Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Berita Tempo Plus

Atas Nama Pembangunan

Rencana besar pembangunan infrastruktur yang dicanangkan Presiden Joko Widodo dalam belasan Proyek Strategis Nasional di berbagai daerah ternyata mengundang pelanggaran hak asasi manusia. Konflik agraria seharusnya tak terjadi jika pemerintah tak menempatkan agenda ekonomi di atas hak dasar rakyat.

19 Desember 2020 | 00.00 WIB

Warga Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara masih bertahan di tanah-tanah mereka, Kamis (12/9). Sementara alat berat dari Badan Pengelola Otoritas Danau Toba (BPODT) terus melakukan penggusuran. Facebook.com/ Konsorsium Pembaruan Agraria - KPA
Perbesar
Warga Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara masih bertahan di tanah-tanah mereka, Kamis (12/9). Sementara alat berat dari Badan Pengelola Otoritas Danau Toba (BPODT) terus melakukan penggusuran. Facebook.com/ Konsorsium Pembaruan Agraria - KPA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ringkasan Berita

  • Ada banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia di balik pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang dirancang Presiden Joko Widodo.

  • Komnas HAM menerima 84 pengaduan konflik agraria yang muncul sejak pemerintah meluncurkan Proyek Strategis Nasional pada 2017 silam.

  • Presiden Joko Widodo mengaku pembangunan infrastruktur penting justru demi menjaga perlindungan hak asasi masyarakat terutama perbaikan ekonomi.

OBSESI pemerintah menyulap Danau Toba menjadi destinasi wisata kelas dunia justru menjadi momok buat warga Desa Sigapiton. Alih-alih mendapat berkah, ratusan penduduk desa itu dipaksa angkat kaki dari tanah yang sudah turun-temurun mereka diami. Rakyat pun bergolak. Akibatnya, setahun terakhir, bentrokan warga dengan aparatur keamanan kerap meletus di desa yang berada di sisi timur Danau Toba tersebut.

Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, sudah lama termasyhur dengan keelokan pemandangan alamnya. Tapi warga di sini tak hidup dari bisnis pariwisata. Mayoritas penduduk menghidupi keluarga dengan berkebun dan menjadi nelayan. Desa yang berada di bawah lereng perbukitan itu berjarak sekitar tujuh kilometer dari jalan lintas Sumatera yang menghubungkan Kota Parapat dan Balige, pusat ekonomi dan wisata di sekitar danau.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus