Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kegiatan industri tekstil perlahan tapi pasti mulai menunjukkan hasil. Selama semester pertama tahun ini nilai ekspor tekstil dan produksi tekstil meningkat dua persen menjadi US$ 5,63 miliar dibanding periode yang sama tahun lalu. Dari sisi neraca perdagangan tekstil juga mencatat surplus sebesar US$ 1,54 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal industri tekstil sempat mencatat pertumbuhan menurun dari 6,58 persen pada 2013, melorot tinggal 1,56 persen pada 2014 dan minus 4,79 persen pada 2015. Pertumbuhan industri tekstil mulai membaik pada 2017 dengan mencatat pertumbuhan 3,76 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ernovian G. Ismy, penurunan kinerja industri tekstil dan turunannya sudah diprediksi sejak jauh hari. Menurut dia, semua bermula pada 2010 saat pemerintah Indonesia memproteksi serat filamen dalam negeri. "Hulu diproteksi tapi hilir dibebaskan oleh produk impor, industri juga ribut terus-terusan," ujarnya kemarin.
Akibatnya, ujar Ernovian, daya saing produk hilir produk dalam negeri berkurang. Sebab, mahalnya bahan baku serat filamen secara otomatis berujung pada mahalnya produk benang, kain, dan garmen. Adapun, negara pesaing eksportir tekstil seperti Vietnam sudah cukup harmonis dan berani membebaskan impor bahan baku tersebut.
Dia mengatakan kebijakan pemerintah, seperti diskon tarif listrik dan harga gas khusus industri padat karya, belum dirasakan di lapangan. Tarif listrik di Indonesia saat ini sekitar US$ 10,5 sen per kWh dan tarif gas US$ 9,3 per mmbtu. Nilai tersebut lebih mahal dibanding tarif listrik di Vietnam yang sebesar US$ 7 sen per kWh dan gas US$ 7,5 per mmbtu.
"Begitu juga ngomongin perang dagang, produk kami nomor tiga di Jepang karena ada pakta kerja sama, sisanya kalah sama Vietnam yang jalin kerja sama sejak jauh hari," ujarnya Ernovian.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Redma Gita Wirawasta, mengatakan tak ada yang salah dengan proteksi serat filamen. Pentingnya proteksi filamen, menurut dia, bisa terlihat dari serapan produk tekstil jenis serat pada 2018. Dari total konsumsi sebesar 700 ribu ton, sebanyak 150 ribu ton atau 21,4 persennya di antaranya merupakan produk impor.
Sedangkan untuk produk tekstil kain, dari total konsumsi sekitar 2,3 juta ton, sebanyak 60 persen atau setara 1,38 juta ton di antaranya berasal dari impor. "Kami bisa penuhi semua kebutuhan dalam negeri, kecuali kapas," ujar Redma.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan, untuk mengamankan industri tekstil dalam negeri, pemerintah perlu membendung gempuran terhadap produk hulu hingga hilir pertekstilan yang makin marak. "Penerapan bea masuk tindakan pengamanan jadi salah satu prioritas pemerintah," kata Sigit.
Tuntutan tarif energi yang murah juga sedang diupayakan pemerintah. Sigit mengatakan sedang mengupayakan adanya tarif gas khusus sekitar US$ 6 per mmbtu untuk mengurangi beban produksi pelaku usaha tekstil. Program lainnya adalah peremajaan mesin industri tekstil dengan perkiraan anggaran sebesar Rp 400 miliar per tahun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan akan mempelajari skema bantuan peremajaan mesin. Menurut dia, pemerintah sejak dulu sudah memberi bantuan serupa di industri gula dan cokelat. "Tapi perlu diperhatikan kalau pemiliknya swasta, seharusnya mereka sudah bisa menghitung depresiasi aset dengan baik," ujar Sri.
Ihwal penetrasi pasar, Kementerian Perdagangan juga rajin mengajak pelaku usaha tekstil bersafari ke pasar-pasar besar. Akhir tahun lalu, misalnya, Asosiasi Pertekstilan Indonesia diajak secara khusus ke Amerika Serikat untuk meningkatkan ekspornya yang saat ini sudah tembus US$ 4,5 miliar. Negosiasi teknis sebelum eksekusi terus berlanjut hingga kini. Saat ini produk tekstil Indonesia masih nomor enam terbesar di Negeri Abang Sam, sedangkan Vietnam sudah masuk tiga besar. LARISSA HUDA | ANDI IBNU
Delapan Jurus Jangka Pendek
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo