Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sang Prenjak, Pengingat Kekerasan Digital

Wregas Bhanuteja mengeksekusi problem kekerasan seksual di dunia digital dengan rapi dalam Penyalin Cahaya. Mengeksplorasi ruang dan durasi yang ketat.

18 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Wregas Bhanuteja menjadi Sutradara Pilihan Tempo 2021

  • Wregas mengarahkan film Penyalin Cahaya yang tayang perdana di Festival Film Busan

  • Isu kekerasan seksual berbasis digital dieksplorasi Wregas dalam bentuk drama misteri kriminal

TAK ada yang rahasia lagi di ruang digital. Batas antara ruang privat dan publik, pada akhirnya, hanya bersandar pada kesadaran individu dalam memaknainya. Pun kekerasan yang lahir sebagai ekses dari rutinitas di dunia maya, terkadang luput dari ingatan. Masyarakat pengguna Internet kian sibuk memproduksi makna, tapi, sayangnya, tak semua paham akan konsekuensinya. Begitu pun ketika bersinggungan dengan urusan seksualitas, kekerasan seksual di ruang digital menjadi suatu hal yang lentur dan bias. Problem itulah yang ditata dengan baik oleh Wregas Bhanuteja, lelaki kelahiran Jakarta 29 tahun lalu, dalam film panjang pertamanya, Penyalin Cahaya (bahasa Inggris: Photocopier).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bergenre drama misteri kriminal, Penyalin Cahaya mengusik pikiran kita akan ruang aman digital yang kita tahu jawabannya adalah “tak ada”. Ya, kerahasiaan, ruang aman, atau semacamnya hanyalah utopia di jagat maya. Mustahil untuk memastikan kita tak bakal menjadi korban kekerasan digital—selama kita saban hari masih bergaul di ruang berbasis aplikasi. Lalu, jika menjadi korban, bisakah kita melawannya? 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertanyaan itu menuntun kita untuk berempati kepada tokoh utama dalam Penyalin Cahaya bernama Sur. Mahasiswa angkatan awal di sebuah kampus ini dikisahkan puyeng karena beasiswa kuliahnya terancam melayang. Gara-garanya, foto selfie­­-nya saat tengah mabuk dalam sebuah acara pesta perayaan kemenangan kelompok teater kampus lain yang diikutinya (Sur bekerja sebagai web designer kelompok teater itu) tiba-tiba saja viral. Sur yakin itu bukan ulahnya. Namun, jika itu bukan ulah Sur sendiri, siapa yang mengerjainya? Sur kemudian mengajak teman baiknya, Amin, seorang tukang fotokopi di kampus, menyelidiki biang kerok kekerasan digital ini.

Wrgeas Bhanuteja. Tempo/M Taufan Rengganis

Wregas menghadirkan banyak ruang terbatas sebagai arena gerak para tokohnya. Sebagian besar adegan dialog Sur dan Amin berlangsung di sebuah ruang sempit di loteng di atas tempat fotokopi. Sur “bersembunyi” berhari-hari di loteng pengap itu untuk melacak dan menganalisis sumber penyebaran fotonya. Ia dibantu Amin. Sur mendapat data yang mengejutkan. Bukan hanya dia yang menjadi korban, tapi juga perempuan-perempuan lain di kampus itu. Dan Amin, kawan yang ia percayai, ternyata terlibat dalam penyimpanan data foto tak senonoh itu.    

Adegan-adegan “investigasi” Sur ini diurai Wregas dengan kamera yang sebagian besar dioperasikan secara handheld disertai sejumlah shot pendek berupa gawai, mesin fotokopi, dan wajah, yang memunculkan kesan kecenderungan bentuk atau formalisme. Adegan-adegan menjelang penutup film menunjukkan suatu katarsis atau pelepasan dari situasi-situasi mengimpit tentang kekerasan seksual di kampus. Perpindahan dari ruang indoor yang pengap tempat Sur melacak foto-foto ke ruang outdoor di atap kampus, lokasi Sur dan para mahasiswa lain mendorong mesin fotokopi dan kemudian menebarkan kertas-kertas, mendukung klimaks film ini. 

Wregas Bhanuteja mampu menciptakan aliran adegan dengan durasi yang sangat ketat. Wregas mampu menyodorkan kepada kita betapa kekerasan seksual di dunia digital bisa terjadi kapan pun dan di mana pun, baik yang dilatari motif ekonomi maupun yang bertumpu pada penyimpangan psikologis.

Capaian penyutradaraan film Penyalin Cahaya (Wregas Bhanuteja) dan Yuni (Kamila Andini) bisa dikatakan setingkat, hanya berbeda dalam hal gaya visualisasi. Adapun garapan tematiknya, isu perkawinan dini dan kekerasan seksual di kampus, ada perbedaan, tapi sama-sama menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat kita. Jadi, dalam hal ini, siapakah yang terbaik? Kamila atau Wregas? Itu soal pilihan, dan tim juri Film Pilihan Tempo 2021 telah memilih Wregas.

Wregas sebelumnya selalu menggarap film pendek. Sebagian di antaranya berbuah apresiasi positif. Misalnya Prenjak (2016), yang memenangi penghargaan dalam Festival Film Cannes di Prancis, dan Tak Ada yang Gila di Kota Ini, yang menjuarai kategori film pendek dalam Festival Film Indonesia 2019. Pada debut film panjangnya yang tayang perdana dalam Festival Film Busan tahun ini, Wregas mampu membimbing emosi penonton dalam mengikuti perjalanan Sur yang menegangkan. Tata musik dan nuansa visual Penyalin Cahaya pun hadir secara pas. Adakalanya gedar-gedor musik hadir sebagai intimidasi, dibungkus teknik pewarnaan film yang indah.

Menjelang akhir tahun ini, ada berbagai festival film nasional yang memunculkan sutradara-sutradara muda berbakat yang masih sedikit. Di antaranya Randolph Zaini, Edwin, Roy Lolang, Kamila Andini, dan Wregas Bhanuteja tentunya. Mereka bergelut dengan tema kekerasan dalam berbagai varian, termasuk kekerasan fisik, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual di kampus, dan kekerasan menghadapi tekanan adat istiadat serta agama.

Dalam film Preman, Randolph Zaini mengeksploitasi aksi laga nyaris liar, tapi menunjukkan berbagai sudut pengambilan gambar yang cenderung variatif dan didukung efek-efek visual. Yang menarik, tokoh utama film Preman adalah seorang jagoan penyandang tunarungu yang diperankan oleh Khiva Iskak dengan sangat meyakinkan.

Wregas Bhanuteja dalam proses syuting Penyalin Cahaya. Dok Wrgeas Bhanuteja/Tri Ratna

Sedangkan Edwin lewat Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menyajikan film yang sebenarnya merupakan bentuk “penghalusan” aksi laga melalui perkelahian yang dikoreografikan serta menggunakan beberapa shot panjang. Perkara rindu-dendam ini bergulir secara dinamis dengan banyaknya aksi laga. Bahkan percintaan Ajo Kawir dan Iteung pun dibungkus dengan gaya tersebut.

Lain halnya dengan Roy Lolang, yang menjadi sutradara sekaligus sinematografer Cinta Bete. Kerja rangkap yang dilakukan Roy menampakkan bahwa adegan-adegan interior jauh lebih hidup daripada bagian eksterior. Hal itu yang membuat cerita Cinta Bete terasa agak lambat meskipun sebenarnya sangat menarik. 

Adapun gambar-gambar yang dihasilkan Kamila Andini dalam Yuni secara subtil menampilkan realisme melalui tangkapan kamera yang tidak harus detail sehingga menimbulkan kesan pendekatan film dokumenter. Jadi realisme itu tentang kehidupan Yuni dari kungkungan adat istiadat ataupun gelora hatinya untuk mencari pekerjaan di luar daerah asalnya. Lokasi-lokasi yang dipilih sutradara juga tampak natural, tanpa polesan tata artistik yang berlebihan alias menunjukkan situasi-situasi peristiwa apa adanya. Misalnya di gang-gang antar-rumah warga setempat, juga salon yang dikelola sahabatnya. Arahan kamera yang berpadu dengan durasi adegan mengerucut pada persoalan yang pelik, yaitu wanita-wanita muda yang dipaksa menikah di usia dini. Suatu persoalan yang sangat serius dan banyak dibahas di negeri kita.

Maka, dari sejumlah film itu, tampak jelas para sutradara muda ini memiliki kemampuan menghidupkan adegan-adegan melalui pendekatan sinematik yang berbeda, juga kecenderungan individual tentang tema-tema yang akan ditampilkan di masa depan.

Kami memilih Wregas Bhanuteja sebagai sutradara terbaik karena dia mampu menjaga aspek ketegangan yang intens mencekam penonton lewat akting Shenina Cinnamon (pemeran Sur) dan kawan-kawan, juga lantaran ia berhasil menjahit cukup banyak isu penting dalam film ini. Bukan hanya perkara kekerasan seksual lewat digital yang dibicarakan dalam Penyalin Cahaya, tapi juga kesadaran akan tubuh, bahkan ihwal plagiarisme. 

ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Marselli Sumarno

Marselli Sumarno

Dosen Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus