MEREKA yang berharap pemerintah sosialis Prancis akan mengurangi
penjualan senjatanya, boleh kecele. Kementerian luar negeri
Prancis belum lama ini mengumumkan kebijaksanaan pemerintahnya
-- untuk membantu negara-negara Dunia Ketiga mengurangi
ketergantungannya akan senjata pada dua negara besar, Amerika
Serikat dan Uni Soviet. Ketika membicarakan transaksi senjata
dengan Nikaragua baru-baru ini, Menteri Pertahanan Prancis
mengemukakan, "dengan mensuplai perlengkapan persenjataan jenis
ini, Prancis memainkan peranan politiknya yang layak."
Dalam suatu transaksi senilai kurang-lebih US$ 18 juta, Prancis
akan menjual kepada Nikaragua kapal-kapal patroli, truk dan
helikopter Alouette. Juga akan melatih para penerbang dan
perwira angkatan laut Nikaragua di lembaga-lembaga pendidikan
militer Prancis. Koresponden Frank Barnaby, dari majalah South,
mengabarkan pula bahwa peluru-peluru kendali udara-ke-darat dan
peluncur-peluncur roket merupakan bagian dari transaksi itu,
meski senjata-senjata tersebut diduga tidak akan digunakan untuk
tujuan ofensif.
Dalih Prancis bahwa penjualan itu bertujuan mengurangi
ketergantungan Nikaragua pada USSR, sebenarnya tidak banyak
artinya. Bukan pertama kali ini Prancis mengejutkan negara lain
dengan penjualan senjatanya. Yang paling tidak populer ialah ke
Afrika Selatan, dan kesediaannya mengizinkan Afrika Selatan
membuat senjata Prancis dengan lisensi. Dari sistem persenjataan
Afrika Selatan kini, yang berasal dari Prancis bisa dilihat:
pesawat Mirage-III, Mirage F-1 dan Transall C-160 helikopter
Alouette, Puma dan Super Frelon mortir 60 mm dan 81 mm peluru
kendali antitank Milan kendaraan lapis baja Panhard dan sistem
komunikasi udara.
Menurut angka-angka dari Badan Pengawasan Persenjataan dan
Perlucutan Senjata AS, Prancis menyediakan bagian terbesar
perlengkapan militer Afrika Selatan selama dasawarsa yang lalu.
Selama 1970-an, negeri terakhir itu membangun industri
pertahanan nasional terbesar di belahan bumi selatan, dengan
menggunakan lisensi dan hak paten yang diperoleh dari
negara-negara lain sebelum embargo senjata PBB tahun 1977. Itu
tidak berarti Afrika Selatan sudah berdikari dalam produksi
senjata. Nyatanya meskipun ada embargo, mereka masih memperoleh
suku cadang, komponen dan bantuan teknis untuk itu.
Lisensi Prancis menyolok jumlahnya dalam produksi senjata negeri
itu: produksi pesawat tempur Mirage F-1, kendaraan lapis baja
rancangan Prancis (Eland-2,-3 dan -4) dan peluru kendali
darat-udara Crotale yang asal Prancis (disebut Cactus), berdasar
lisensi tersebut.
Angka-angka Lembaga Penelitian Perdamaian Internasional
Stockholm (Sipri) menunjukkan, dalam tahun 1977 Prancis
merupakan suplajer ketiga terbesar di dunia untuk
senjata-senjata terpenting setelah AS dan Uni Soviet. Dan dengan
demikian mengalahkan Inggris. Senjata-senjata terpenting itu
ialah kendaraan lapis baja, pesawat tempur, peluru kendali dan
kapal perang. Dan hampir 80 persen ekspor senjata Prancis ini
mengalir ke Dunia Ketiga.
* * *
PUN nilai penjualannya terus meningkat. Antara 1976 dan 1980,
nilai ekspor itu naik lebih dari dua kali lipat: dari US$2,5
milyar dalam tahun 1976 menjadi US$ 5,2 milyar dalam tahun 1980.
Dan selama dasawarsa yang lalu ekspor meningkat lebih dari empat
kali lipat. Kecepatan pertumbuhan ini dua kali lipat dibanding
pada ekspor nonmiliter. Bahkan sukses industri senjata tersebut
tercermin pula dari kenaikan tajam harga saham-saham perusahaan
pembuat senjata yang terkemuka seperti Matra, Dassault-Breuget,
Avions Marcel dan Thomson-Brandth.
Ini bisa dilihat sebagai pendorong pokok: setelah krisis minyak
1973, Prancis perlu mengamankan hubungannya dengan para produsen
minyak di Timur Tengah. Dan untuk itu ia menggunakan suplai
senjata. Soalnya, sekitar 65% jumlah konsumsi energi Prancis
berasal dari minyak. Dan semuanya benar-benar harus diimpor.
Angka-angka Sipri menunjukkan, tahun 1980 sekitar 70% ekspor
senjata Prancis ke Dunia Ketiga tertuju kepada para produsen
minyak -- termasuk Irak, Arab Saudi, Libya. Prancis sudah
mengalahkan Inggris sebagai penyedia senjata ke Timur Tengah. Di
Timur Jauh dan Amerika Selatan, Prancis suplaier ketiga
terbesar, sementara ke Amerika Tengah ia merupakan keempat
terbesar.
Afrika sendiri merupakan medan penting. Sejak lama Prancis
merupakan suplaier senjata yang menonjol ke bekas daerah
jajahannya di benua ini, dan aktif pula mengincar pasaran lain
di situ. Penjualan senjata ke negara-negara Afrika tertentu
dipandangnya sebagai cara mengamankan suplai uranium di masa
datang untuk program tenaga nuklirnya.
Di Timur Tengah, pada tahun 1980, setelah Presiden Prancis
melawat ke sana, negara tersebut menjual empat fregat kelas
berpeluru kendali F-2000 kepada Arab Saudi. Pesanan Arab Saudi
bernilai seluruhnya sekitar US$ 3,5 milyar --meliputi 24
helikopter Dauphin yang dipersenjatai peluru kendali antikapal
AS-15TT, peluru kendali kapal-ke-kapal Otomat-2 dan dua kapal
pensuplai bahan bakar. Pesanan ini menyusul ekspor besar-besaran
lainnya ke Arab Saudi pada akhir 1970-an, termasuh 200 kendaraan
lapis baja AMX-10 dan 650 tank tempur AMX30, serta pesanan untuk
sejumlah besar (barangkali 50) peluru kendali
permukaan-yang-mobil-ke-udara, Crotale.
Pengiriman senjata berat Prancis ke Irak tersiar luas berkat
perang Iran-Irak. Pada 1980, pengiriman pertama berwujud 12
pesawat tempur Mirage F-1C dari pesanan sejumlah 60 buah. Tetapi
Irak ingin membeli Mirage-2000. Menurut Sipri, 360 peluru
kendali antitank HOT telah dikirimkan ke Irak untuk
mempersenjatai helikopter SA-342 Gazelle, yang dikirimkan
sebagai bagian dari satu paket persenjataan. Transaksi ini
mencakup pesawat Mirage, kendaraan lapis baja Sagaie, 100 tank
tempur AMX-30, dan peluru kendali kapal-ke-kapal Exocet.
Pasukan-pasukan Irak dipersenjatai pula dengan helikopter Puma,
Alouette dan Super Frelon.
Prancis juga menjual sejumlah besar senjata ke Maroko -- yang
jadi langganan baik karena sedang berperang dengan Polisario.
Penjualan senjata yang penting meliputi pesawat latih Alpha Jet,
helikopter Gazelle, kendaraan lapis baja dan kapal patroli.
Adapun pesawat terbang yang dijual ke Mesir, terdiri atas Alpha
Jet dan Mirage 5SD. Dan Mesir merupakan pengimpor pertama sistem
pertahanan pantai yang menggunakan peluru kendali antikapal,
Otomat-2.
Cukup panjang daftar negara Dunia Ketiga yang berlangganan
senjata kepada Prancis. India misalnya ingin membeli 40 Mirage
2000 seharga sekitar US$ 1,1 milyar. Catatan perdagangan senjata
Sipri 1981 menunjukkan, Prancis telah mengirimkan atau menerima
pesanan senjata penting untuk negara Dunia Ketiga berikut ini:
Afrika Selatan, Arab Saudi, Argentina, Bahrain, Brazil, Cili,
Ekuador, Gabon, Indonesia, Irak, Jibuti, Libanon, Libya, Maroko,
Meksiko, Mesir, Niger, Nigeria, Oman, Pakistan, Pantai Gading,
Peru, Qatar, Senegal, Singapura, Sudan, Suriah, Togo, Tunisia,
Uruguay dan Yordania.
Itu berarti: Prancis memborong 11% pengiriman senjata ke Dunia
Ketiga --dibanding Inggris yang hanya sekitar 4%, Jerman Barat
yang 3% dan Italia yang 4%.
Dan kebijaksanaan ekspor itu dilancarkan dengan agresif.
Penjualan dipromosikan di tiap kesempatan. Juga dibanding negara
industri mana pun, Prancis tak mengenakan banyak pembatasan
terhadap ekspor senjatanya.
Adanya kaitan erat antara tenaga nuklir dan senjata nuklir,
memberikan makna militer penting pada ekspor fasilitas dan
bahan-bahan nuklir. Negara mana pun yang punya program nuklir
untuk tujuan damai dalam skala agak besar, mau tak mau memiliki
keahlian merancang senjata nuklir dan berkemampuan memproduksi
bahan fisil (pengurai) untuk senjata ini. Karena itu mengekspor
fasilitas dan bahan nuklir berarti mempermudah produksi senjata
nuklir.
Dan ekspor nuklir Prancis ke Dunia Ketiga dimulai sejak 1975,
juga dalam bentuk penjualan rahasia sebuah reaktor nuklir kepada
Israel. Ada kemungkinan Israel memproduksi senjata nuklir dari
plutonium yang dihasilkan reaktor ini.
* * *
KHUSUS transaksi nuklir Prancis dengan Dunia Ketiga, paling
belakangan meliputi negara-negara Afrika Selatan, Korea Selatan,
Taiwan, Pakistan dan Irak. Tetapi Prancis menarik bantuannya
kepada Pakistan, Korea Selatan dan Taiwan untuk membangun
pabrik-pabrik guna memindahkan plutonium dari unsur-unsur bahan
bakar yang dikeluarkan reaktor, setelah mendapat tekanan keras
Amerika Serikat.
Pada 1975 Prancis menandatangani kontrak dengan Irak untuk
mensuplai dua reaktor penelitian (dibuka di Tuwaitha, 1981) dan
jugabahan reaktor yang diperkaya dengan uranium. Di samping itu
sebuah universitas nuklir juga akan didirikan untuk melatih para
sarjana Irak. Proyek itu bernilai US$ 1,5 milyar bagi Prancis,
dan memberikan prospek terjaminnya suplai minyak di masa depan.
Sementara itu di Koeburg, dekat Cape Town (Afrika Selatan),
Prancis sedang membangun dua reaktor besar pembangkit listrik
tenaga nuklir masing-masing dengan output sebesar kurang-lebih
1000 megawat. Satu reaktor seharusnya selesai akhir tahun ini
sedang lainnya akan menyusul kurang lebih setahun kemudian.
Tadinya diduga keras pemerintah sosialis Mitterand akan
membatalkan penyelesaian lebih lanjut reaktor-reaktor ini.
Ternyata ia tidak saja akan memenuhi kontrak tersebut, melainkan
juga memperkenankan Afrika Selatan membeli bahan bakar yang kaya
uranium yangdisimpan di wilayah Prancis.
Framatome, sebuah penusahaan nuklir yang sebagian dimiliki
pemerintah Prancis, membuat batangan nuklir dari uranium
tersebut sehingga reaktor Koeburg yang pertama bisa dimulai pada
waktunya. Transaksi itu dibuat bukan saja setelah pemerintah
baru Prancis memegang kekuasaan, tetapi Prancis (dengan sangat
menjengkelkan AS) sama sekali tidak mendesakkan agar tindakan
penyelamatan secara menyeluruh dijadikan prasyarat kontrak yang
baru. Padahal tindakan penyelamatan seperti itu akan menjamin
semua instalasi nuklir Afrika Selatan berada di bawah pengawasan
internasional.
Kebijaksanaan Prancis dalam ekspor senjata dan nuklir ke Dunia
Ketiga nampaknya demikian tak terkendalikan. Dan hampir
seluruhnya dapat dikatakan berdasar kepentingan nasional dan
komersial yang sempit, tanpa banyak -- atau bahkan samasekali
tidak ada -- pertimbangan keamanan dunia. Namun hingga kini
belum ada tanda pemerintah sosialis akan mampu atau bahkan
bersedia mengubah keadaan ini.
Kabar terakhir yang tersiar malah menyebutkan, Prancis sedang
bersiap mengorbitkan sebuah satelit mata-mata dalam waktu lima
tahun mendatang. Itu akan dilengkapi dengan "mata listrik" yang
harus sanggup mendeteksi instalasi-instalasi strategis,
lalulintas kapal di laut dan gerakan tank serta pasukan di
daratan mana saja di muka bumi -- kata seorang pejabat
pertahanan negara itu.
Untuk mewujudkan proyek ini Prancis telah menghabiskan waktu 20
tahun -- karena Amerika Serikat berulangkali menolak membantu
negara-negara Eropa Barat meluncurkan satelit pengamat militer
mereka sendiri. Tetapi Prancis tidaklah merahasiakan upayanya
untuk mendapatkan alat-alat pengamat sendiri, daripada hanya
mengandalkan data yang diberikan Amerika Serikat kepada sekutu
Atlantiknya.
Satelit mata-mata Prancis itu diberi nama Samro (satelit
pengintai dan pengamat militer). Sistemnya berbeda dari satelit
mata-mata AS 'Big Birds' serta satelit-satelit Molniya dan
Cosmos Uni Soviet yang mahal dan tak bisa dipikul biayanya oleh
Prancis. Satelit AS, misalnya, "melihat" dengan mata optik.
Sedang Samro akan merupakan "mata video", yang mengolah data
yang bercahaya melalui komputer yang dihubungkan ke terminal. Ia
akan ditempatkan pada orbit setinggi 800 km di atas permukaan
bumi. Tahan 'tuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini