IA dipromosikan sebagai "Sebuah Jenis Perangsang" yang
"memberikan kekuatan vital kepada sayur-mayur, kacang-kacangan,
kembang, buah-buahan dan tanaman lainnya". Bermodalkan istilah
"ilmu pengetahuan", brosur zat perangsang tanaman Atonik mencoba
memikat para petani.
Atonik itu agaknya sejenis hormon yang kerjanya merangsang
pertumbuhan tanaman (Cytohormon). Dengan cara mempercepat proses
pengambilan zat hara melalui akar, Atonik diharapkan berpengaruh
juga terhadap proses pertumbuhan tanaman.
Menurut Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Dr. Ir. Ida Nyoman
Oka sebenarnya sudah banyak cytohormon yang terdaftar di
Departemen Pertanian. "Kira-kira ada sepuluh macam," katanya
kepada TEMPO pekan lalu.
Tapi Atonik yang diproduksi CV Taruna Technical Supplies,
Jakarta sudah sejak 2 tahun lamanya beredar di pasaran
Indonesia. Anehnya hampir bersamaan dengan produsennya
mengajukan permohonan -- baru 4 bulan lalu -- untuk penelitian
atas zat itu, Menteri Pertanian mengeluarkan Surat Izin
Sementara untuk penggunaannya. Kenapa tergesa-gesa?
Sebetulnya permohonan penelitian atas produk yang hendak
dipasarkan terlebih dulu harus diajukan kepada Komisi Pestisida
Dep-Tan. Komisi ini yang dipimpin Dr. Oka kemudian menugaskan
BPTP (Badan Penelitian Tanaman Pangan) Bogor dan Sukamandi
mengadakan penelitian di laboratorium dan di lapangan.
Berdasarkan hasilnya itu Komisi Pestisida menyarankan kepada
Menteri Pertanian untuk menyetujui atau menolak pemakaian produk
itu.
Ternyata BPTP di Bogor dan Sukamandi belum menyelesaikan
penelitian atas produk itu. Menurut Dr. Oka, "berdasarkan hasil
percobaan di Filipina," yaitu waktu musim hujan 1979 di Pusat
Penelitian Lembah Cagayan, San Mateo Isabela, "penggunaan Atonik
disertai rekomendasi pemupukan yang tepat, akan meningkatkan
produksi padi IR 36." Berdasarkan itu pula Komisi Pestisida
merekomendasikan penggunaannya, hingga keluar SK Menteri.
Menurut promosi CV Taruna Technical Supplies, Atonik mampu
menaikkan produksi padi rata-rata 1,5 ton setiap hektar. Staf
peneliti di BPTP Sukamandi menilai itu sangat fantastis, dan
tidak mungkin terjadi. "Dengan Insus sekalipun, kenaikan sebesar
itu jarang terjadi, apalagi hanya dengan hormon," komentarnya.
Akhir Juni lalu, BPTP Bogor mengumumkan hasil penelitian awal
selama 4 bulan atas Atonik itu. Kesimpulan Bogor: "Zat
perangsang pertumbuhan tanaman yang bernama Atonik itu ternyata
tidak mempengaruhi peningkatan produksi padi."
Penelitian dalam kamar kaca BPTP Cikeumeuh, Bogor, menggunakan
beberapa pot masing-masing berisi 10 kg tanah latosol cokelat
dalam keadaan kapasitas lapang. Setiap pot itu ditanami 2 batang
padi varitas IR 36. Dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok
Lengkap, sebagian pot itu diberi perlakuan Atonik, sebagian
tidak sebagai kontrol.
Dari hasil percobaan semusim itu diukur data berat gabah tiap
pot, jumlah malai, jumlah gabah tiap malai, persentase gabah
isi, berat 1000 butir gabah, tinggi tanaman, luas daun dan
jumlah anakan nonproduktif. Walhasil antara tanaman yang diberi
Atonik dengan yang tidak diberi, tak terdapat perbedaan yang
nyata dalam hasil gabah, komponen hasil maupun tinggi tanaman.
Kalaupun ada perbedaan hasil, itu bukan disebabkan perlakuan,
melainkan disebabkan faktor lain di luar perlakuan.
Tapi "itu belum merupakan hasil maksimal," ujar drs. Mahyudin MP
Sc, Kepala Bidang Pengembangan Hasil Penelitian BPTP Bogor pekan
lalu. "Penelitian masih harus dilakukan di berbagai tempat
dengan berbagai kondisi tanah." Tapi sumber lain di BPTP Bogor
itu agak skeptis "Atonik tak bermanfaat untuk tanaman padi,"
ujar sumber itu yang enggan disebut namanya. "Kami tidak
menganjurkan kepada petani untuk mempergunakannya."
Ketua HKTI Cabang Garut, Eddy Achmad Kartawidjaja pernah
mencoba. Atonik tak menimbulkan reaksi apa-apa terhadap tanaman
jeruk dan sekitar 300 hektar tanaman teh rakyat di Garut awal
1981, ujarnya. "Hal itu sudah saya beritahukan kepada Dinas
Pertanian."
Menurut dra. Puji Kusumaning Utami peneliti di BPTP Sukamandi,
baik BPTP Bogor maupun Sukamandi belum melakukan penelitian
terhadap formula Atonik. "Kalau ternyata tak bermanfaat buat apa
diteliti lebih lanjut. Tapi kalau memang berguna, penelitian
dilanjutkan untuk menghindarkan efek samping," ujar Puji.
Semula untuk pemasaran di Jawa Barat PT Kerta Niaga di Bandung
jadi agen tunggal Atonik, tapi berhenti sejak awal tahun ini,
mungkin juga karena peminat sudah berkurang. Di Fa. Tani Mukti
Bandung, misalnya dalam satu bulan hanya laku 5 botol Atonik.
Itu pun yang kemasan 100 cc dengan harga Rp 1.575. Bahkan
kemasan yang 1 liter dengan harga Rp 13.800, sejak 6 bulan lalu
tak ada yang terjual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini