Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan tokoh arsitektur versi majalah Tempo tahun 2012 sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Perubahannya memang tidak radikal atau substansial, tapi lebih ke arah mencari sebuah penyegaran. Alasannya cukup sederhana. Sudah empat tahun kami tidak menempatkan arsitek sebagai tokoh pilihan. Dalam empat pemilihan terakhir, kami memberikan penghargaan ini kepada kota yang menghidupkan air, kota kecil nyaman huni, dan gerakan penyelamat arsitektur tradisional.
Perubahan yang kedua adalah soal juri. Kini kami punya tiga juri yang sama sekali baru: Imelda Akmal, Avianti Armand, dan Ahmad Tardiyana. Sulit menemukan sosok yang tepat tanpa melibatkan tiga juri tersebut. Mereka adalah orang yang punya pengalaman berbeda di dunia arsitektur.
Imelda Akmal, sebagai penulis yang produktif membuat buku soal arsitektur lokal, menjadi yang pertama kami tanyai pada awal Oktober lalu. Perempuan bergelar master dari AA School of Architecture, London, itu mengantongi banyak nama arsitek yang sekarang produktif di Tanah Air. Tapi hanya beberapa yang menurut dia telah teruji. Secara profesi pun, untuk dapat diakui oleh Ikatan Arsitek Indonesia sebagai arsitek utama atau principal architect, butuh pengalaman kerja minimal sepuluh tahun.
Dari banyaknya kandidat, lima terpilih sebagai yang paling berpengaruh saat ini. Tidak ada yang baru. Mereka telah memiliki nama di dunia arsitektur Tanah Air dan punya spesialisasi masing-masing. Contohnya, ada yang berfokus pada konservasi, ada pula yang lebih suka berkarya dengan gaya modern. Berbekal daftar itu, kami menanyakan hal yang sama secara terpisah kepada Avianti Armand—arsitek, sastrawan, dan pengajar. Sebelum kami sempat mewawancarainya, ia sudah punya lima pilihan sendiri. Dua nama sama dengan yang Imelda berikan.
Percaya atau tidak, hal serupa terjadi ketika Ahmad Tardiyana menjagokan arsitek pilihannya pada awal November lalu. Dosen Institut Teknologi Bandung dan arsitek di biro Urbane, Bandung, ini malah memiliki daftar yang serupa dengan kandidat Avianti. Kami lumayan terkejut oleh hasilnya. Tanpa skenario apa pun, ketiga juri mengunggulkan kandidat yang sama. Ternyata memang tidak banyak nama baru di dunia arsitektur. Seperti mati suri saja.
Menurut Avianti, ada isu paling krusial di dunia arsitektur saat ini. "Banyak karya tidak matang, tidak mampu mengedukasi masyarakat, tapi muncul di media-media arsitektur baru," katanya. Media tersebut menjadi tempat para arsitek menampilkan karya dengan mudah. Secara visual, boleh saja bangunannya terlihat menarik. Namun pendalaman karakter, pembagian ruang, dan faktor tanggap lingkungannya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.
Terlepas dari masalah tersebut, ada satu nama dari tiga juri yang menarik perhatian kami. Arsitek ini selalu disebut sebagai penghias langit Jakarta. "Ia konsisten membuat landmark bangunan tinggi di Jakarta," ujar Ahmad. Imelda menyanjungnya dengan mengatakan, "Tidak ada karyanya yang tidak menjadi ikon."
Sebelum kami menuliskan namanya, pembaca perlu tahu satu hal. Kami belum pernah memberikan penghargaan kepada arsitek yang mendesain bangunan skala besar atau bertingkat tinggi. Arsitek yang kami pilih semuanya adalah pembuat rumah atau gedung menengah. Bukannya kami sengaja, kandidatnya memang sebagian besar bergerak di sana. Spesialisasi gedung pencakar langit bisa dibilang tidak seksi di kalangan arsitek lokal. Jarang yang mau menggelutinya. Selain karena faktor pilihan, risikonya tinggi. Membangun perkantoran, hotel, atau apartemen sangat rentan terhadap guncangan ekonomi.
Arsitek lokal juga seperti tidak diberi kesempatan masuk ke bidang ini. Pengembang masih memandang sebelah mata kemampuan mereka dalam mendesain gedung pencakar langit. Tengok saja ikon di tengah Jalan Sudirman, Jakarta, yaitu Menara Intiland. Gedung ini mampu menerjemahkan bangunan yang sesuai dengan iklim tropis. Letak atap limasannya begitu khas, seperti menumpuk dari lantai dasar hingga lantai 24. Yang merancang? Paul Rudolph asal Amerika Serikat.
Tidak jauh dari Menara Intiland, ada Wisma BNI 46. Bentuknya sangat khas karena ujung bangunan setinggi 262 meter ini seperti pena. Perancang bangunannya merupakan kolaborasi Zeidler Partnership Architects (Kanada) dan DP Architects (Singapura). Proyek pencakar langit masa depan di Jakarta yang sedang menjadi bahan pembicaraan pun memakai arsitek asing. Contohnya, desain Signature Tower milik Tomy Winata dikerjakan oleh Smallwood, Reynolds, Stewart, Stewart & Associates Inc (Amerika). Kalau jadi dibangun, gedung setinggi 638 meter itu akan menjadi yang tertinggi di Indonesia.
Pembicaraan dengan tiga juri telah membuka mata kami. Ternyata ada arsitek asli Indonesia yang sejak awal kariernya sudah mendesain bangunan tinggi yang layak mendapat apresiasi. Pemilihan ini tentu saja bisa mengundang perdebatan. Bagaimanapun, bangunan tinggi, terutama di Jakarta, banyak dianggap tidak tanggap lingkungan. Banyak bangunan bertingkat secara estetika tidak pas, hanya menambah sesak dan polusi kota. Belum lagi volumenya menyebabkan resapan air tanah semakin tipis.
Tapi, di kota yang terus maju, bangunan pencakar langit tak bisa dihindarkan. Yang harus dihindarkan adalah ekses negatifnya. Tokyo, misalnya, tidak pernah berhenti membuat bangunan tinggi. Semakin sedikit lahan, pembangunan sejenis malah semakin banyak. Apakah hal itu membuat kota tersebut rusak dan ruwet? Ternyata tidak. Mengutip pernyataan Avianti, sebenarnya tidak ada yang salah dengan bangunan tinggi, asalkan tata kotanya baik. "Manusia melihat secara horizontal," katanya. "Kalau bisa mengatur sirkulasi dengan baik, kota menjadi nyaman."
Harapan seperti itu tentu sebuah impian yang harus menjadi kenyataan di Jakarta. Terpilihnya pemimpin baru bisa menjadi peluang untuk perubahan tersebut. Pada akhirnya, berbekal semua pemikiran tersebut, tokoh arsitektur majalah Tempo kami berikan kepada Budiman Holan Hendropurnomo. Kalau pembaca menyusuri sepanjang Jalan Sudirman, Thamrin, dan Kuningan, pasti tidak melewatkan karya pria 58 tahun itu: EX Plaza Indonesia, UOB Plaza, dan Allianz Tower. Itu hanya sederet kecil karyanya.
Di luar Jakarta pun Budiman mendesain bangunan skala besar. Perpustakaan Universitas Indonesia di Depok, Novotel Palembang, Maya Ubud, dan Tugu Park Hotel Malang juga merupakan buah pemikirannya. Sudah 25 tahun ia berkarya dalam naungan kantor biro arsitek PT Duta Cermat Mandiri—yang terafiliasi dengan Denton Corker Marshall (Australia). Banyak penghargaan yang telah ia peroleh, baik dari dalam maupun luar negeri.
Tapi Budiman mengaku tidak memikirkan soal penghargaan. Sejak awal berkarier, ia hanya berusaha konsisten dengan desain bangunan tinggi. Tanpa banyak gimmick, garis rancangannya selalu berdasarkan luas lahan dan lingkungan sekitarnya. Selama sepuluh tahun terakhir, Budiman juga mendesain bangunan yang menerapkan prinsip hemat energi.
Ciri khasnya, bangunan yang bermassa besar ia buat seolah-olah terdiri atas bangunan bermassa lebih kecil. UOB Plaza, misalnya, seperti tumpukan kotak yang seakan-akan terlepas dari bangunan utama. Kekhasan itulah yang tidak ada dalam rancangan arsitek lain. Menurut kami, hasil karyanya layak terdokumentasi untuk kemajuan arsitektur modern Indonesia.
Sorta Tobing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo