "Adanya pabrik komponen ini tak dapat dielakkan", katanya mewakili perasaan perusahaan Denmark, The East Asiatic Company, partner dari Danmotors Vespa Indonesia (DMV) yang khusus memprodusir komponen-komponen itu. Kerjasama segitiga antara pengusaha Indonesia, Italia dan Denmark itu dinilainya sebagai usaha sukses yang perlu ditingkatkan. Angka-angka sukses itu memang kelihatan dari statistik produksi Vespa yang memulai perakitannya di Pulogadung tahun 1971. Kompleks pabrik yang semula cuma 7.600 mÿFD telah meluas menjadi 17 ribu mÿFD, dan 5 tahun lagi akan mekar lagi sampai 2,8 Ha. Kapasitas produksi sudah meningkat dari 12 ribu skuter menjadi 40 ribu skuter setahun. Itu belum puncaknya, sebab kapasitas penuh pabrik itu adalah 60 ribu skuter setahun. Dan setaraf dengan perakitan sepeda motor eks Jepang, komponen dalam negeri yang digunakan perakitan Vespa itu, menurut direkturnya, Santoso Tabalujan "telah mencapai 35%". Dengan perincian: 20% buatan pabrik Danmotors sendiri berupa knalpot, tanki bensin, peleh roda, spatbor depan dan pelat pelana, sedang 15, lagi dibeli dari pabrik-pabrik lain di dalam negeri. Jadi berarti, masih 65% komponen lainnya yang harus diimpor. Cukup banyak dibandingkan dengan pabrik Bajaj di India yang mulai dengan lisensi tapi kini sudah membuat komponen dan disain baru, lepas dari pabrik Vespa di Italia. Mungkin itu sebabnya, para pengusaha yang terhimpun dalam Persatuan Agen Tunggal & Assembler Sepeda Motor Indonesia (PAASMI) belum puas dengan hasil yang dicapai. Baik dalam pembuatan komponen dalam negeri, maupun produksi perakitannya sendiri. Bak kata James Suliman, ketua PAASMI yang juga direktur PT Federal Motors anggota kelompok Astra, "sasaran yang hendak dicapai pada akhir Pelita II adalah 50% komponen lokal, padahal yang dicapai rata-rata baru 25%". Dia mengakui, bahwa dengan volume produksi seperti sekarang, sulit mencapai sasaran Pelita II itu. Sebab dibandingkan dengan tetangga kita, Malaysia, "Indonesia masih jauh ketinggalan". Malaysia yang hanya berpenduduk 11 juta jiwa produksi motornya 12 ribu motor sebulan. Sementara Indonesia yang berpenduduk 130 juta lebih produksi perakitan roda duanya tahun lalu baru 25 ribu sebulan. Itu menunjukkan, kata Suliman, "daya beli kita jelas lebih rendah dari Malaysia". Selain soal calon konsumen yang masih miskin, Suliman juga menuding besarnya komponen pajak di sini ketimbang Malaysia. Di Malaysia, katanya, bea masuk CKD, bea balik nama dan pajak penjualan seluruhnya hanya 10%. Sedang di sini, seluruh pungutan pemerintah untuk si roda dua tidak kurang dari 55%. Terdiri dari bea masuk (30%), PPn Impor (10%), PPn lokal (5%), dan BBN 10%. Selain itu masih ditambah lagi dengan MPO 2% dan pajak berganda - yang meski berkali-kali sudah diminta agar dihapuskan - hingga kini masih dipungut. Pokoknya, kata sang ketua PAASMI, "jalan bagi si roda dua belum licin dan masih berbatu-batu". "Padahal si roda dua bukan lagi barang mewah yang semata-mata dipakai ngebut, melainkan untuk mobilitas", komentar Suliman. Selain dipakai oleh ojek-ojek di Tanjung Priok, motor banyak dipakai oleh pengantar koran, pengantar susu dan tukang pos. Bahkan para penderes karet di Sumatera katanya sudah banyak yang naik motor ke kebun karet untuk menyadap getah. Itu memang betul. Juga di Jawa para petani padi dan tembakau sudah tidak asing lagi dengan motor-motor Jepang, terutama Honda. Di Temanggung, Jawa Tengan, populer itu sebutan "Honda bako", yakni Honda hasil panen tembakau. Namun di Karawang dan juga di daerah-daerah pertanian lain, sepeda motor Jepang itu bukan cuma alat angkutan keluarga tapi juga lambang status sosial. Yang di musim paceklik bisa dijual kembali pada makelar-makelar motor dari kota, yang membelinya dengan harga murah sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus