Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat*
Angka tak bisa berbohong. Ketika pasar keuangan di Indonesia sedang menikmati lonjakan harga, banyak orang menghubungkannya dengan pengampunan pajak. Jika angka yang bicara, ternyata tidaklah demikian adanya. Sejauh ini aliran dana repatriasi program amnesti pajak belum berpengaruh secara nyata ke pasar.
Hingga Rabu pekan lalu, total harta yang sudah dilaporkan baru Rp 15,5 triliun. Sebagian besarnya adalah harta dalam negeri, Rp 13 triliun. Harta di luar negeri yang tidak direpatriasi Rp 1,7 triliun. Sedangkan harta dari luar negeri yang sudah dibawa pulang ternyata hanya Rp 747,9 miliar, terlalu kecil untuk merangsang pasar.
Lalu apa sebab pasar bergairah? Angka mengatakan: ada gerakan masif dana investasi global dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Indonesia sekadar turut menikmati sedikit cipratan rezeki ini.
Sejak awal tahun hingga Rabu pekan lalu, dana investasi portofolio global yang mengalir masuk ke Indonesia, menurut data Bloomberg, mencapai US$ 9,6 miliar melalui obligasi dan US$ 2,8 miliar lewat saham. Inilah yang membuat indeks harga saham gabungan melompat 19,8 persen sejak awal tahun menjadi 5.424,9, hampir menyentuh rekor tertingginya sepanjang sejarah, 5.523,29 (April 2015). Banjir dana juga membuat bunga utang pemerintah turun tajam. Imbal hasil obligasi 10 tahun turun menjadi 6,86 persen, terpangkas seperlimanya dalam setahun terakhir.
Dana investasi global ini tentu tak hanya membanjiri Indonesia. ”Indonesia seirama dengan Filipina dan Thailand, sebagai sesama pasar berkembang yang punya karakteristik serupa,” tutur Kepala Divisi Riset Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero.
Berikutnya, investor tentu bertanya, sampai kapan banjir bandang uang ini akan berlangsung. Jika BlackRock yang kita rujuk, jawabannya menyenangkan. Perusahaan yang mengelola dana investasi senilai US$ 4,6 triliun ini—terbesar di dunia—menilai migrasi besar-besaran sedang terjadi. ”Ini bukan cuma taktik. Dana pensiun, dana investasi negara, yang besar-besar semua bergerak,” tutur Sergio Trigo Paz, pengelola dana pasar berkembang di BlackRock, sebagaimana dikutip Financial Times.
Banyak sebab yang mendorong migrasi ini. Salah satunya, Inggris sedang mencetak uang lewat program quantitative easing demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Bulan ini Bank of England menggelontorkan 70 miliar pound sterling untuk membeli obligasi. Uang yang melimpah membuat bunga obligasi di sana ambles sampai menjadi minus. Di tengah gejolak ini, pasar kian yakin bahwa The Federal Reserve sepertinya tak akan menaikkan bunga. Walhasil, pasar finansial di negara berkembang terlihat amat menarik karena secara relatif menawarkan imbal hasil yang jauh lebih besar.
Sayang, Indonesia kali ini tak berada di panggung utama karena pengelola dana global belum sepenuhnya yakin ekonominya segera menggeliat. Dana yang masuk ke sini masih mini dalam konteks investasi skala dunia.
Apalagi ketika angka lagi-lagi berbicara pahit mengenai anggaran negara. Terbukti selama ini pemerintah menggantang asap, menaruh target pendapatan jauh di luar jangkauan. Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang baru menjabat dalam hitungan pekan, harus memangkas bujet hingga Rp 133,8 triliun jika pemerintah masih ingin selamat. Kali ini para politikus tak bisa mengelak dan harus mendengar ketika angka berbicara tentang realitas. l
*) KONTRIBUTOR TEMPO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo