Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penampilannya hitam di atas hitam. Kemeja, jaket, celana, dan sepatu berwarna serupa. Warna berbeda hanya ada di jari tengah dan jari manis tangan kirinya. Di kedua jari tersemat masing-masing sebuah cincin perak. "Maaf kalau sedikit terlambat," kata Budiman Holan Hendropurnomo setiba di kantornya, biro arsitek PT Duta Cermat Mandiri, Jakarta. Ini pukul sepuluh tepat dan pria 58 tahun itu seharusnya tak meminta maaf.
Ia memperoleh ilmu arsitektur dari Universitas Melbourne, Australia. Begitu mendapat gelar sarjana, ia langsung bekerja di Denton Corker Marshall (DCM) pada 1982. Pamor DCM kala itu sedang menanjak karena berhasil menjadi juara kedua untuk desain gedung parlemen di Canberra. Tidak sampai sepuluh tahun, Budiman mendapat kepercayaan membuat cabang DCM di Jakarta. Jabatannya pun bergengsi, international design partner.
Kesempatan itu ia pakai untuk mengerjakan proyek-proyek bangunan berskala besar, seperti hotel dan gedung perkantoran. Hotel Tugu, Malang, Jawa Timur, menjadi proyek hotel pertamanya pada 1991. Tidak ada kendala dalam proses desainnya karena ia lahir dan menghabiskan masa remaja di kota yang memiliki banyak bangunan art deco itu. Di Malang jugalah ia bertemu pertama kali dengan istrinya, Lydia Walla, dalam sebuah pertandingan tenis. "Usia kami waktu itu baru 11 tahun," ujarnya.
Desain Hotel Tugu ia buat mengikuti lingkungan sekitar, yang kebanyakan rumah bergaya indische—arsitektur untuk bangunan tropis yang dipakai Belanda ketika itu. Ia juga memperkenalkan konsep tempat penginapan yang berfungsi pula sebagai museum. Sampai sekarang hotel ini, selain terkenal sebagai hotel paling mahal di Malang, memiliki banyak koleksi barang antik. Ikatan Arsitek Indonesia memberikan penghargaan desain terbaik untuk rancangannya ini.
Dari keberhasilan itu, Budiman lalu bergerak ke proyek hotel berikutnya. Maya Ubud di Bali dan Novotel di Palembang mendapat penghargaan serupa. Sekarang ia sedang mengerjakan Hotel Alila di Solo. Hotel ini terdiri atas 30 lantai dan bakal menjadi bangunan tertinggi di kota di Jawa Tengah itu. "Setiap provinsi butuh hotel dan ruang konferensi yang bagus, seiring dengan pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Kurang dari setengah jam, pembicaraan kami di ruang rapat kantor DCM Jakarta sempat terhenti. Budiman tiba-tiba teringat ada yang harus dilihatnya di sebuah koran hari itu. Seorang anggota staf kantor yang kebetulan lewat di depan ruang bersekat kaca mengambilkannya. Dengan antusias, Budiman menunjukkan sebuah iklan satu halaman besar. Isinya ucapan selamat atas terpilihnya 1Park Residence sebagai apartemen terbaik di Indonesia versi South East Asia Property Awards.
Tidak ada nama DCM, apalagi Budiman, tertera di halaman itu. Tapi ia tetap senang dengan hasilnya. Proyek ini sebenarnya tidak dia tangani dari awal. Pengembang sebelumnya sudah membuat dan membangun apartemen dengan desain yang ternyata tidak cocok dengan pasar ketika itu. Bagaikan Raja Midas yang bisa menyulap semua benda yang disentuh menjadi emas, ia memperbaiki rangka-rangka yang sudah jadi dan mengubahnya menjadi bentuk baru yang luar biasa.
Desain di 1Park Residence terbilang baru untuk apartemen mewah di Jakarta. Setiap unit apartemen memiliki lift pribadi. Umumnya, setelah keluar dari lift, penghuni langsung masuk ke ruang dalam apartemen. Di apartemen ini justru penggunanya masuk ke taman terbuka lebih dulu, baru menuju pintu masuk unit apartemen. "Jadi seolah-olah setiap penghuni punya teras depan," katanya.
Kalau kita melewati Jalan Gandaria, Jakarta Selatan, akan terlihat teras depan tersebut, yang berada di setiap lantai. Bangunan jadi tampak asri karena juntaian tanaman yang nongol keluar-masuk bangunan. Aksi "mengobati" bangunan gagal juga Budiman lakukan ketika mendesain Gedung UOB di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta.
Gedung yang berada persis di pojok jalan itu awalnya akan dijadikan hotel. Desain dan pembangunan konstruksi telah berjalan, sebelum krisis moneter 1998 menghentikan semuanya. Tinggallah kolom dan balok yang terbengkalai selama bertahun-tahun. Budiman menjadi arsitek yang ditunjuk pemiliknya untuk mengubah bangunan menjadi gedung perkantoran.
Butuh waktu delapan tahun untuk benar-benar menyelesaikan desain tersebut. Hasilnya, sebuah kotak besar berwarna biru 40 lantai selesai dibangun pada 2010. Tapi massa itu terbentuk dari kotak-kotak kecil yang seperti bergerak maju-mundur, kiri-kanan. Mirip dengan tumpukan balok dalam permainan UNO Stacko. Setiap kotak atau balok seolah-olah bisa dilepas terpisah tanpa meruntuhkan tumpukannya.
Budiman mengaku tidak memakai banyak gimmick yang biasa dipakai arsitek lokal. Ia tidak mau berlelah-lelah mencari satu kata untuk merepresentasikan karyanya. Garis rancangannya berdasarkan konteks lahan dan lingkungan sekitar. Pola pikir ini terbentuk sejak ia bekerja di Australia. Di sana, ia belajar membuat sebuah bangunan besar terlihat ringan dengan teknologi dan harmonisasi massa yang masuk akal. Tujuannya supaya bangunan memiliki skala yang lebih manusiawi.
Di awal milenium baru jugalah Budiman mulai memasukkan unsur Indonesia ke dalam karyanya. Pada Novotel Hotel, Palembang, ia bereksperimen dengan menyusun umpak-umpak batu raksasa menjadi taman, sementara kamar-kamar hotel ia sisipkan di antara batu tersebut. "Ini sebuah representasi kemegahan zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya," ujar ayah dua anak ini.
Tujuh kotak berserakan EX Plaza Indonesia merupakan gambaran tujuh studio bioskop yang terpental oleh kepadatan arus lalu lintas Bundaran Hotel Indonesia. Sedangkan Perpustakaan Universitas Indonesia menjadi sebuah eksperimennya terhadap lanskap. Karena itu, hasilnya seperti batu-batu menhir yang tersebar di atas bukit.
Karya terbarunya tahun ini, yang termasuk skala kecil, Gereja Stella Maris, Pluit, Jakarta Utara. Jemaat dan pengurus menyebutnya Gereja Nabi Nuh. Tampak luar memang bentuknya seperti bahtera. Tapi sebenarnya Budiman hanya mengakali lahan yang sempit. Bentuk kotak ia potong menjadi tumpukan tiga tingkat seperti kue. Lalu di dalamnya ia memakai material akustik kayu yang bentuknya seperti kayu terbalik. "Biar suara lagu gerejanya tidak membosankan," kata penganut Katolik ini.
Semua karyanya tentu bukan hasil kerja kerasnya semata. Sejak membuka kantor di Jakarta, Budiman memiliki dua partner. Sebelum membuat sketsa, mereka bertiga terlibat diskusi panjang, sampai berhari-hari. Cara kerja ini ia tiru dari arsitek terkenal, seperti Zaha Hadid dan Frank Gehry. "Mereka selalu bekerja dengan dua partner," ujarnya. Tapi sekarang tinggal Dicky Hendrasto yang mendampinginya. Sonny Sutanto membuat biro arsitek sendiri beberapa tahun lalu.
Bangunan-bangunan Budiman memang selalu mampu menyedot perhatian. Tapi Budiman, yang selalu berpakaian hitam, seperti tak ingin mendapat perhatian. Ruang kerjanya di lantai dua salah satu rumah toko di Wijaya Center, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tidak semewah hasil karyanya. Maket dan gambar kerja bertebaran di ruangan berukuran sekitar 5 x 3 meter itu. Di pojok salah satu dinding terdapat gambar anak sulungnya, Julian Sander, yang meninggal pada 2001.
Sorta Tobing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo