Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penjual mainan perang: prancis

Penjualan senjata-senjata prancis pada negara-negara dunia ketiga, dengan dalih untuk membantu negara-negara tersebut mengurangi ketergantungannya akan senjata pada dua negara besar. (sel)

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA yang berharap pemerintah sosialis Prancis akan mengurangi penjualan senjatanya, boleh kecele. Kementerian luar negeri Prancis belum lama ini mengumumkan kebijaksanaan pemerintahnya -- untuk membantu negara-negara Dunia Ketiga mengurangi ketergantungannya akan senjata pada dua negara besar, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika membicarakan transaksi senjata dengan Nikaragua baru-baru ini, Menteri Pertahanan Prancis mengemukakan, "dengan mensuplai perlengkapan persenjataan jenis ini, Prancis memainkan peranan politiknya yang layak." Dalam suatu transaksi senilai kurang-lebih US$ 18 juta, Prancis akan menjual kepada Nikaragua kapal-kapal patroli, truk dan helikopter Alouette. Juga akan melatih para penerbang dan perwira angkatan laut Nikaragua di lembaga-lembaga pendidikan militer Prancis. Koresponden Frank Barnaby, dari majalah South, mengabarkan pula bahwa peluru-peluru kendali udara-ke-darat dan peluncur-peluncur roket merupakan bagian dari transaksi itu, meski senjata-senjata tersebut diduga tidak akan digunakan untuk tujuan ofensif. Dalih Prancis bahwa penjualan itu bertujuan mengurangi ketergantungan Nikaragua pada USSR, sebenarnya tidak banyak artinya. Bukan pertama kali ini Prancis mengejutkan negara lain dengan penjualan senjatanya. Yang paling tidak populer ialah ke Afrika Selatan, dan kesediaannya mengizinkan Afrika Selatan membuat senjata Prancis dengan lisensi. Dari sistem persenjataan Afrika Selatan kini, yang berasal dari Prancis bisa dilihat: pesawat Mirage-III, Mirage F-1 dan Transall C-160 helikopter Alouette, Puma dan Super Frelon mortir 60 mm dan 81 mm peluru kendali antitank Milan kendaraan lapis baja Panhard dan sistem komunikasi udara. Menurut angka-angka dari Badan Pengawasan Persenjataan dan Perlucutan Senjata AS, Prancis menyediakan bagian terbesar perlengkapan militer Afrika Selatan selama dasawarsa yang lalu. Selama 1970-an, negeri terakhir itu membangun industri pertahanan nasional terbesar di belahan bumi selatan, dengan menggunakan lisensi dan hak paten yang diperoleh dari negara-negara lain sebelum embargo senjata PBB tahun 1977. Itu tidak berarti Afrika Selatan sudah berdikari dalam produksi senjata. Nyatanya meskipun ada embargo, mereka masih memperoleh suku cadang, komponen dan bantuan teknis untuk itu. Lisensi Prancis menyolok jumlahnya dalam produksi senjata negeri itu: produksi pesawat tempur Mirage F-1, kendaraan lapis baja rancangan Prancis (Eland-2,-3 dan -4) dan peluru kendali darat-udara Crotale yang asal Prancis (disebut Cactus), berdasar lisensi tersebut. Angka-angka Lembaga Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (Sipri) menunjukkan, dalam tahun 1977 Prancis merupakan suplajer ketiga terbesar di dunia untuk senjata-senjata terpenting setelah AS dan Uni Soviet. Dan dengan demikian mengalahkan Inggris. Senjata-senjata terpenting itu ialah kendaraan lapis baja, pesawat tempur, peluru kendali dan kapal perang. Dan hampir 80 persen ekspor senjata Prancis ini mengalir ke Dunia Ketiga. * * * PUN nilai penjualannya terus meningkat. Antara 1976 dan 1980, nilai ekspor itu naik lebih dari dua kali lipat: dari US$2,5 milyar dalam tahun 1976 menjadi US$ 5,2 milyar dalam tahun 1980. Dan selama dasawarsa yang lalu ekspor meningkat lebih dari empat kali lipat. Kecepatan pertumbuhan ini dua kali lipat dibanding pada ekspor nonmiliter. Bahkan sukses industri senjata tersebut tercermin pula dari kenaikan tajam harga saham-saham perusahaan pembuat senjata yang terkemuka seperti Matra, Dassault-Breuget, Avions Marcel dan Thomson-Brandth. Ini bisa dilihat sebagai pendorong pokok: setelah krisis minyak 1973, Prancis perlu mengamankan hubungannya dengan para produsen minyak di Timur Tengah. Dan untuk itu ia menggunakan suplai senjata. Soalnya, sekitar 65% jumlah konsumsi energi Prancis berasal dari minyak. Dan semuanya benar-benar harus diimpor. Angka-angka Sipri menunjukkan, tahun 1980 sekitar 70% ekspor senjata Prancis ke Dunia Ketiga tertuju kepada para produsen minyak -- termasuk Irak, Arab Saudi, Libya. Prancis sudah mengalahkan Inggris sebagai penyedia senjata ke Timur Tengah. Di Timur Jauh dan Amerika Selatan, Prancis suplaier ketiga terbesar, sementara ke Amerika Tengah ia merupakan keempat terbesar. Afrika sendiri merupakan medan penting. Sejak lama Prancis merupakan suplaier senjata yang menonjol ke bekas daerah jajahannya di benua ini, dan aktif pula mengincar pasaran lain di situ. Penjualan senjata ke negara-negara Afrika tertentu dipandangnya sebagai cara mengamankan suplai uranium di masa datang untuk program tenaga nuklirnya. Di Timur Tengah, pada tahun 1980, setelah Presiden Prancis melawat ke sana, negara tersebut menjual empat fregat kelas berpeluru kendali F-2000 kepada Arab Saudi. Pesanan Arab Saudi bernilai seluruhnya sekitar US$ 3,5 milyar --meliputi 24 helikopter Dauphin yang dipersenjatai peluru kendali antikapal AS-15TT, peluru kendali kapal-ke-kapal Otomat-2 dan dua kapal pensuplai bahan bakar. Pesanan ini menyusul ekspor besar-besaran lainnya ke Arab Saudi pada akhir 1970-an, termasuh 200 kendaraan lapis baja AMX-10 dan 650 tank tempur AMX30, serta pesanan untuk sejumlah besar (barangkali 50) peluru kendali permukaan-yang-mobil-ke-udara, Crotale. Pengiriman senjata berat Prancis ke Irak tersiar luas berkat perang Iran-Irak. Pada 1980, pengiriman pertama berwujud 12 pesawat tempur Mirage F-1C dari pesanan sejumlah 60 buah. Tetapi Irak ingin membeli Mirage-2000. Menurut Sipri, 360 peluru kendali antitank HOT telah dikirimkan ke Irak untuk mempersenjatai helikopter SA-342 Gazelle, yang dikirimkan sebagai bagian dari satu paket persenjataan. Transaksi ini mencakup pesawat Mirage, kendaraan lapis baja Sagaie, 100 tank tempur AMX-30, dan peluru kendali kapal-ke-kapal Exocet. Pasukan-pasukan Irak dipersenjatai pula dengan helikopter Puma, Alouette dan Super Frelon. Prancis juga menjual sejumlah besar senjata ke Maroko -- yang jadi langganan baik karena sedang berperang dengan Polisario. Penjualan senjata yang penting meliputi pesawat latih Alpha Jet, helikopter Gazelle, kendaraan lapis baja dan kapal patroli. Adapun pesawat terbang yang dijual ke Mesir, terdiri atas Alpha Jet dan Mirage 5SD. Dan Mesir merupakan pengimpor pertama sistem pertahanan pantai yang menggunakan peluru kendali antikapal, Otomat-2. Cukup panjang daftar negara Dunia Ketiga yang berlangganan senjata kepada Prancis. India misalnya ingin membeli 40 Mirage 2000 seharga sekitar US$ 1,1 milyar. Catatan perdagangan senjata Sipri 1981 menunjukkan, Prancis telah mengirimkan atau menerima pesanan senjata penting untuk negara Dunia Ketiga berikut ini: Afrika Selatan, Arab Saudi, Argentina, Bahrain, Brazil, Cili, Ekuador, Gabon, Indonesia, Irak, Jibuti, Libanon, Libya, Maroko, Meksiko, Mesir, Niger, Nigeria, Oman, Pakistan, Pantai Gading, Peru, Qatar, Senegal, Singapura, Sudan, Suriah, Togo, Tunisia, Uruguay dan Yordania. Itu berarti: Prancis memborong 11% pengiriman senjata ke Dunia Ketiga --dibanding Inggris yang hanya sekitar 4%, Jerman Barat yang 3% dan Italia yang 4%. Dan kebijaksanaan ekspor itu dilancarkan dengan agresif. Penjualan dipromosikan di tiap kesempatan. Juga dibanding negara industri mana pun, Prancis tak mengenakan banyak pembatasan terhadap ekspor senjatanya. Adanya kaitan erat antara tenaga nuklir dan senjata nuklir, memberikan makna militer penting pada ekspor fasilitas dan bahan-bahan nuklir. Negara mana pun yang punya program nuklir untuk tujuan damai dalam skala agak besar, mau tak mau memiliki keahlian merancang senjata nuklir dan berkemampuan memproduksi bahan fisil (pengurai) untuk senjata ini. Karena itu mengekspor fasilitas dan bahan nuklir berarti mempermudah produksi senjata nuklir. Dan ekspor nuklir Prancis ke Dunia Ketiga dimulai sejak 1975, juga dalam bentuk penjualan rahasia sebuah reaktor nuklir kepada Israel. Ada kemungkinan Israel memproduksi senjata nuklir dari plutonium yang dihasilkan reaktor ini. * * * KHUSUS transaksi nuklir Prancis dengan Dunia Ketiga, paling belakangan meliputi negara-negara Afrika Selatan, Korea Selatan, Taiwan, Pakistan dan Irak. Tetapi Prancis menarik bantuannya kepada Pakistan, Korea Selatan dan Taiwan untuk membangun pabrik-pabrik guna memindahkan plutonium dari unsur-unsur bahan bakar yang dikeluarkan reaktor, setelah mendapat tekanan keras Amerika Serikat. Pada 1975 Prancis menandatangani kontrak dengan Irak untuk mensuplai dua reaktor penelitian (dibuka di Tuwaitha, 1981) dan jugabahan reaktor yang diperkaya dengan uranium. Di samping itu sebuah universitas nuklir juga akan didirikan untuk melatih para sarjana Irak. Proyek itu bernilai US$ 1,5 milyar bagi Prancis, dan memberikan prospek terjaminnya suplai minyak di masa depan. Sementara itu di Koeburg, dekat Cape Town (Afrika Selatan), Prancis sedang membangun dua reaktor besar pembangkit listrik tenaga nuklir masing-masing dengan output sebesar kurang-lebih 1000 megawat. Satu reaktor seharusnya selesai akhir tahun ini sedang lainnya akan menyusul kurang lebih setahun kemudian. Tadinya diduga keras pemerintah sosialis Mitterand akan membatalkan penyelesaian lebih lanjut reaktor-reaktor ini. Ternyata ia tidak saja akan memenuhi kontrak tersebut, melainkan juga memperkenankan Afrika Selatan membeli bahan bakar yang kaya uranium yangdisimpan di wilayah Prancis. Framatome, sebuah penusahaan nuklir yang sebagian dimiliki pemerintah Prancis, membuat batangan nuklir dari uranium tersebut sehingga reaktor Koeburg yang pertama bisa dimulai pada waktunya. Transaksi itu dibuat bukan saja setelah pemerintah baru Prancis memegang kekuasaan, tetapi Prancis (dengan sangat menjengkelkan AS) sama sekali tidak mendesakkan agar tindakan penyelamatan secara menyeluruh dijadikan prasyarat kontrak yang baru. Padahal tindakan penyelamatan seperti itu akan menjamin semua instalasi nuklir Afrika Selatan berada di bawah pengawasan internasional. Kebijaksanaan Prancis dalam ekspor senjata dan nuklir ke Dunia Ketiga nampaknya demikian tak terkendalikan. Dan hampir seluruhnya dapat dikatakan berdasar kepentingan nasional dan komersial yang sempit, tanpa banyak -- atau bahkan samasekali tidak ada -- pertimbangan keamanan dunia. Namun hingga kini belum ada tanda pemerintah sosialis akan mampu atau bahkan bersedia mengubah keadaan ini. Kabar terakhir yang tersiar malah menyebutkan, Prancis sedang bersiap mengorbitkan sebuah satelit mata-mata dalam waktu lima tahun mendatang. Itu akan dilengkapi dengan "mata listrik" yang harus sanggup mendeteksi instalasi-instalasi strategis, lalulintas kapal di laut dan gerakan tank serta pasukan di daratan mana saja di muka bumi -- kata seorang pejabat pertahanan negara itu. Untuk mewujudkan proyek ini Prancis telah menghabiskan waktu 20 tahun -- karena Amerika Serikat berulangkali menolak membantu negara-negara Eropa Barat meluncurkan satelit pengamat militer mereka sendiri. Tetapi Prancis tidaklah merahasiakan upayanya untuk mendapatkan alat-alat pengamat sendiri, daripada hanya mengandalkan data yang diberikan Amerika Serikat kepada sekutu Atlantiknya. Satelit mata-mata Prancis itu diberi nama Samro (satelit pengintai dan pengamat militer). Sistemnya berbeda dari satelit mata-mata AS 'Big Birds' serta satelit-satelit Molniya dan Cosmos Uni Soviet yang mahal dan tak bisa dipikul biayanya oleh Prancis. Satelit AS, misalnya, "melihat" dengan mata optik. Sedang Samro akan merupakan "mata video", yang mengolah data yang bercahaya melalui komputer yang dihubungkan ke terminal. Ia akan ditempatkan pada orbit setinggi 800 km di atas permukaan bumi. Tahan 'tuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus