Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perlawanan Sang Medusa

Penyalin Cahaya hadir tepat waktu. Ketika ribut regulasi pencegahan kekerasan seksual belum reda, skenario Wregas Bhanuteja dan Henricus Pria secara tajam menggariskan mengapa ruang aman perlu terus diupayakan.

18 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Naskah Penyalin Cahaya ditulis Wregas Bhanuteja dan Henricus Pria

  • Mengangkat isu kekerasan seksual, Penyalin Cahaya menjadi Skenario Pilihan Tempo 2021

  • Membawa gagasan penyadaran soal ruang kekerasan yang terkecil sekalipun

SURYANI, protagonis cerita, tidaklah unik. Mudah menemukan sosok seperti dia di mana-mana, tapi justru karena itu film Penyalin Cahaya punya kehangatan yang familier. Ia perempuan muda yang lahir dari keluarga pas-pasan. Setiap hari ibunya menjaga warung yang omzetnya tak seberapa. Harapannya untuk kuliah cuma beasiswa, yang tentunya bersyarat. Setidaknya nilai dan kelakuannya harus baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak menit pertama, Penyalin Cahaya mengamini ketimpangan kuasa yang Sur tiap hari hadapi. Bahkan untuk sekadar meminta izin pulang lebih cepat dari pentas teater yang Sur ikuti, ia harus disoraki seluruh tim dulu. “Teman-teman, Saudari Sur hendak pulang ke rumahnya terlebih dulu!” begitu rekannya mengumumkan via pengeras suara, yang lantas mengundang reaksi dan tatapan puluhan anggota lain. Memang, setelahnya tawa-canda mengemuka, tapi momen pembuka itu adalah sebuah penanda: hidup sebagai perempuan sama dengan hidup dalam pandangan orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pandangan juga yang memicu kejatuhan Sur. Pada pesta perayaan kemenangan teater, ada figurin kepala Medusa. Dari matanya terpancar sinar hijau. Siapa pun yang kena sorot harus minum. Sur mendapat giliran. Ia tenggak sloki yang disodorkan, dan seketika hidupnya berubah. Foto Sur mabuk tersebar ke media sosial dan dunia sekitar tanpa segan menghakiminya. Oleh kampus, ia dicap sebagai pencemar nama. Oleh keluarga, ia dianggap membawa aib. Sur kehilangan beasiswa, lalu diusir dari rumahnya.

“Membayangkan sebuah set teater kampus memberi kami dua macam perspektif dalam melihat kasus kekerasan seksual. Pertama, kampus sebagai sebuah lingkungan yang tampak setara dan demokratis, menyangkut relasi horizontal antar-anggotanya. Kedua, kampus sebagai lingkungan yang birokratis, di mana semua mahasiswa jadi subyek hukum kampus,” kata Wregas Bhanuteja dan Hendrikus Pria saat diwawancarai pada Selasa, 14 Desember lalu. “Dua setting lingkungan yang beririsan ini jadi tempat bagi kami merangkum berbagai hasil riset, yang menunjukkan kekerasan seksual bisa saja terjadi di mana saja, tak hanya di lingkungan yang ketimpangan relasi kuasanya bisa terlihat kasatmata.”

Hendrikus Pria (kiri) dan Wregas Bhanuteja/Tempo/M Taufan Rengganis

Perihal pandangan, para penulis skenario Penyalin Cahaya memilih metafora yang tepat. Sama seperti Sur, Medusa adalah korban yang didemonisasi. Orang-orang lebih mengenalnya sebagai perempuan bertubuh dan berambut ular; siapa pun yang menatap matanya akan berubah jadi batu. Penceritaan ulang di budaya populer lebih banyak berkutat pada bab penutup kisah Medusa, yang berpuncak pada pemenggalan kepalanya oleh Perseus. Tidak banyak yang menyorot masa mudanya sebagai seorang gadis yang sedang berdoa di Kuil Athena, yang kemudian dihampiri Dewa Poseidon dan diperkosa. Merasa kuilnya dinista, Dewi Athena lantas mengutuk Medusa sehingga ia menjelma menjadi teror yang kita kenal.

“Saya merasa penggambaran kutukan Medusa, yang membuat setiap makhluk menjadi patung, cukup relevan sebagai metafora dalam masyarakat. Penyintas kekerasan seksual yang hendak menceritakan yang ia alami malah hanya didiamkan atau tidak dipercayai kisahnya, bahkan sampai diminta mengubur dalam-dalam kisah itu. Orang-orang yang seharusnya jadi support system bagi penyintas di sini malah diam mematung seperti batu,” ucap Wregas dan Pria.

Kisah investigasi Sur yang menjadi poros skenario Penyalin Cahaya praktis adalah upaya menelusuri spiral kesunyian yang membungkamnya. Di setiap jengkal jejak yang bisa dicermati, dia mencari-cari titik tembus yang memungkinkan ia bersuara. Tidak hanya untuk menyatakan kebenaran dari sisinya, tapi juga mencari rasa aman. Pasalnya, ia hampir sepenuhnya ditolak oleh orang-orang yang sepatutnya menjadi lingkar pelindungnya. Pihak kampus enggan percaya, bapaknya abai, sementara rekan-rekan teater kampus punya kesibukan sendiri yang sukar diusik, terlebih oleh Sur yang perannya adalah pengurus website. Sama seperti Medusa yang menyihirnya dalam pesta keparat itu, ia dianggap sebagai monster yang perlu dihindari.

“Medusa digambarkan memancarkan sinar hijau dari matanya. Hal ini kami kaitkan dengan sinar hijau dari mesin fotokopi. Kami menemukan kesamaan dalam mata Medusa. Mesin fotokopi membuat obyek yang diletakkan di atasnya jadi beku dan tercetak di kertas,” tutur Wregas dan Pria. “Namun, di sini, dengan penggambaran Medusa di mesin fotokopi ini, kami ingin menggambarkan sinar hijau ini tak hanya berfungsi membekukan atau membuat diam orang lain, tapi juga menduplikasi, menyalin, dan melipatgandakan semangat bersama.”

Semangat bersama yang dimaksud tampak kentara dalam lintasan kisah film. Layaknya tragedi Yunani yang dikutip, Penyalin Cahaya tak sungkan menjadi lakon yang besar. Makin jauh Sur mencari orang yang melanggar batas privatnya, makin luas skala cerita yang disajikan, makin beragam pula galeri tokoh yang kita temui. Sama seperti Sur, mereka tidaklah unik. Ada mahasiswi penyendiri yang dianggap “aneh” oleh kawanannya, ada birokrat yang cuma mau berbicara soal bukti fisik, ada orang tua yang berceramah tentang nama baik, dan tentunya ada orang-orang yang sambil lalu sekadar menganggap Sur berlebihan serta sebatas mencari perhatian. Semuanya berpadu dalam garis cerita yang terhitung sesak oleh peristiwa.

Keputusan para penulis skenario untuk bercerita secara meluas menghadirkan konsekuensi bercabang. Di satu sisi, Sur sebagai tokoh yang penonton ikuti sejak awal menjadi tenggelam. Tidak hanya tenggelam, tapi juga tak terbentuk. Semesta tokoh di sekitarnya terus menebal, jaringan kisahnya kian berbelit, sementara situasi kebatinannya nyaris tak terjamah oleh penonton.

Hanya satu dimensi emosi Sur yang konsisten diakui dalam cerita, yakni hasratnya atas keadilan, yang menjadi energinya melakoni investigasi. Selebihnya, minim. Tidak ada proses coping. Sur bergerak bukan karena hasil upayanya mengelola trauma dan ketakutannya, sebagaimana yang dialami banyak penyintas, melainkan lantaran formula dan tuntutan cerita. Di sinilah titik kritis skenario Penyalin Cahaya. Untuk kisah dengan topik yang begitu lekat dengan kompleksitas batin, ia tak banyak menawarkan ruang empati bagi tokoh utamanya.

Di sisi lain, dengan skala cerita yang terus meluas, Penyalin Cahaya menghadirkan panorama yang pelik atas berbagai tantangan sistemik yang kerap membungkam kasus kekerasan seksual. Kelar film, kita bisa dengan mudah mengidentifikasi ruang atau interaksi mana yang rawan, siapa ally siapa enabler, dan di titik mana kita perlu menghimpun upaya kolektif. Lebih luas, Penyalin Cahaya membuka berbagai kemungkinan atas bentuk kekerasan seksual, yang tak melulu terbatas pada sentuhan fisik, serta siapa saja yang bisa terkena dampak, yang jelas tak terbatas pada gender dan orientasi seksual tertentu.

Hendrikus Pria (kiri) dan Wregas Bhanuteja/Tempo/M Taufan Rengganis

Skenario Penyalin Cahaya bisa dibilang mengorbankan kedalaman psikis demi kebutuhan komunikasi taktis. Plotnya yang tertata begitu rapi, serta distingsi tokoh-tokohnya yang mudah dikenali, tidak hanya menjadikannya tontonan yang memikat, tapi juga relatif ramah. Bandingkan dengan film bertema sejenis, seperti 27 Steps of May, yang begitu tajam mendalami trauma tokohnya, yang dalam prosesnya berpotensi triggering dan bisa jadi malah menciptakan jarak.

Penyalin Cahaya memilih cara tutur yang lebih ringan. Mudah membayangkannya dipakai sebagai bahan diskusi atau materi advokasi ke berbagai kalangan, termasuk kepada mereka-mereka yang tak begitu fasih, kurang familier, atau bahkan abai terhadap isu kekerasan seksual. Di tengah masyarakat yang masih begitu primitif setiap kali berbicara soal tubuh, narasi yang Penyalin Cahaya sajikan punya nilai strategis tersendiri.

“Kami percaya bahwa hanya dengan film tidak bisa membuat perubahan yang dikehendaki, tapi film bisa menjadi jalan masuk yang tepat untuk masyarakat bisa belajar memahami sebuah isu. Dengan memaparkan bagaimana kekerasan seksual bisa terjadi dalam lingkup terkecil di keluarga sampai ke lingkup masyarakat yang lebih luas, kami ingin cerita ini bisa menyentuh berbagai macam elemen masyarakat untuk kemudian meningkatkan awareness terhadap kasus kekerasan seksual,” ujar Wregas dan Pria.

“Film Penyalin Cahaya sekali lagi mengajak kita untuk banyak berkaca bahwa untuk benar-benar menciptakan ruang aman bersama dibutuhkan kesadaran kolektif dari berbagai elemen masyarakat. It has to start somewhere.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Adrian Jonathan Pasaribu

Adrian Jonathan Pasaribu

Pemimpin redaksi Cinema Poetica

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus