Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR enam tahun lamanya Jubiana Kogoya terusir dari tanah kelahirannya di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan. Setelah Tentara Nasional Indonesia memulai operasi militer di Nduga pada pengujung 2018, perempuan 28 tahun itu tak pernah kembali lagi ke rumahnya. Kini, di tengah konflik Papua, ia hidup terlunta-lunta di pengungsian di Desa Sekom, Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Jubiana terbirit-birit lari ke hutan tak lama setelah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang dipimpin Egianus Kogeya membantai 17 pegawai PT Istaka Karya di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, pada 2 Desember 2018. Seusai peristiwa itu, tentara menyatroni kampung-kampung di Yigi dan sekitarnya. Dengan kondisi hamil tua, Jubiana membawa tiga anaknya. Ia terpisah dari suaminya.
Dalam pengungsian di hutan belantara Nduga yang lebat dan tertutup, Jubiana berniat melahirkan. Ia membawa tiga anaknya ke pinggir sungai. Nahas, air sungai tiba-tiba pasang dan menghanyutkan mereka. Namun Jubiana dan ketiga anaknya selamat dan ditemukan tim relawan.
Di tempat pengungsian, ia melahirkan putranya. “Saya beri nama dia Pengungsi,” kata Jubiana kepada Tempo dalam bahasa Nduga yang diterjemahkan oleh rekannya, Raga Kogeya, pada Senin, 22 Juli 2024. Jubiana bertemu lagi dengan suaminya di pengungsian. Dua tahun kemudian, ia melahirkan seorang putri yang diberi nama Pengungsiana.
Jubiana kini harus tinggal bersama delapan pengungsi lain di honai—rumah adat Papua—seluas sekitar 24 meter persegi. Beralas rumput yang diambil dari hutan, para pengungsi berjejalan dengan peralatan masak, kayu-kayu, serta karung berisi hasil kebun. Ketika udara dingin Wamena menggigit tubuh pada malam hari, mereka berkumpul di dekat tungku api yang ada di tengah honai.
Bersama pengungsi lain, Jubiana makan dari hasil berkebun, seperti ubi, jagung, dan bayam merah. Tapi mereka tak bisa dengan bebas berkebun di pengungsian. “Tak boleh sembarangan karena tanah ini milik suku lain,” ujar Jubiana kepada Tempo dalam bahasa Nduga yang diterjemahkan oleh Raga Kogeya, Senin, 22 Juli 2024.
Sekitar 500 keluarga pengungsi di Desa Sekom mendirikan belasan honai di tanah ulayat milik suku Hubula. Pemilik tanah berbaik hati menampung para pengungsi asal Nduga. Tiap keluarga mendapat jatah 100 meter persegi. Selain untuk honai, lahan tersebut menjadi kebun buat memenuhi kebutuhan perut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana dalam honai milik pengungsi Nduga di Jalan Sosial, Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan, 21 Juli 2024. Tempo/Hendrik Yaputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data relawan yang mengurus pengungsi Nduga menunjukkan setidaknya ada lebih dari 1.100 orang tinggal di Sekom. Hanya ada satu fasilitas mandi, cuci, dan kakus di sana. Itu pun baru dibangun pada awal 2024. Sumber air yang digunakan para pengungsi berasal dari tiga sungai di sekitar Sekom. Untuk mengambilnya, pengungsi harus berjalan kaki selama 30-60 menit.
Tempo menyaksikan salah satu sumber air terlihat berwarna kuning kecokelatan. Toh, air itu tetap digunakan untuk keperluan minum, mandi, hingga memasak. Buruknya kualitas sumber air itu diduga menjadi penyebab banyak pengungsi terkena diare, sakit perut, hingga sakit kepala.
Masalahnya, jarak Sekom dengan fasilitas kesehatan terdekat, yaitu Pusat Kesehatan Masyarakat Muliama, sekitar 11 kilometer. Dengan medan penuh tanjakan, butuh 3 jam berjalan kaki atau 16 menit naik sepeda motor untuk mencapai puskesmas. Raga Kogeya, pengungsi yang juga menjadi relawan, datang ke Sekom satu kali dalam sepekan untuk membawakan obat.
Pada Senin, 22 Juli 2024, Raga dikerubungi ibu-ibu yang menanyakan stok remedi. Obat itu mereka gunakan sendiri atau untuk anak-anak yang sakit. “Kebanyakan terkena infeksi akibat bakteri,” tutur perempuan 48 tahun itu.
Pengungsi di Desa Sekom hanya sebagian dari banyak warga Nduga yang terpaksa meninggalkan kampung mereka. Ada yang mengungsi ke Timika, Yahukimo, Wamena, dan wilayah lain. Di Jalan Sosial, Wamena, ada 30 pengungsi lain. Mereka tinggal di empat rumah berdinding kayu dan beratap seng.
Prajurit TNI bersiap menaiki helikopter menuju Nduga saat terjadi penyerangan kelompok bersenjata terhadap warga sipil, di Wamena, Papua, Desember 2018. Antara/Iwan Adisaputra
Nasib mereka tidak lebih baik meski tinggal di daerah perkotaan. Para pengungsi itu tak punya lahan untuk berkebun. Sebagian dari mereka mencoba pulang pada 2019-2021 untuk mengambil barang-barang yang tertinggal. Namun nyaris tak ada barang tersisa di tanah kelahiran mereka.
Senakibimin Karunggu, seorang pengungsi, bercerita bahwa barang-barang di rumahnya telah lenyap. Rumahnya pun rusak. “Kami juga takut karena di sana masih ada patroli militer,” kata pengungsi asal Distrik Mugi itu.
Para pengungsi yang ditemui Tempo mengaku kecewa terhadap pemerintah pusat dan daerah. Abola Kogoya, seorang pengungsi, menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo lebih berfokus membangun infrastruktur. “Nasib kami tidak menjadi perhatian pemerintah,” ucap Abola.
Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Papua Pegunungan Frits Ramandey mengatakan selama enam tahun hak-hak pengungsi tak kunjung dipenuhi. Dari hak hidup layak, kesehatan, sampai pendidikan. Frits mengaku berkali-kali menyampaikan keluhan soal pemenuhan hak-hak pengungsi, tapi pemerintah pusat dan daerah bergeming.
Penjabat Gubernur Papua Pegunungan, Velix Wanggai, mengaku baru bisa memberi bantuan rutin berupa gula, kopi, beras, dan cadangan pangan. Ia mengklaim rumah layak huni, sekolah, hingga pusat rehabilitasi untuk pengungsi telah dibangun secara bertahap.
Ia juga menyebutkan telah membuat pelayanan kesehatan bergerak untuk pengungsi di Distrik Muliama. “Kami lakukan upaya terbaik,” ujar Velix saat ditemui di Kepolisian Resor Jayawijaya, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, Jumat, 19 Juli 2024. Meski begitu, Velix mengaku kesulitan memenuhi harapan pengungsi untuk bisa kembali ke Kabupaten Nduga.
•••
KONFLIK di Nduga hanya bagian kecil dari jejak panjang kekerasan di tanah Papua. Konflik bersenjata juga terus terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Yahukimo, hingga Pegunungan Bintang. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) periode 2022-2023, Andi Widjajanto, mengatakan jumlah kasus kekerasan di Papua justru meningkat pada era Presiden Joko Widodo.
Tingkat kekerasan di Papua tak linear dengan pendekatan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur yang selalu digembar-gemborkan pemerintahan Jokowi. “Tak ada korelasi antara motif kekerasan dan peningkatan kesejahteraan. Mereka hanya ingin merdeka,” kata Andi saat ditemui Tempo di rumahnya di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu, 17 Juli 2024.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan tingginya angka konflik ini kemudian menjadi dasar pemerintah tetap mengedepankan pendekatan keamanan di Papua. “Di awal masa pemerintahannya, Pak Jokowi berpikir pendekatan kesejahteraan cukup,” ucap Moeldoko kepada Tempo, Rabu, 24 Juli 2024.
Alih-alih menyuarakan dialog dengan pendukung dan kelompok pro-kemerdekaan Papua, pemerintah justru mengirimkan tambahan pasukan. Amnesty International Indonesia mencatat, sejak Februari 2023 hingga April 2024, pemerintah telah mengerahkan setidaknya 6.773 tentara dan polisi ke Papua.
Hasilnya, konflik di Papua kian membara. Sejak Januari 2018 hingga Juni 2024, tercatat 128 kasus pembunuhan di luar hukum dengan 236 warga sipil meninggal. Kebanyakan pelakunya adalah aparat dengan 81 kasus dan 131 korban. Adapun pelaku dari kelompok bersenjata pro-kemerdekaan terhitung berjumlah 47 kasus dengan jumlah korban 105 orang.
Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, kebijakan mengenai penanganan konflik Papua justru memanaskan bara konflik di sana. Salah satunya penyebutan grup pro-kemerdekaan sebagai kelompok separatis teroris. Belakangan, Tentara Nasional Indonesia kembali menggunakan istilah Organisasi Papua Merdeka. Sedangkan kepolisian tetap menggunakan nama kelompok kriminal bersenjata.
Label separatis teroris terhadap kelompok pro-kemerdekaan Papua ditolak kalangan internal pemerintah. Andi Widjajanto, eks Sekretaris Kabinet dan mantan Gubernur Lemhannas, mengatakan ada kekhawatiran penyebutan separatis justru memunculkan sorotan dari luar negeri. “Indonesia harus membuka akses ke Papua untuk dunia internasional,” tutur Andi.
Kebijakan Jokowi yang lain, yaitu memperpanjang penerapan otonomi khusus Papua, juga menimbulkan polemik. Sebab, perpanjangan itu tak melibatkan masyarakat Papua. “Otsus jilid II justru banyak mengembalikan peran sentral pemerintah pusat,” kata peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, Senin, 22 Juli 2024.
Ia mencontohkan, pemekaran wilayah di Papua tak lagi melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai perwakilan suara orang asli. Sebelumnya, pemekaran wajib menyertakan MRP. Penolakan masyarakat dan MRP muncul tatkala pemerintah membentuk empat provinsi baru, yaitu Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.
Menurut Cahyo, yang kerap meneliti soal Papua, pemekaran itu justru mempertegas citra Indonesia sebagai pemerintah kolonial. Masyarakat Papua menganggap pemecahan wilayah sebagai bentuk kontrol ketat terhadap wilayah dan penduduk.
Komnas HAM sebenarnya telah menginisiasi jeda kemanusiaan pada pertengahan Desember 2022. Dengan jeda kemanusiaan atau penghentian sementara perang untuk tujuan humanitarian, tensi konflik Papua diharapkan menurun. Namun pemerintah pusat dan sejumlah kelompok pro-kemerdekaan menolaknya.
Anggota Jaringan Damai Papua, Adriana Elisabeth, menilai Jokowi tak punya arah ataupun pendekatan strategis dalam menyelesaikan berbagai konflik di Papua. Padahal Adriana mengatakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia—kini BRIN—pernah membuat road map resolusi konflik Papua pada 2009.
Sejak 2011 hingga 2017, Jaringan Damai Papua menginisiasi dialog antara stakeholder pemerintah dan Papua. Di era Jokowi, dialog ini terjadi tiga kali. Pada 2017, acara itu tak berlanjut karena Jokowi berjanji mengadakan dialog sektoral di Papua. “Sampai sekarang dialog itu enggak jadi semuanya. Sejak dialog berhenti, angka konflik terus naik,” ucap Adriana.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan pendekatan dialog sulit dilakukan di Papua. Ia menyebutkan terlalu banyak kelompok dan beberapa di antaranya tetap ingin mempertahankan hegemoni di Papua. “Kondisi riilnya seperti itu, tidak selesai dengan penegakan kesejahteraan. Maka memang tetap masih diperlukan pendekatan keamanan,” kata Moeldoko.
•••
SEIRING dengan dekatnya pergantian pemerintah, mereka yang dulu berharap Joko Widodo mampu menuntaskan konflik Papua tak lagi menaruh asa. Pendeta Benny Giay salah satunya. Bertemu dengan Jokowi di Wisma Negara Istana Kepresidenan pada Desember 2014, Benny yang datang bersama tokoh-tokoh Papua lain meminta Jokowi menyelesaikan akar konflik di wilayah itu.
“Waktu itu kami tersentuh,” ujar Benny kepada Tempo pada Selasa, 23 Juli 2024. Namun ia kini menilai Jokowi tak serius menyelesaikan berbagai masalah di Papua. “Berbagai kunjungan Jokowi hanya pencitraan.”
Pada Selasa, 23 Juli 2024, Jokowi berkunjung ke Jayapura, Papua, untuk kesekian kali. Ia menghadiri peringatan Hari Anak Nasional bertema “Dari Papua untuk Indonesia: Suara Anak Membangun Bangsa”. Ia tak berbicara soal konflik Papua. “Sumber daya manusia Papua secara modal ada, bagus. Tinggal bagaimana menggosoknya agar cemerlang,” tutur Presiden.
Presiden Joko Widodo menerima Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat membahas mengenai daerah otonomi baru (DOB) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Mei 2022. BPMI Setpres/Rusman
Sehari sebelum Jokowi datang, puluhan pengungsi Nduga di Desa Sekom, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, sibuk memperbaiki atap honai yang mulai bolong dengan ilalang muda. Honai itu bangunan pertama yang ditempati para pengungsi Nduga di Wamena ketika meninggalkan kampung halaman mereka pada 2018.
“Renovasi ini sekaligus memperingati enam tahun keberadaan kami di Wamena,” kata pendeta Kones Kogeya, salah satu pengungsi, saat ditemui Tempo di sela renovasi.
Di tengah konflik Papua yang entah sampai kapan membara, pengungsi mulai kehilangan harapan pulang. Sembari memperbaiki atap honai, mereka menyanyikan lagu berbahasa Nduga berisi kerinduan pada kampung mereka. “Lagu itu menceritakan kesedihan hilangnya kampung halaman,” ujar Raga Kogeya, pengungsi Nduga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo