Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seorang Preman yang Tak Lazim

Begitu banyak lapisan yang dihadirkan Khiva Iskak dalam karakter Sandi: penyandang tunarungu, preman yang jago berkelahi, orang yang selalu dihantui trauma, dan ayah yang membela keluarga. 

18 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Khiva Iskak terpilih menjadi aktor terbaik Film Pilihan Tempo 2021.

  • Juri menilainya unggul ketika memerankan preman bisu dan tuli.

  • Bagaimana Khiva Iskak menyelami karakter yang tidak biasa ini?

AKTING Khiva Iskak sebagai preman bisu-tuli bernama Sandi adalah akting yang penuh tantangan dan tak lazim. Ia harus menyelami dunia orang tunarungu. Ia juga dituntut mengira-ngira bagaimana menjadi seorang penyandang tunarungu yang sehari-hari berada dalam kultur kekerasan. Suatu hal yang mungkin belum ada referensinya—baik dalam kehidupan nyata, novel, maupun film-film sebelumnya. Khiva harus mengubah dirinya menjadi orang yang tak bisa menangkap suara apa pun tapi kudu senantiasa waspada akan perkelahian. Karakter yang tak gampang ini bisa disuguhkan secara meyakinkan oleh Khiva.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam film dikisahkan Sandi menjadi tuli karena saat menjadi siswa sekolah menengah pertama terjatuh dari genting sekolah bersama temannya. Temannya tewas. Dia selamat, tapi kehilangan pendengaran. Sepanjang hidupnya, Sandi diliputi trauma dan rasa penyesalan yang sama sekali tidak bisa ia tunjukkan dan suarakan. Sandi tidak merasa bebas. Mimpi buruk senantiasa menghantuinya. Bahkan, semenjak pendengarannya hilang, dia memutuskan untuk tak bersuara, walau tak bisu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak menit awal sampai akhir kita bisa melihat bagaimana Khiva Iskak bisa memerankan sosok Sandi yang memiliki kondisi psikologis yang problematis itu. Raut wajah Khiva sepanjang adegan nyaris tanpa ekspresi, baik saat terlibat dalam perkelahian maupun ketika menyaksikan kesewenang-wenangan yang dilakukan temannya. Tatkala para preman diperlihatkan dengan paksa menyerobot lahan penduduk—mengintimidasi, mengancam-ancam dengan senjata—Sandi yang berada di barisan preman itu tampak berdiri tak melakukan apa-apa, tak ikut menendang-nendang penduduk. Karakter Sandi yang “diam” tapi cukup disegani kawanannya bisa diperlihatkan oleh Khiva.

Kelompok preman yang diikuti Sandi dikisahkan bernama Perkasa, akronim Pendekar Keadilan Sosial. Dulu kelompok ini adalah organisasi yang ditujukan untuk mewadahi kegiatan masyarakat. Pendirinya seorang haji. Di bawah pemimpin baru yang kerap dipanggil Pak Guru—karena sosoknya senantiasa berpakaian seragam cokelat gading—kelompok ini berubah menjadi kelompok mafia yang sadis. Bahkan mereka tega menganiaya Pak Haji, pendiri organisasi, karena Pak Haji kukuh bertahan di rumahnya, tak mau pindah seperti warga lain.

Khiva Iskak/Tempo/Jati Mahatmaji

Film ini memperlihatkan kedekatan Sandi dengan Pak Haji. Sandi jugalah yang diminta organisasinya mendekati Pak Haji meski Pak Haji tetap bertahan. Geng preman itu akhirnya mengambil jalan kekerasan. Kejadian tersebut mendorong Sandi membangkang dan melawan pemimpin organisasi. Akibatnya, nyawa anaknya yang masih duduk di sekolah dasar, Pandu (Muzakki Ramdhan), juga terancam. Di titik ini, Sandi sekuat tenaga melindungi putranya. Sang anak adalah satu-satunya harta Sandi, satu-satunya alasan Sandi bertahan hidup. Di kepala Sandi terdapat angan-angan suatu saat sang anak bisa kembali berkumpul dengan ibunya, (istri Sandi) Mayang, yang meninggalkannya. Untuk pertama kalinya Sandi memberontak melawan bos dan teman-temannya sesama preman.

Karakter seorang preman tunarungu yang punya banyak masalah dalam dirinya sekaligus ayah yang harus melindungi anaknya ini yang harus dimainkan dengan baik oleh Khiva Iskak. Peran ayah bukan hal asing bagi aktor yang berkiprah sejak 2011 ini. Bahkan, di banyak iklan dan film pendek, peran Khiva selalu ayah dalam sebuah keluarga. Ia sempat bosan dan menolak beberapa tawaran peran menjadi ayah. Tapi menjadi ayah yang merupakan preman dan juga tuli benar-benar peran tak terduga yang disodorkan langsung sutradara film Preman, Randolph Zaini, kepada Khiva tanpa proses casting. "Dia (Randolph) nunjukin script udah jadi, ini buat lo, elo yang maen," kata Khiva mengulang perkataan Randolph kepadanya saat ditemui Tempo, Rabu, 15 Desember lalu. Menurut Khiva, Randolph membuat karakter Sandi untuk ia perankan.

Film Preman adalah kerja sama kedua yang dilakukan Khiva dengan Randolph. Sebelumnya, Khiva pernah bermain sebagai aktor utama bersama Verdi Solaiman dalam film pendek Randolph berjudul Polisi Maling yang masuk ke 30-an festival film di luar negeri. Setelah menggarap Polisi Maling, Randolph berjanji melibatkan Khiva sebagai aktor utama untuk film panjang pertamanya. Entah kapan, saat itu keduanya belum tahu. Ucapan Randolph rupanya bukan isapan jempol. Setelah hilang kontak beberapa waktu, keduanya kembali bertemu untuk proyek film Preman.

Sekitar dua bulan dihabiskan Khiva untuk mendalami karakter Sandi sekaligus mempelajari bahasa isyarat dan mendalami sejumlah koreografi untuk aksi tarung. Ia juga kembali belajar mengendarai sepeda motor. Sebagai preman, Sandi membawa monkey fist—bandul bola yang terbuat dari lilitan tali yang menjadi senjata khas para pelaut untuk berantem kalau mabuk—ke mana-mana, yang nyaris tak pernah dia keluarkan sampai akhirnya ia pakai untuk melindungi anaknya dari serangan dan ancaman kawannya sendiri.

Memerankan seorang tuli yang jago berkelahi, Khiva Iskak sadar sosok Sandi mengandalkan insting terhadap setiap gerakan yang terindra oleh matanya. Khiva sadar bahwa orang seperti Sandi, yang pendengarannya tak berfungsi, bila instingnya tak berjalan, bisa lengah kapan pun, apalagi jika diserbu mendadak dari belakang. Dalam adegan-adegan perkelahian, ekspresi Khiva senantiasa datar, seolah-olah ingin menunjukkan kedalaman kontrol emosi. Sandi mengantisipasi serangan dari berbagai arah. Penampilan Khiva yang tampak lempeng ini menjadi kekuatan Khiva.

Khiva Iskak dalam Preman.

Untuk menyelami peran, Khiva mengaku lebih berfokus mendalami karakter Sandi yang penuh trauma ketimbang mendalami peran preman. “Saya benar-benar mempelajari seseorang yang menjalani trauma, kesedihan, dan satu-satunya harapan itu adalah anaknya. Kalau anaknya hilang, hidupnya selesai,” tutur Khiva. Hal itu, menurut dia, tak mudah. Dalam sebuah adegan, emosi-emosi Sandi yang bertumpuk terdorong keluar begitu Sandi melihat anaknya terluka. Lolongannya menjadi penyalur lepasnya segala hal yang tersumbat selama ini. Adegan puncak itu, kata Khiva, menjadi salah satu adegan terberat yang ia jalani.

Khiva mengaku cukup depresif lantaran tekanan proses syuting yang cukup berat. Hampir semua adegan berat lantaran menguras kondisi fisik dan psikis. Khiva sampai masuk rumah sakit tiga kali. “Ada adegan hampir setengah jam sendiri, berjalan ke mana saja sambil teriak, hanya diikuti kamera. Enggak berhenti-berhenti, itu momen untuk mengeluarkan apa yang selama ini ada di hidup Sandi,” ujar Khiva. Adegan itu, dia menambahkan, hanya diambil sekali dan ia hentikan sendiri begitu merasa sudah cukup dan lelah. Adegan itu sengaja ditaruh di bagian akhir agar emosi Sandi terkendali sepanjang syuting.

Khiva sendiri melihat sosok Sandi sebagai manusia yang pembawaannya selalu penuh beban. “Dia mengira menjadi anggota preman Perkasa adalah pembuktian bahwa dirinya bisa berguna di tengah masyarakat. Dia mengira menjadi jagoan adalah satu-satunya jalan bagi seorang tuli untuk dapat dihargai masyarakat,” kata Khiva.  

Banyak lapisan yang dihadirkan Khiva dalam karakter Sandi. Karena itu, Tempo menilai Khiva Iskak layak menjadi aktor terbaik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus