Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Puluhan kasus baru kekerasan seksual muncul di berbagai kampus penjuru negeri.
Ada banyak kasus pelecehan seksual yang tak tuntas karena tak ditindaklanjuti kampus.
Sebagian pelaku adalah dosen.
KASUS kekerasan seksual di kampus kian marak dan terungkap. Setelah terkuaknya kasus di Universitas Riau dan Universitas Indonesia, kini muncul kasus serupa di Universitas Udayana, Bali; Universitas Negeri Jakarta; dan Universitas Negeri Makassar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, seorang mahasiswa melapor ke Badan Eksekutif Mahasiswa Udayana telah menjadi korban kekerasan seksual oleh mahasiswa lain. Mahasiswa itu—sebut saja namanya Putri—mendapat perundungan seksual oleh IKAJ pada Sabtu, 11 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada waktu itu, Putri menghadiri sebuah kegiatan kampus di gedung dekat Lapangan Lumintang, Denpasar. Untuk sampai ke lokasi, ia membonceng sepeda motor yang dikendarai IKAJ. Karena kegiatannya berlangsung pada malam, acara baru selesai menjelang dinihari. Tak ada lagi kendaraan umum di waktu selarut malam itu.
IKAJ, menurut Putri, menawarinya menginap di rumah saudaranya. Putri menolak. Tak punya pilihan, ia bersedia diantar ke kos dengan membonceng IKAJ. Sebab IKAJ mengaku sedang tak enak badan sehingga meminta Putri menyetir. Saat berboncengan itulah IKAJ meraba pinggang, dada, dan paha Putri.
Tak berkutik mendapat perlakuan itu, Putri memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Sampai di kos ia mengunci diri. Ia baru berani melapor ke BEM tiga hari kemudian dengan diantar pacarnya. Pengurus BEM mengkonfrontasi pengakuan itu kepada IKAJ hari itu juga. “Dia mengakui perbuatannya,” kata Muhammad Novriansyah, Presiden BEM Universitas Udayana, Rabu, 15 Desember lalu.
Peristiwa itu membuka tabir perundungan seksual di kampus negeri paling terpandang di Bali ini. Rupanya, perundungan seksual seperti yang menimpa Putri masih ada lagi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali menerima 42 laporan korban perundungan seksual hingga pemerkosaan di Universitas Udayana sepanjang 2020.
Ni Kadek Vany Primaliraning, Direktur YLBHI LBH Bali/Istimewa
Pelakunya beragam. Tujuh kasus kekerasan seksual dilakukan oleh dosen, 27 kasus oleh mahasiswa, dan sisanya oleh karyawan dan warga sekitar kampus. Menurut Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning, umumnya para korban tak melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami ke kampus atau polisi.
Alih-alih merespons temuan ini, Rektorat Universitas Udayana mempertanyakan data LBH Bali. Mereka bahkan mengancam melaporkan organisasi swadaya ini karena dianggap mencemarkan nama kampus. “Sikap kampus sangat kami sayangkan,” tutur Ni Kadek Vany. “Karena kasus yang sebelumnya juga tidak jelas penyelesaiannya, sekarang kasus serupa terulang.”
Juru bicara Universitas Udayana, Senja Pratiwi, mengatakan pihaknya sudah menerima dan sedang mengusut kasus perundungan seksual yang dialami Putri. “Kasusnya akan dibawa ke sidang etik fakultas,” katanya, Kamis, 16 Desember lalu.
Ihwal data LBH Bali, kata Senja, kampus akan memastikan informasi tersebut. Kampus Udayana, Senja menjelaskan, sudah mengundang pengurus LBH Bali guna memaparkan data laporan kekerasan seksual yang mereka terima. “Tapi undangan kami belum direspons,” ucapnya.
Ni Kadek Vany mengatakan tak bisa serampangan membuka detail data perundungan seksual di kampus karena lembaganya harus melindungi para korban dan pelapor. Apalagi, Ni Kadek menambahkan, undangan tersebut tidak didasari niat baik karena rektor mengancam memidanakan mereka. “Itu cukup menjadi alasan kami belum merespons undangan mereka,” ujarnya.
Di Universitas Negeri Jakarta, gunung es kekerasan seksual terungkap setelah seorang alumnusnya membuka percakapan WhatsApp dengan seorang dosen di Twitter pada Selasa, 7 Desember lalu. Dosen itu, DA, mengirimkan pesan-pesan bernada seksual kepada mahasiswa selama bimbingan skripsi.
Dalam pesan itu, DA mengucapkan “I love u” dan mengajak mahasiswanya menikah. Belakangan DA diketahui adalah Dwi Atmanto, 60 tahun, seorang dosen UNJ. Dalam penelusuran Study and Peace (Space) UNJ, komunitas pendamping korban kekerasan seksual di Universitas Negeri Jakarta, Dwi diduga merundung mahasiswanya secara seksual sejak 2019.
Koordinator Space UNJ, Aprilia Resdin, menduga ada banyak korban serupa di kampus mereka. Para mahasiswa ini lalu membuka saluran pengaduan untuk menerima laporan korban lain. Benar saja, belasan laporan masuk hanya dalam waktu sepekan. Sebagian besar melaporkan Dwi Atmanto. “Juga ada lima laporan perundungan seksual yang dilakukan oleh dosen lain. Yang ini masih kami verifikasi,” ujar Aprilia, Kamis, 16 Desember lalu.
Dwi, menurut laporan yang diterima Space, acap menyapa mahasiswa dengan panggilan “sayang”. Para mahasiswa mengaku proses penyusunan skripsi mereka dipersulit jika tak meladeni obrolan seksual Dwi Atmanto. Salah satu hal yang menghebohkan adalah Dwi mengajak mahasiswanya umrah dan menikah di Arab Saudi di depan mahasiswa lain.
Menurut Aprilia, kejadian itu sudah dilaporkan ke kampus, tapi tak ada tindakan berarti, sehingga Dwi mengulangi lagi perbuatannya. Kepala Media Hubungan Masyarakat UNJ Syaifudin mengatakan rektorat sudah memanggil dan meminta keterangan Dwi Atmanto. “Dia mengakui perbuatannya, tapi tidak ingat persis perbuatan itu ia lakukan,” ujarnya.
Toilet tempat pelaku, AS, merekam mahasiswa, di Makassar/TEMPO/ Didit Hariyadi
Syaifudin juga membenarkan ada laporan sejumlah mahasiswa ihwal kelakuan Dwi. Namun saat itu para pelapor tidak menyertakan bukti. “Sehingga laporan tidak kami tindak lanjuti,” tuturnya. Selain itu, ujar Syaifudin, belum ada mekanisme yang mengatur secara jelas penanganan kasus dugaan perundungan seksual di kampusnya.
Kini kampus punya sandaran hukum berupa Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. “Itu menjadi salah satu pegangan kami,” tuturnya.
Sejak Sabtu, 11 Desember lalu, UNJ menonaktifkan Dwi dari kegiatan kampus. Tempo berupaya mengirim permohonan wawancara ke nomor telepon selulernya, tapi hingga Sabtu, 18 Desember lalu, tak direnspons.
Tak hanya di Universitas Udayana dan UNJ, kasus kekerasan seksual juga terungkap di Universitas Negeri Makassar (UNM) pada Kamis, 9 Desember lalu. AS, 40 tahun, petugas keamanan kampus, tepergok merekam mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten yang sedang mandi.
Ada 57 mahasiswa Untirta yang sedang mengikuti program Kampus Merdeka di UNM sejak awal November lalu. Mereka menginap di wisma dan hotel La Macca milik kampus. Rupanya, kamar mandi di wisma rusak. “Pintunya juga tidak bisa dikunci,” ujar Koordinator Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Untirta Veronika Dian Faradisa, Kamis, 16 Desember lalu.
Para mahasiswa Untirta lalu memakai kamar mandi dan toilet di luar wisma yang sepi. Anshar diduga merekam mahasiswa yang sedang mandi dengan telepon seluler. Salah seorang korbannya melaporkan perbuatan laki-laki 40 tahun itu ke polisi.
Polisi yang menggeledah telepon seluler Anshar menemukan puluhan foto dan video mahasiswa. “Dia mengaku untuk konsumsi pribadi, bukan untuk disebarkan,” kata juru bicara Kepolisian Resor Makassar, Ajun Komisaris Lando.
Rektor UNM Husain Syam berjanji meningkatkan keamanan bagi mahasiswa dengan segera menjalankan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021. “Kami akan evaluasi dan mengawal agar tidak lagi terjadi kekerasan seksual di kampus,” ucapnya.
FRISKI RIANA (JAKARTA), MADE ARGAWA (BALI), DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo