Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyalin Cahaya menjadi Film Pilihan Tempo tahun 2021.
Sebuah film debut karya sutradara muda Wregas Bhanuteja.
Visi sineas film Penyalin Cahaya jelas.
DI pagi yang cerah penuh janji, pagi yang disiram sinar matahari, Sur (Shennina Cinnamon) merasa ada sesuatu yang tak biasa pada tubuhnya. Tapi dia tak bisa langsung mengenali keasingan itu. Sur hanya merasakan: kepalanya yang digedor-gedor karena pesta semalam dan dia dikejar waktu untuk berhadapan dengan wawancara untuk memperoleh beasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun pagi itu menjadi pagi yang gelap. Hanya beberapa detik ketika fotonya yang dalam keadaan mabuk beredar di media sosial, Sur kehilangan segalanya. Dia kehilangan beasiswa, diusir dari rumahnya, dan terus-menerus menjadi bulan-bulanan kawan-kawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Sur yang semula seorang desainer web berbakat—dan saat itu tengah membantu kelompok Teater Mata Hari yang berkibar-kibar karena akan berpentas di Jepang—dalam semalam mendadak rontok. Sur meminta bantuan Amin (Chicco Kurniawan), kawan pemilik kios mesin fotokopi, untuk membantu meretas telepon seluler kawan-kawannya yang menghadiri pesta itu guna mencari jejak apa yang terjadi malam itu. Sur dikejar waktu untuk membuktikan bahwa dirinya, tubuhnya, dan namanya bersih.
Shenina Cinnamon dalam Penyalin Cahaya. Netflix
Maka babak berikutnya kita diajak menyusuri “investigasi” versi Sur dan Amin yang berupaya mencari tahu siapa gerangan yang keji dan tega merusak masa depannya. Apa yang kemudian ditemukannya ternyata jauh lebih kelam dan mengerikan. Pagi yang penuh janji itu ternyata menyimpan cerita tentang malam-malam penuh kebatilan.
Film berjudul Penyalin Cahaya ini adalah debut sutradara Wregas Bhanuteja yang baru saja memborong 12 Piala Citra Festival Film Indonesia, termasuk Film dan Sutradara Terbaik tahun ini. Sebelumnya Wregas dikenal dengan film pendek Prenjak yang memenangi La Semaine de la Critique Cannes (2016).
Tampaknya 2021 adalah tahun bercahaya bagi Wregas serta produser Rekata Studio dan Kaninga Pictures, karena film Penyalin Cahaya juga terpilih sebagai Film Pilihan Tempo. Selain itu, elemen film ini memperoleh predikat Sutradara Pilihan Tempo dan Skenario Film Pilihan Tempo.
Ada beberapa hal yang istimewa dari film ini yang perlu dicatat sehingga tim juri bersepakat memilih Penyalin Cahaya sebagai Film Pilihan Tempo.
Pertama, meski tema gugatan atas kekerasan atau pelecehan seksual ini bukan monopoli film Penyalin Cahaya—ada beberapa film lain yang juga mengusung dan menyinggung hal yang sama—Wregas mengeksekusinya dengan pendekatan yang baru dan atraktif. Ini sebuah film thriller yang menuntut twist di beberapa kelok cerita. Duo Wregas dan Henricus Pria sebagai penulis skenario memenuhi kejutan pada setiap kelokan saat kecurigaan kita sudah tertuju pada seseorang. Skenario film ini ditulis dengan ketat dan rapi serta dieksekusi dengan baik.
Chicco Kurniawan dalam Penyalin Cahaya. Trailer Penyalin Cahaya/Rekata Studio
Kedua, visi sineas film ini sangat jelas. Pandangan mereka terhadap tubuh dan ruang pribadi progresif. Invasi terhadap tubuh tak selalu harus berarti serangan secara fisik seperti yang sering dipertanyakan publik atau oleh perangkat hukum. Film ini adalah pernyataan bahwa invasi terhadap tubuh juga bisa terjadi melalui dunia maya; dan itu semua akan meninggalkan sidik jari pada tubuh korban.
Ketiga, secara teknis dan visual, film yang melibatkan teknologi informasi dan digital umumnya menantang karena hampir selalu menampilkan adegan monoton sang protagonis yang sibuk menekan-nekan keyboard dan sesekali kita melihat layar tanpa arti apa-apa. Wregas dan pengarah sinematografi Gunnar Nimpuno dengan penuh siasat menggabungkan adegan-adegan pencurian digital antara lantai satu dan lantai dua yang membangun ketegangan. Pentingnya mesin fotokopi sebagai salah satu saksi dari invasi pada tubuh menunjukkan betapa duo Wregas dan Henricus betul-betul sudah memikirkan dengan teliti relevansi setiap tokoh, benda, dan uraian cahaya di dalam film ini.
Keempat, kecerdasan Wregas dan Henricus untuk menggunakan panggung teater sebagai bagian dari gugatan: seberapa jauh tubuh adalah milik pribadi; seberapa jauh publik bisa mengutak-atik urusan tubuh seseorang? Jawaban para film-maker ini jelas: pemilik tubuh adalah pemegang otoritas tubuhnya sendiri. “Setiap orang memiliki hak masing-masing untuk mengatur privasi dalam hidupnya; mengizinkan bagian mana dari hidup yang boleh diketahui dan mana bagian yang tidak,” ucap Wregas kepada Tempo. Dia mengaku mengamati berbagai peristiwa di sekitarnya, ketika “sebuah pelanggaran batas akan tubuh bisa dimanipulasi menjadi sesuatu yang sah untuk dilakukan ketika diberi latar belakang untuk tujuan kesenian.” Itulah sebabnya elemen panggung teater menjadi sangat penting.
Pengamatan Wregas ini kemudian ditambahi kesadaran “banyak sekali kasus kekerasan seksual yang terjadi, saat para penyintas tidak mendapatkan keadilan,” ujarnya. Wregas menyebut banyak sekali kejadian ketika para penyintas kekerasan seksual mendapat stigma dari lingkungannya dan justru malah dituntut balik oleh pelaku. Film ini adalah mediumnya untuk menggugat. Dan caranya menggugat bukan dengan khotbah, melainkan menjalin cerita yang menegangkan sekaligus menumbuhkan empati.
Poster film Penyalin Cahaya.
Hal selanjutnya yang menjadi perhitungan juri dalam penilaian adalah bagaimana film ini juga menunjukkan bahwa korban dan penyintas tak memandang gender. Siapa pun bisa menjadi korban kekerasan, karena kekerasan seksual (baik fisik maupun melalui dunia maya) adalah persoalan relasi kuasa. Film ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan dan uang dengan mudah bisa memanipulasi fakta.
Meski film ini menamai dirinya sebagai film “drama misteri kriminal”, sesungguhnya Penyalin Cahaya—judul yang justru lebih bagus dan puitis daripada Photocopier—adalah film yang lebih penting daripada sekadar hiburan. Film ini adalah sebuah pernyataan, gugatan, dan peringatan bagaimana tubuh adalah milik pribadi dan hanya si pemilik tubuh yang berhak menentukan nasib serta keinginannya sendiri. Sur adalah tokoh pemilik otoritas tubuhnya yang mengetahui haknya dan tak akan berhenti mencari keadilan. Itu sebabnya, film ini layak menjadi Film Pilihan Tempo tahun ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo