HAMPARAN pasir terentang abadi di bawah langit yang kelabu.
Letih mataku melacaki jejak di pasir -- bekas tapak-tapak
binatang tersesat, sisa-sisa abu perapian lama lampau -- tapi
tak kutemukan sepotong pun. Kami telah tersesat! Untaku menapak
terangguk-angguk, sambil berkali-kali mengerling sangsi tongkat
penunjukku. Seraya mengeratkan syalku, dari atas pelana aku
berpaling ke belakang. Apa yang tampak membuat bulu kudukku
lebih merinding. Berada di luar padang pasir Mesir, kami sedang
diancam badai pasir.
Itulah alinea pertama karangan Melbry Polk: Itu bukan novel,
kendati gayanya memang ya.
"Langit tiba-tiba gelap. Gelombang-gelombang pasir sedang
memburu ke arah kami. "Cepat ke balik bukit pasir itu!" seorang
pemandu berteriak. Tapi sudah tak sempat. 'Dinding' pasir siap
menggulung kami."
"Pasir menyumbat hidung dan menjejali mulutku, menikam mataku,
membakar kulitku. Kami tak menemukan bukit pasir yang dimaksud.
Berteriak mengatasi suara angin, pemandu memerintahkan kami
berhenti. Kami paksakan unta-unta kami berbaring, mengikat jadi
satu keempat kakinya, juga lehernya, mencegah mereka menyelinap
pergi. Jika mereka sempat sekali ini kabur, jangan harap bisa
diketemukan lagi."
"Pemandu membentangkan selembar plastik di 'lantai' pasir,
menindihi pinggirnya dengan batu, kemudian menyangganya dengan
tongkat cemetinya. Melalui lubang sanggaan itu ia pun menyelusup
ke bawahnya dan menggali sebuah lubang. Aku dan saudara sepupuku
menyerbu ke tempat unta-unta terbaring dan mengambil ples air
teh, gula, ketel, mangkuk-mangkuk, tongkat-tongkat (tempat
menggantungkan ketel jika menjerang air), dan jerigen air."
"Ini sudah enam hari sejak pengisian air di sumur terakhir.
Unta-unta kami, sedang kehabisan air, mulai tampak merana
menanggung beban di punggung mereka. Seekor unta muda harus
dibebaskan sama sekali dari muatan, dan ini berarti kami harus
merelakan sejumlah perlengkapan tidak terangkut."
SUMUR yang kami harap bisa ditemukan -- seperti yang tertera di
peta -- ternyata telah tertimbun pasir beberapa tahun yang
lalu," tulis Nona Polk dalam majalah Quest lebih jauh. "Karena
kami sudah tersesat, dibutuhkan beberapa hari untuk sampai ke
sumber air tertentu Tapi sejauh mana kami harus menggelandang
dan arah mana harus ditempuh, masih belum diketahui. Pemandu
kami melipatkan tangannya dan 'bernyanyi': "Berdoalah. Kita akan
segera kembali kepadaNya."
Petarungan Polk dan kawan-kawan melawan amukan badai pasir itu
sendiri berlangsung 18 hari. Ini di luar 25 hari bersafari dari
sumber air (oasis) Siwah di Mesir bagian barat, melintasi padang
pasir, sepanjang punggung bukit Dataran Qattara. Setelah
mengarungi dataran-dataran ini, akhirnya mereka sampai ke Biara
(Kristen Koptik) Wadin Natrun di Lembah Nil -- seluruhnya
merupakan pengembaraan sejauh 700 km.
"Kami sedang melacaki jalur perlintasan Iskandar Zulkarnain,"
tulis Polk, "yang pada 332 Sebelum Masehi boleh jadi mengambil
rute yang sama. Yaitu dari Siwah melintasi Qattara menuju
ibukota Firaun, Memphis, dekat Kairo sekarang." Seperti kita
tahu, Iskandar yang akbar itu, pada tahun tersebut pergi
berziarah ke Siwah, dekat Iskandariah, meminta berkah mahadewa
Zeus-Ammon. Yakni agar raja perkasa itu terbebas dari dosa-dosa
masa silamnya dan siap menerima nasibnya kini. Ia juga meminta
restu, apakah boleh membalaskan dendam terhadap pembunuhan
ayahnya, Philip.
Rahib-rahib itu menjawab: ayahnya tidak akan pernah mati selama
Iskandar menjadi putra Tuhan Zeus-Ammon, kendati ia tetap
membalaskan juga kematian ayahnya. Membebaskan diri dari amanat
para rahib, Iskandar kemudian malah menganggap dirinya sendiri
sebagai tuhan dan menerima mahkota firaun Mesir di Memphis.
"Melacak kembali jejak Iskandar Zulkarnain adalah inspirasi
utama perjalanan ini," tulis Polk.
Membandingkan gambaran masa lalu dengan keadaan lokasinya
sekarang, ia merasa dapat menghayatinya kembali kini. Dan itu
berarti harus melakukan perjalanan dengan unta, tidur di
kemah-kemah rombeng seperti yang dilakukan para prajurit
Iskandar Zulkarnain, dan kehilangan perlengkapan yang tercecer
bersama-sama kendi air zaman Romawi.
Juga menapak terseok-seok di antara lubang-lubang perangkap dan
perlindungan masa perang dahulu. Juga makan bersama orang-orang
yang, dari cara bicara dan bersikap, menghidupkan kembali
masa-masa purba seperti yang dikisahkan dalam tambo-tambo kulit
binatang. Inilah yang akhirnya membawa mahasiswa jurusan
antropologi Radcliffe College di AS itu "melihat dunia dari kaca
mata kuno."
Perhatiannya terhadap sepotong dunia berpadang pasir ini dimulai
5 tahun lalu ketika ia sedang menuliskan tugas makalah untuk
fakultasnya tentang disain-disain simbolis arsitektur Mesir
kuno. "Kendati aku telah mengembara ke seluruh pelosok Mesir,
selalu aku 'merindukan' Siwah -- sebuah oasis yang telah
menjerat imajinasiku dan mengikutiku ke mana saja," kata cewek
cakep bertubuh jangkung itu.
Kelompok ilmuwan petualang itu terdiri dari Margaret Lorenz
(Sepupu Polk) dan suaminya Douglas Griffes -- yang diminta serta
terutama karena keahlian mereka 'di luar rumah'. Di samping itu
Margaret juga menguasai soal-soal pengobatan, sedang Douglas
bidang navigasi.
Anggota lainnya: Ibrahim el-Shayeb, arsitek Mesir yang akrab
dengannya Ibrahim Helmi, pengawas lapangan, anggota Unit Riset
Medis AL Amerika yang "kerjanya sepanjang jalan hanya
mengumpulkan bendabenda penyelidikan," tulis Polk. Yang lainnya
adalah si Badui: Belhaq, pemandu, "terkenal sebagai penyelundup
di Padang Pasir Barat, dan tampangnya sangat mirip Anthony
Quinn." Masih ada dua Badui lain: Meshayt, teman Helmi, dan
Mohammad.
SETELAH 8 bulan terbenam di Kairo -- terhalang birokrasi yang
seret akhirnya ia beroleh izin melintasi kawasan yang sedang
"panas" di Padang Pasir Barat. Mesir waktu itu memang sedang
bertegang hubungan dengan Libya. Penundaan izin itu menyebabkan
rombongan Polk berangkat di saat cuaca sudah lebih baik. Hujan
Desember akan memberikan sedikit kesegaran dan kehijauan.
Untuk beberapa ribu tahun terakhir, Siwah menjadi pusat
perdagangan, singgahan para kafilah dari padang pasir Afrika
Utara. Bahasa Siwah seperti rakyatnya, merupakan campuran
bahasa-bahasa Badui, Berber, Afrika Hitam dan Eropa Selatan.
Dipisahkan oleh laut di utara dan Dataran Qattara di selatan,
Siwah terkenal dalam Perang Dunia II: tempat Inggris dan Jerman
Nazi bertempur hidup-mati, terutama di El-Alamein.
Malah sejak persetujuan perdamaian dengan Israel ditandatangani,
banyak pasukan tangguh Mesir dipindahkan ke mari -- dengan
todongan moncong meriam ke arah Libya. Tindakan berjaga-jaga itu
sering pecah menjadi insiden-insiden dan sesekali juga
pertempuran yang direncanakan. Tentara dan polisi Mesir terutama
waspada terhadap infiltrasi para teroris. "Kerawanan di kawasan
inilah yang mengakibatkan aku tertahan hampir setahun hanya
untuk mengurus izin ke Siwah, dan menggelandang ke sana ke mari.
Dalam masa itu aku berada dalam pengawasan."
Padang Pasir Barat sangat ganas, menurut Polk, Hanya yang punya
keperluan khusus pergi ke sana: geolog yang mencari sumber
minyak dan mineral, orang militer dan polisi -- dan sejumlah
penduduk yang hidup secara mengembara, tentu. Karena perbatasan
ditutup, Siwah kini langka pedagang. "Sangat memalukan bahwa
para arkeolog tidak menyelidik ke sana," menurut Polk.
"Informasi berharga kini tiap hari lenyap, karena salah satu
sumbernya -- makam-makam -- habis dicuri. "Puing-puing bangunan
kuno juga jadi sasaran para pembangun rumah baru." Bayangkan,
kalau batu-batuan Candi Borobudur dibikin orang jadi bahan
urukan fondasi sebuah motel.
Siwah sebenarnya dataran dengan cukup banyak mata air. Tiap
satunya merangsang tumbuhnya sekelompok pohon kurma yang hijau,
yang sangat mendukung munculnya desa-desa kecil di sekitarnya.
Di dekat dataran ini terbentang pemandangan yang tak
putus-putusnya dari batu karang, dan di sini masih membekas
jejak-jejak lama.
Ke arah selatan terhampar lautan pasir, "yang badainya dapat
menyapu bersih iring-iringan kafilah dalam sekali sentak,"
menurut Polk. Pasukan Cambyses yang sial juga mengalami nasib
seperti itu ketika pada 525 Sebelum Masehi sedang dalam
perjalanan menaklukkan Siwah.
Seekor unta mendengus. Sebuah panci berantuk dengan batu.
Beberapa orang salat. Dinihari. Masih tetap terbangun, Polk
perlahan membuka sleeping bag-nya dan menggigil di udara yang
dingin. Sambil duduk, ia lalu membuka satu lapis jubahnya, dan
membungkus kepalanya dengan syal wol. Ia hanya membawa pakaian
padang pasirnya: dua biji jubah katun yang menyentuh mata kaki,
dua pasang celana khusus penunggang kuda dari katun yang
ujungnya tirus menggapai betis, sebuah sweater, dan tutup kepala
berikut cadar untuk melindungi muka serta kepala dari panas dan
pasir.
Dalam udara buta, wanita muda itu memberesi pelana unta,
mengepak barang-barang dan segala tetek-bengek yang masih
berserakan. Sampai pagi mereka sibuk. Memasang pelana di
punggung semua unta, memuatkan di situ jerigen-jerigen air dan
barang-barang berat lain, mengikatnya kencang-kencang, memasak,
sarapan, mengikat kembali barang-barang yang jatuh, mengumpulkan
segala tetek-bengek serta memberesi perlengkapan kemah, semua
itu ternyata masih memerlukan 3 jam tambahan.
Akhirnya selesai juga. Melihat sekeliling untuk akhir kalinya,
mereka tiba-tiba mulai mencium bau menusuk tajam, seperti bau
daging sedang membusuk. Sumbernya ternyata si Umak, unta yang
diletakkan pada urutan ke dua. Lehernya yang terluka mulai
dihuni beratus belatung gemuk-gemuk yang tak berhenti
menggeliat-geliat. Tali yang dipakai menurunkannya dari truk
ternyata telah melukai kulitnya, dan lalat-lalat Dataran Siwah
menernakkan telur-telurnya di sana. Sementara unta itu dipegang
beramai-ramai, Margaret meluruhkan belatungbelatung dan memotong
kulit yang membusuk.
Unta dapat hidup di lingkungan yang binatang piaraan lainnya
tidak. Mereka memiliki kemampuan memanfaatkan 95% air yang
diminumnya -- sedang manusia cuma 12%, sisanya menguap dari
kulit atau melalui 'saluran bawah'. Unta masih tetap melangkah
sampai ia benar-benar siap untuk mati. Akhirnya, dalam keadaan
kritis, unta masih mampu menyeberangi medan yang tetap ditakuti
kafilah-kafilah rutin. Tanpa unta, melintasi dasar subkhah dari
Qattara sama sekali mustahil, menurut antropolog wanita itu.
Subkhah adalah lapisan lumpur setengah kering. Bergaram, tapi
permukaannya kerontang dan bopeng. Kendaraan berat karenanya
dengan mudah terperosok ke dalam. Dalam Perang Dunia II, Rommel
pernah mencoba melintaskan pasukannya dalam gerak cepat menuju
Kairo. Tapi mereka ditahan oleh subkhah, di samping bombom
sekutu. Seekor unta dapat saja terjerembab ke dalamnya, mungkin
mematahkan satu kakinya.
Ketika masih di Kairo, mereka membuat pelana sendiri dengan
bantuan tukang kayu berusia 80-an, yang mengkhususkan dirinya
dalam pembuatan mebel-mebel tradisional Islam.
Mereka mengubah pembungkus pipa kebakaran menjadi tali pelana,
sarung moncong unta dan tali kendali. Di rumah jagal, mereka
membeli kulit domba segar untuk melembutkan tonjolan pelana.
Tapi dalam perjalanan di padang pasir, "setiap langkah untaku
terasa langsung mengenai tonjolan atas pelana sementara
gerakan-gerakan unta yang tak teratur namun tetap itu, membuat
pinggangku sangat menderita," tulis Polk. Bahkan bantal yang
mereka buat untuk mengempukkan tempat duduk, segera saja
mengempes.
Jalanan penuh barang peninggalan tak berguna, terutama
puing-puing Perang Padang Pasir. Sebuah botol air tua Jerman,
misalnya -- diambil untuk menjadi penggiling adonan roti. Satu
lempengan bekas badan pesawat terbang menjadi panggangannya.
Kayu yang sudah membatu dari hutan kuno, atau makhluk lautan
kuno, bisa menjadi bahan bakar. Bahkan mereka juga bisa
memanfaatkan sampah sepanjang rute yang mereka tempuh. "Aku
sangat menyesalkan hilangnya potongan gagang telepon Inggris,
yang berjasa menggali kayu api," tulis Polk. ASALAH yang paling
serius bagi mereka adalah tidak adanya informasi yang --
akurat tentang jalur lintasan yang bisa ditempuh. Peta yang
mereka miliki berasal dari masa Perang Dunia II. Yang diterima
belakangan juga tak berguna. "Apa yang semula diduga sebagai
sumber air yang dapat diandalkan, sumur-sumur, ternyata sudah
kering sejak zaman Romawi," tulis Polk dengan lucu. Untunglah,
mereka menemukan juga sumber air di Qattara, satu-satunya sumber
selama 13 hari menggelandang di sana.
Hari-hari pun berlalu. Dan penulis wanita itu mencatat: "Mukaku
sudah sewarna pasir, bibirku retak-retak dan mengelupas dalam
angin kering." Tapi kemah mereka, kini mulai dikelilingi oleh
kehijauan, sehingga unta-unta bisa mendapat makanan segar.
Setelah perjalanan yang meletihkan, pekerjaan memuat dan
membongkar barang ke dan dari punggung unta tentu menjadi
pekerjaan yang menyiksa. Sehingga, "saya sering gagal mengikat
dengan erat tali untaku," kata yang empunya cerita. "Soalnya
setiap hendak diikatkan, ia berusaha berdiri atau menarikkan
moncongnya ke arah tetumbuhan segar."
Itu membuat Polk tak sabar, lalu menggunakan cemetinya untuk
memaksa binatang itu berbaring kembali. Sambil menengadahkannya,
sepotong tali dijeratkannya ke kaki unta, dan berdebum jatuh ke
atas pasir. Dengan cekatan, wanita itu mengikatkan kedua kaki
depannya, lalu membiarkan binatang itu terlompat-lompat mencoba
menjangkau dedaunan dengan moncongnya. Barang-barang dipunggah,
dan dibawa ke kemah. Pelana bisa jadi penahan angin, sementara
kain pelapisnya --selembar atau dua -- yang digelarkan di bawah
sleeping bag bisa lebih melembutkan tikaman batuan padas.
Sebelum perjalanan dimulai, berulang kali Polk membongkar barang
bawaannya untuk mengurangi perlengkapan yang 'tidak perlu'.
Ketika mereka meninggalkan Siwah, ia merasa bakal kekurangan
pakaian selama satu bulan di padang pasir. Tapi tiga minggu
kemudian masih ada kaus singlet dan kaus kaki yang belum pernah
dikeluarkan dari tas. Barang-barang lain, termometer misalnya,
di hari-hari pertama sudah pecah. Jepitan rambut hilang di
jalan, atau terlupa di mana.
"Kebutuhan perjalanan dengan cepatnya menghapus berbagai
kekhawatiran dan rasa kecut," tulis cewek dengan nyali besar
itu. Pelajaran terbesar yang dipetik bagi yang ingin mengembara
di padang pasir, menurut Polk, ialah: pengetahuan yang ada di
dalam diri anda sendiri, tentang dirimu sendiri, tentang
kelebihan dan keterbatasanmu -- dan bagaimana tetap berusaha
dalam keadaan yang tiada, yang sulit, yang tanpa harapan.
"Di rumah di New York, saya pernah merasakan kesepian di tengah
keramaian," tulisnya lagi. "Namun salah satu daya tarik padang
pasir telah memberi pengalaman bagaimana menghadapi kesepian
yang menjemukan."
Dalam petualangan yang tegang dan melelahkan itu, persoalan
remeh-temeh dapat membangkitkan amarah yang bisa menumpahkan
darah. Apalagi karena tak seorang pun di antara mereka pernah
menjalani rute itu, dan beberapa yang lain bahkan belum akrab
dengan perjalanan berunta, kesabaran dan saling pengertian
memang dituntut.
Dalam memandu, orang-orang Badui menggantungkan pada ingatan
yang dinyatakan melalui nyanyian. Setiap pendakian atau bukit
pasir ada lagunya. Setiap tempat ada ceritanya. Misalnya
nyanyian Meshayt tentang terbunuhnya keluarga Badui dalam suatu
pertempuran di abad lalu -- dan muncullah hantu di tempat itu.
"Lagu yang tidak akurat, tentu fatal," kata cewek itu.
HARI kedua mereka mengambil jalan pintas. Setelah berhari-hari
mengembara di dataran tinggi dan berkali-kali berputar-putar di
tempat yang sama, Berlhaq mengakui ia sudah tersesat. "Jelas,
kami kini membutuhkan lebih dari sekedar ingatan untuk memandu
kami," kata Polk. Ketika mereka benar-benar sudah putus asa,
sebuah helikopter militer muncul di cakrawala. Mereka menyambar
kami beberapa kali dengan sikap bermusuhan," kenangnya, kendati
kemudian mendarat juga. Dan di tengah-tengah pusaran pasir,
pasukan para itu berlompatan turun dengan senjata siap tembak.
Seketika itu pula mereka dikepung dan dibuat tak berkutik.
"Untung penjelasan orang-orang Mesir dalam kelompok kami
berhasil menyelamatkan kami." Sang komandan dengan marah
menyatakan, kami telah jauh tersesat dari jalur lintasan. Lantas
sebelum pergi ia masih sempat berlembut kata menunjuk arah yang
benar, dan mengharap kami bernasib baik.
Douglas yang pernah belajar navigasi di AL, menyokong keputusan
bahwa mereka tak dapat sepenuhnya tergantung pada
dongeng-dongeng sebagai penunjuk arah. Ketika mereka sampai di
Qara, ia mulai menggunakan kompas. Badui-Badui itu mencurigai
cara yang dipakainya: di atas segala-galanya ia seorang Amerika,
yang halus, dan bukan dari padang pasir. Orang-orang Mesir ingin
mempercayai teknologi yang dipunyai Amerika-Amerika itu:
benarkah kemampuan yang tidak dibawa dari lahir bisa unggul?
Keputusan selalu lahir di tengah keadaan kritis: "ada beberapa
lintasan yang mana yang akan dipilih?" tanya Polk. Di antara dua
pilihan, di satu pihak seperti yang 'dipilih' oleh kompas dan
yang lainnya seperti yang ditunjuk oleh 'ingatan'. "Bagaimanapun
harus ada satu-satunya pilihan mutlak."
"Proses pengambilan keputusan semakin diruwetkan oleh sikap
demokratis kami dan oleh bahasa." tulis wanita petualang itu.
Soalnya tidak semua anggota ekspedisi itu bisa bahasa Inggris
atau Arab. "Ketika diskusi menjadi panas darah pun naik, dan
biasanya belum kembali dingin di pagi hari berikutnya."
Dalam usaha agar tidak tersesat atau terperangkap dalam badai
pasir, mereka justru terperosok ke dalam lubang-lubang
perlindungan tua -- yang tak berujung tak berpangkal. Di
punggung Dataran, sebuah lintasan menuntun mereka ke
kuburan-kuburan bom tua yang berbahaya -- lebih berbahaya dari
pasir terapung -- sisa-sisa Perang Dunia II.
Mereka mengikuti jejak tank-tank tua dan unta dalam usaha keluar
dari medan perang yang dltinggalkan itu. "Perang itu baik," kata
Belhaw, menimbulkan tanda tanya. "Sebelum orang Eropa itu saling
memerangi, kami tidak punya apa-apa." Dan setelah perang:
tambang emas. Meriam-meriam dan amunisi tinggal pungut.
Wanita-wanita mengambil jerigen, pasak-pasak tenda, dan
kepingan-kepingan metal untuk keperluan rumahtangga. Siapa saja
bisa memperoleh pakaian tentara yang hijau atau cokelat -- malah
masih bernoda darah.
Tapi itu tambang emas yang mahal harganya. Untuk mendapatkan
'emas' itu mereka harus melintasi medan-medan penuh bom yang
belum sempat meledak. Dan ketika meledak, tidak pilih bulu.
Belhaq mengaku banyak kehilangan kerabat dan sahabat di
medan-medan yang kini tampak senyap itu. Dalam kelompok-kelompok
Badui, bukan hal ganjil jika ada sejumlah di antaranya yang
terpenggal salah satu anggota tubuhnya -- hilang ketika menerima
anugerah dari perang.
Minggu terakhir pengembaraan mereka ditandai oleh badai pasir
dan badai hujan ganas. Mereka meninggalkan punggung Dataran dan
melintasi dataran berpasir ditumbuhi tumbuhan di sana-sini,
menuju Wadin Natrum (Lembah Natrum), tujuan akhir mereka. Mereka
bergerak ke arah Biara Baramus, yang tegak di tengah padang
pasir bagaikan kapal sedang menurunkan sauhnya di laut.
SI Polk sedang menikmati terbit terakhir melalui 'filter' pasir.
Cabang-cabang kurma yang terlindung terhempas ke sana ke mari
dimainkan angin, seperti bulu burung. Selama 25 hari, jerigen
telah diisi kembali sebanyak 4 kali. Tak ada korban yang jatuh.
Unta-unta semua kembali dalam keadaan selamat, kecuali lebih
kurus dan bongkok. Makanan masih cukup untuk seminggu lagi:
beras, kacang-kacangan, sup kering, kurma, saus tomat dan
bawang.
"Masih ingin saya tinggal, untuk menghabiskan sisa waktu," kata
Polk yang tampaknya tidak jera itu. "Setiap serat tubuhku sudah
seirama dengan napas gurun, unta-unta, dan sahabat-sahabatku."
Pemberontakan di hari-hari pertama telah usai, lanjutnya.
"Daripada berburu dengan buku di saat-saat yang menjemukan itu,
aku keluar dari kemah, dan duduk termenung sendirian. Aku
terpikat oleh pencarian jejak rusa, memungut batu-batuan aneh,
dan menjahit jubahku sendiri."
"Itulah. Aku merasa puas. Bukan air panas dari shower dapat
meluluhkan tubuhku. Tapi Badui-Badui itu, barangkali lebih
selaras, lebih senada, bagi kebutuhan praktis, yang mendorong
kami maju. Untuk mereka kami membawa dua kemewahan: beberapa
kotak gula-gula dan beberapa karton sigaret. Dengan dua macam
barang itu, mereka dapat pergi ke mana saja dan kapan saja."
Mereka sarapan dengan cepat, terdiri dari kacang merah dan teh,
yang terasa berpasir. Barang-barang dipunggah dari
punggung-punggung unta, dan keluar dari lubang perlindungan ke
tengah-tengah kancah badai. Polk berjalan di antara unta-unta
untuk melindungkan dirinya dari hempasan angin.
Setelah beberapa jam, Douglas, sambil memeriksa kompasnya,
mengisyaratkan mereka sudah salah jalan. Semua lantas berkumpul
di sekitar Belhaq untuk berdiskusi. Mohammad, menuntun dua
untc, melemparkan tali kekang dan berlari ke arah orang-orang
yang sedang mengelompok. "Tidak baik terus. Akibatnya buruk bagi
unta Harus ke sana," ia berteriak dan menunjuk ke kiri.
TAPI Douglas berkata, ke sana jalannya buntu. Helmi
menganjurkan agar Mohammad menuntun mereka ke arah rawa garam.
Berurutan dua-dua, Mohammad menggandengkan dirinya di urutan
belakang, sambil berusaha mendorong ke arah kiri. Mukanya masam.
Akhirnya begitu angin mereda, tebaran pasir menipis dengan
segera, dan beberapa kilometer di hadapan berdiri tegak biara.
"Semakin dekat kami ke biara, makin jauh Mohammad tertinggal di
belakang," tulis Polk. "Kami memanggil-manggilnya, tapi dengan
marah ia menggeleng." Terseok-seok kepayahan, karena baru saja
lepas dari amukan badai, akhirnya mereka sampai ke tujuan.
Di dekat pintu biara ada sebuah tali -- tali lonceng --
menggelantung terayun-ayun dipermainkan angin. Ibrahim
menjabretnya, dan menariknya keras-keras beberapa kali. "Angin
mengumandangkan suaranya sampai jauh." Daun pintu kayu yang
kukuh digedor-gedor. Setengah jam kemudian pintu terbuka. Sebuah
kepala berkerudung mengintip keluar dari daun pintu yang terkuak
-- dan pada saat itu pula pintu kembali terbanting. Terdengar
slot pintu kembali masuk ke sarangnya.
"Barulah kami sadar bagaimana sudah tampang kami," tulis wanita
muda itu. "Kami datang dengan pakaian bagai pengembara lusuh,
atau lebih jelek dari itu, diiringkan jerit unta-unta. Orang
saleh malang itu barangkali menyangka ia didatangi hantu
perampok dari padang pasir yang pernah berdoa di biara ini."
"Aku mengintip melalui lubang kunci, setengah mengharap ada
ransum roti dan air yang ditaruh dalam ember, seperti tempo
dulu. Memandang ke sekeliling, aku melihat Mohammad -- ia sedang
gemetar, seperti ketemu hantu. Tahulah aku sekarang, mengapa ia
berusaha agar kami tidak mengambil arah ini: ia takut --ngeri --
melihat rahib.
Kisah petualangan ini biarlah terus dituturkan sendiri oleh sang
pengarang:
"Akhirnya pintu terbuka. Sambil menyibakkan janggut mereka,
rahib-rahib berjubah hitam itu minta maaf akan sambutan yang tak
selayaknya. Mereka menyilakan kami masuk ke ruang tamu. Di sana
segerombolan rahib dan beberapa calon mengerubungi kami, menanti
kisah dibeberkan. Sementara itu makanan hangat dibawa masuk.
Namun, bagi Muhammad, ikan dan tomat segar sekalipun tak bisa
mengatasi daya tarik padang pasirnya. Ia membawa unta-unta ke
suatu tempat 2 kilometer jauhnya dari biara. Di sana ia menanti
kami."
"Setelah melampiaskan kelahapan masing-masing pada sayuran
segar, daging, manis-manisan, kami mengucapkan selamat tinggal
kepada para rahib. Memegang ujung kendali, kami menuntun unta
masing-masing ke penggal terakhir perjalanan kami: desa tetangga
yang terdekat. Untuk beberapa saat, aku merasa diri seperti para
pengembara dari masa lama lampau, yang singgah di pinggiran kota
untuk berdagang -- dan tidak untuk memasuki kehidupan sebuah
kota dengan peradaban mutakhir".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini