Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Nyanyi Sunyi Pengungsi Papua

Konflik Papua terus menyala pada masa pemerintahan Jokowi. Nasib pengungsi terabaikan.

 

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Pengungsi Nduga merenovasi atap Honai di Desa Sekom, Jayawijaya, Papua Pegunungan, 22 Juli 2024. Tempo/Hendrik Yaputra
Perbesar
Pengungsi Nduga merenovasi atap Honai di Desa Sekom, Jayawijaya, Papua Pegunungan, 22 Juli 2024. Tempo/Hendrik Yaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR enam tahun lamanya Jubiana Kogoya terusir dari tanah kelahirannya di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan. Setelah Tentara Nasional Indonesia memulai operasi militer di Nduga pada pengujung 2018, perempuan 28 tahun itu tak pernah kembali lagi ke rumahnya. Kini, di tengah konflik Papua, ia hidup terlunta-lunta di pengungsian di Desa Sekom, Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

Jubiana terbirit-birit lari ke hutan tak lama setelah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang dipimpin Egianus Kogeya membantai 17 pegawai PT Istaka Karya di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, pada 2 Desember 2018. Seusai peristiwa itu, tentara menyatroni kampung-kampung di Yigi dan sekitarnya. Dengan kondisi hamil tua, Jubiana membawa tiga anaknya. Ia terpisah dari suaminya.

Dalam pengungsian di hutan belantara Nduga yang lebat dan tertutup, Jubiana berniat melahirkan. Ia membawa tiga anaknya ke pinggir sungai. Nahas, air sungai tiba-tiba pasang dan menghanyutkan mereka. Namun Jubiana dan ketiga anaknya selamat dan ditemukan tim relawan.

Di tempat pengungsian, ia melahirkan putranya. “Saya beri nama dia Pengungsi,” kata Jubiana kepada Tempo dalam bahasa Nduga yang diterjemahkan oleh rekannya, Raga Kogeya, pada Senin, 22 Juli 2024. Jubiana bertemu lagi dengan suaminya di pengungsian. Dua tahun kemudian, ia melahirkan seorang putri yang diberi nama Pengungsiana. 

Jubiana kini harus tinggal bersama delapan pengungsi lain di honai—rumah adat Papua—seluas sekitar 24 meter persegi. Beralas rumput yang diambil dari hutan, para pengungsi berjejalan dengan peralatan masak, kayu-kayu, serta karung berisi hasil kebun. Ketika udara dingin Wamena menggigit tubuh pada malam hari, mereka berkumpul di dekat tungku api yang ada di tengah honai.

Bersama pengungsi lain, Jubiana makan dari hasil berkebun, seperti ubi, jagung, dan bayam merah. Tapi mereka tak bisa dengan bebas berkebun di pengungsian. “Tak boleh sembarangan karena tanah ini milik suku lain,” ujar Jubiana kepada Tempo dalam bahasa Nduga yang diterjemahkan oleh Raga Kogeya, Senin, 22 Juli 2024.

Sekitar 500 keluarga pengungsi di Desa Sekom mendirikan belasan honai di tanah ulayat milik suku Hubula. Pemilik tanah berbaik hati menampung para pengungsi asal Nduga. Tiap keluarga mendapat jatah 100 meter persegi. Selain untuk honai, lahan tersebut menjadi kebun buat memenuhi kebutuhan perut. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus