Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Lebih awet gula semut

Tungku tradisional di garut menghasilkan gula semut yang disukai orang eropa. bahan utamanya gula aren yang kemudian diproses secara tradisional dan bisa awet sampai 1 tahun.(ilt)

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Lebih awet gula semut
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DARI air pohon enau (Arenga Pinnata) orang kampung bisa membikin gula. Di Garut, Eddy Achmad Kartawidjaja sudah terkenal membantu para petani memasarkan gula aren itu, terutama ke pabrik dodol. Semula semua berjalan lancar, tapi 4 tahun lalu -- sesudah Knop 15 (serangkaian peraturan pemerintah di bidang ekonomi-keuangan) pasaran dodol Garut menjadi lesu. Dan akibatnya, berton-ton gula aren tersimpan saja di gudang, tidak terjual. Selang satu minggu gula itu meleleh dan cair. "Apa boleh buat, terpaksa dijual murah ke pabrik kecap," kata Kartawidjaja, bekas Ketua DPRD Garut (1971-77), Ja-Bar. Tapi selanjutnya dia berusaha mencari akal untuk mengawetkan gula aren. Sejumlah percobaan dilakukannya. Air pohon enau, yang dimasak, dalam keadaan kental panas biasanya langsung dimasukkan ke dalam cetakan, lantas terjadi gula aren. Kartawidjaja mengubah cara pengolahannya. Ia membuat pemanasannya lebih lama sampai semua air dalam ketel menguap dan tinggal cuma kristal gula berbentuk merah kekuning-kuningan. Kemudian diangkat dan ditumbuk menjadi tepung halus. Itulah yang kini disebutnya gula semut. Dalam bungkusan plastik atau botol ternyata gula semut bisa awet sampai setahun. Gula aren biasa meleleh sesudah seminggu. Kartawidjaja semula mengajarkan penemuan barunya itu kepada kaum tani di Kampung Cihurip, Kec. Singajaya, Kab. Garut. Mereka bergairah kembali. Berbagai kelompok produsen kecil kemudian dibentuk bukan di Singajaya saja, tapi juga di beberapa kecamatan lainnya. Gula aren biasa, yang pakai bungkusan daun kelapa, kini berharga Rp 400/kg. Bila komoditi itu diproses sampai menjadi gula semut, harga jual petani mencapai Rp 800/kg, dan penjualan partai ke toko-toko Rp 1.000/kg. Seorang petani bisa menghasilkan 3 sampai 5 kg gula semut sehari dengan tungku tradisional. "Saya yakin," kata Kartawidjaja, "kemampuan produksi petani bisa meningkat lagi bila digunakan tungku modern." Yayasan Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Indonesia (YP31) perwakilan Garut yang dipimpin Kartawidjaja memasarkan produksi petani itu. "Suatu ketika gula semut bisa menjadi komoditi ekspor," katanya. Dia mungkin berkhayal, tapi PT Kmello Bandung Sari Raya, perusahaan pengolahan makanan dan perdagangan umum di Bandung, pernah Februari lalu memamerkan gula semut penemuan Kartawidjaja di Utrecht, Negeri Belanda. "Orang Belanda tertarik. Cuma mereka menyarankan agar kemasannya lebih disempurnakan," kata Ny. Ine C. Saputra, Direktris PT Kmello. Secara kecil-kecilan gula semut sudah dikirim ke Negeri Belanda. Orang di sana menggemarinya sebagai pencampur roti atau kue. Kini Badan Pengembangan Ekspor Nasional merencanakan iklt dalam pameran promosi -- 10eme Salon International de L'alimentation -- di Paris, 15-20 November. Dan undangannya sudah disampaikan kepada Eddy Achmad Kartawidjaja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus