Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Ikon hingga Inovator Muda

Begitu banyak orang yang berjasa pada dunia kuliner Indonesia. Mereka meletakkan dasar Gastronomi Indonesia modern dan melakukan inovasi mutakhir. Dari merekalah kami untuk pertama kalinya memilih tokoh kuliner.

6 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

2012, yang baru saja berlalu, telah meninggalkan banyak catatan terhadap perkembangan kuliner di Tanah Air. Geliat industri makanan kini telah menemukan bentuknya. Publik pun mulai melek terhadap kuliner.

Hal itu terlihat dari makin banyaknya orang yang memiliki wawasan pengetahuan yang mumpuni tentang makanan dan tetek-bengeknya. Bahkan, dalam pergaulan sosial masyarakat, berkembang anggapan: kalau tidak mengerti makanan, tidak gaul. Gegap-gempitanya acara Jakarta Culinary Festival menjelang akhir tahun lalu juga menunjukkan bahwa soal makanan menjadi hal serius di negeri ini.

Dari sisi para pelaku industri ini, kian banyak chef atau koki yang mendapat panggung. Apalagi sejak program MasterChef, kontes menjadi koki terbaik, jadi tayangan favorit dan muncul juga dalam versi Indonesia. Koki pun naik kelas dari sekadar juru masak di dapur menjadi bintang yang tampil di depan layar.

Tidak hanya dalam soal makanan, mulai dikenal pula ahli-ahli minuman, misalnya ahli teh atau tea connoisseur seperti Ratna Somantri, ahli pencecap kopi atau Q grader seperti Adi W. Taroepratjeka, dan ahli wine atau sommelier seperti Yohan Handoyo.

Berdasarkan perkembangan itulah kami, untuk pertama kalinya, memilih tokoh kuliner. Dalam menggali nama-nama calon tokoh kuliner pilihan Tempo itu, kami mengundang tiga orang yang rekam jejaknya di bidang kuliner tak terbantahkan lagi. Mereka adalah ­Laksmi Pamuntjak, yang menulis Jakarta Good Food Guide; Bondan Winarno, yang mempopulerkan wisata kuliner; dan Yohan Handoyo, yang lincah menulis soal minuman. Keputusan akhir memang tetap berada pada kami, awak redaksi Tempo, tapi peran mereka dalam menyodorkan puluhan nama sangat membantu kami.

Meski baru beberapa tahun belakangan kegairahan kuliner mewabah, sesungguhnya sudah lama dasar-dasar kuliner modern Indonesia dibangun. Misalnya soal pendokumentasian khazanah masakan Nusantara. Hal itu sudah dilakukan Suryatini N. Ganie (mendiang). Dia seperti Irma S. Rombauer di Amerika Serikat yang menulis Joy of Cooking.

Suryatini menulis belasan buku tentang masakan Indonesia, di antaranya Aneka Ragam Menu Makanan Bergizi dari Seluruh Propinsi di Indonesia; Upaboga di Indonesia: Ensiklopedia Pangan dan Kumpulan Resep; Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner R.A. Kartini, R.A. Kardinah, R.A. Roekmini; Dapur Naga di Indonesia; dan Periuk Nusantara.

Pencerahan diberikan oleh Tuti Soenardi, ahli gizi lulusan Akademi Gizi Bogor tahun 1959. Melalui buku-bukunya, Tuti memperkenalkan masakan sehat untuk bayi dan orang tua. Setelah buku, media massa juga berperan dalam mempopulerkan kuliner.

Bondan menyebut setidaknya dua orang yang menjadi pelopor dalam membuat orang Indonesia melek kuliner pada awal 1980-an, yaitu Nyonya Rumah alias Julie Sutardjana, yang mengasuh rubrik Dapur Kita di Kompas, dan Hayatinufus A.L. Tobing, yang berada di balik Dapur Uji Femina.

Lewat media yang berbeda, praktek memasak juga diajarkan oleh Rudy Choirudin dan Sisca Soewitomo. Program Selera Nusantara di RCTI yang dibawakan Rudy dan Aroma di Indosiar yang dipandu Sisca menjadi acara memasak yang pertama di layar kaca dan yang paling lama bertahan.

Kita juga tidak bisa melupakan komunitas-komunitas pencinta makanan, seperti Jalan Sutera, yang antara lain digerakkan Bondan. Laksmi melihat peran Lisa Virgiano dari Underground Secret Dining sangat penting. Pemilik usaha katering Azanaya ini dianggap sukses melestarikan masakan pusaka Nusantara. Melalui usahanya, ia mendidik orang tentang kuliner orisinal Indonesia yang nyaris hilang karena tidak dikomersialkan.

Dari jajaran chef, ada nama Vindex Tengker yang mampu memasukkan makanan-makanan Nusantara ke menu restoran di hotel-hotel berkelas. Lewat tangannyalah sepiring bubur ayam layak dihargai lebih dari Rp 100 ribu.

Tentu saja, ikon dari para ikon itu adalah William Wongso. Dialah peletak dasar kuliner modern di Indonesia. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, ini juga mendokumentasikan masakan orisinal dari seluruh Indonesia. Pakem-pakem awalnya dulu dibuat, lalu William menyajikannya dengan cara Barat. Atas jasa William terhadap dunia kuliner Indonesia, Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2008 memberikan penghargaan kepadanya.

Jauh sebelum Kementerian Pariwisata mencanangkan 30 ikon kuliner Indonesia, William Wongso sudah berupaya memperkenalkan makanan Indonesia kepada dunia. Semangatnya dalam mempopulerkan kuliner negeri sendiri, baik di dalam maupun luar negeri, pun patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, demi menggali kekayaan kuliner yang belum begitu dikenal, ia rela berkeliling Nusantara.

Salah satu contohnya adalah rendang Minangkabau. Sejak 2007, William secara khusus memperkenalkan West Sumatra caramelized beef curry (rendang Minang) dalam berbagai forum internasional. Rendang dipilih karena mewakili keragaman bumbu dan rempah di Nusantara. Dalam World Food Conference 2009 di Napa, California, Amerika Serikat, rendang buatan William mampu mengalahkan rendang ala Singapura. Menurut para kritikus, rendang Indonesia yang diolah cermat selama enam jam itu lebih enak. Dan di pengujung 2011, rendang Minang pun berada di urutan pertama dari 50 masakan terlezat di dunia versi CNNGo.

Agar diplomasi kuliner berjalan efektif, William pun merangkul para chef di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Sejumlah KBRI, seperti di Den Haag, London, dan Seoul, kerap didatanginya untuk berbagi ilmu. Pada Maret lalu, William ditunjuk sebagai konsultan dan pelatih oleh KBRI untuk menggalakkan program pelatihan pemilik restoran Indonesia di Belanda. William akan mengajari para pengelola restoran Indonesia di sana sehingga mereka dapat membuat masakan bercita rasa Nusantara seotentik mungkin.

Peran William Wongso dalam dunia kuliner Indonesia sudah seperti Zeus yang tak mungkin dikalahkan "dewa kuliner" lainnya.

l l l

Tentu saja, jasa para peletak dasar kuliner Indonesia itu harus kita hargai. Tapi, dalam pemilihan tokoh kuliner Tempo, seperti halnya dalam pemilihan tokoh seni dan gaya hidup lainnya, kami menginginkan darah segar yang membuat sebuah lompatan. Mungkin mereka perlu diuji lebih lanjut seperti Hercules, tapi jelas mereka punya kekuatan tersendiri.

Di titik ini, kami tidak memiliki banyak pilihan. "Masih banyak yang terjebak pada kegenitan," kata Yohan. Yang dia maksud dengan kegenitan adalah bermain-main pada gimmick, bukan esensi kuliner. Dari sedikit nama itu, muncullah Andrian Ishak, 36 tahun. Nama ini memang tidak lebih populer ketimbang para celebrity chef yang memiliki acara sendiri di televisi. Tapi Andrian yang menolak disebut chef itu termasuk yang berani bereksperimen dan berinovasi. Dia satu dari sedikit orang yang mau menekuni kuliner jalur khusus, yaitu gastronomi molekuler (molecular gastronomy).

Andrian tidak hanya memperkenalkan barang baru, tapi juga membumikannya dalam wujud masakan Nusantara. Bagi dia, masakan Indonesia itu menantang. Kebanyakan masakan Indonesia diolah dengan cara memasukkan semua bahannya menjadi satu. Dari segi rasa memang intensif, tapi dari segi kreasi penampilan tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Menurut dia, inilah tantangannya: bagaimana menyajikan masakan Indonesia itu dengan cara yang paling mutakhir.

Setelah menimbang peran dan sumbangsih para kandidat tokoh dalam perkembangan kuliner Indonesia, kami memutuskan menetapkan Andrian Ishak sebagai tokoh kuliner pilihan Tempo 2012. Andrian unggul dalam menampilkan kreativitas dan inovasi pada menu buatannya. Dia juga tak meninggalkan misi mengangkat kuliner otentik Indonesia.

Kami menyadari keputusan kami ini bukanlah tanpa kelemahan dan kekurangan. Tapi kami lebih berprinsip bahwa kesalahan yang kami buat akan menjadi pelajaran berharga yang bakal menjadi panduan dan markah kami berjalan ke depan. Kami berharap di tahun-tahun selanjutnya pemilihan ini menjadi agenda tahunan kami. Tidak hanya memilih tokoh kuliner, tapi mungkin juga menetapkan restoran pilihan atau masakan pilihan. Bon appetit, selamat menikmati!

Dody Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus