Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berebut Warisan Raja Bius

Program pengembangan pariwisata Danau Toba dituding menggusur kebun sumber penghasilan milik warga desa. Beradu klaim sebagai pemilik lahan.

19 Desember 2020 | 00.00 WIB

Sejumlah pengunjung menikmati panorama Danau Toba senja hari di The Kaldera Toba Nomadic Escape di lahan 120 Ha, Dusun Sileang-leang Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, 15 Desember 2020. Arjuna Bakkara
Perbesar
Sejumlah pengunjung menikmati panorama Danau Toba senja hari di The Kaldera Toba Nomadic Escape di lahan 120 Ha, Dusun Sileang-leang Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, 15 Desember 2020. Arjuna Bakkara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Sejumlah konflik meletus di masyarakat pasca proyek revitalisasi pariwisata Danau Toba.

  • Warga Desa Sigapiton di tepi Danau Toba kehilangan sumber mata pencaharian akibat penggusuran.

  • Sebagian lahan lokasi proyek revitalisasi Danau Toba merupakan tanah adat warisan leluhur marga Butarbutar.

SEPUCUK surat membuyarkan perjamuan persiapan Natal marga Butarbutar, Rabu, 16 Desember lalu. Penyelidik Kepolisian Resor Toba Samosir memanggil delapan anggota keluarga mereka. Seorang petinggi Badan Otorita Pengelola Danau Toba mengadukan kedelapan orang itu ke kepolisian pada Oktober lalu.

Surat itu mencantumkan nama Nurveni Butarbutar sebagai salah seorang yang akan diperiksa. Nurveni merasa kaget setelah membaca surat tersebut. Sang pelapor menuding anggota marga Butarbutar menggunakan lahan yang diklaim milik Badan Otorita di Desa Pardamean Sibisa, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, tanpa izin. “Padahal peristiwa itu sudah lama, Mei 2018,” ujar Nurveni, sehari setelah menerima surat panggilan kepolisian.

Nurveni, 52 tahun, juga menilai isi surat aduan tersebut janggal. Menurut dia, lahan yang dimaksud pelapor merupakan bagian dari tanah leluhur marga Butarbutar. Luas tanah leluhur mereka mencapai 120 hektare, terbentang di Desa Pardamean hingga Desa Sigapiton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Desa Sigapiton, di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Agustus 2020. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Nurveni memanfaatkan sekitar satu hektare lahan di Desa Pardamean untuk berkebun. Letaknya berada di atas perbukitan yang menghadap Danau Toba.

Selama ini marga Butarbutar menguasai lahan itu karena status marga mereka sebagai Raja Bius—istilah warga setempat yang bermakna marga yang pertama kali mendiami satu wilayah tertentu. Ada empat marga yang berada di komunitas adat Raja Bius, yakni Butarbutar, Sirait, Manurung, dan Nadapdap. Marga Butarbutar menetap dan berkebun di lahan itu sejak puluhan tahun lalu.

Untuk urusan lahan, klan Butarbutar selama ini hanya berhadapan dengan keluarga marga Sirait, Manurung, dan Nadapdap. Mereka sama-sama mengklaim sebagai pemilik lahan Raja Bius. Marga Butarbutar berurusan dengan Badan Otorita baru beberapa tahun belakangan. “Seharusnya kami yang berhak melaporkan Badan Otorita karena sudah dirugikan,” ujar Nurveni.

Badan Otorita berencana membangun jalan menuju The Kaldera Toba Nomadic Escape, salah satu wilayah yang tengah dikembangkan sebagai pusat pariwisata Danau Toba, di atas lahan marga Butarbutar di Desa Pardamean. Jalan sepanjang 2,5 kilometer itu membentang dari Desa Pardamean Sibisa menuju Hutan Harangan Motung.

Presiden Joko Widodo membentuk Badan Otorita Pengelola Danau Toba pada 2016. Lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden ini diharapkan mempercepat pengembangan pariwisata di Danau Toba. Pada tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 2,4 triliun untuk membangun infrastruktur pariwisata Danau Toba.

Pemerintah berambisi menyulap kawasan sekitar Danau Toba menjadi destinasi wisata tingkat internasional. Presiden Joko Widodo menetapkan Danau Toba sebagai satu dari sepuluh kawasan strategis pariwisata nasional. Program ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional Presiden Joko Widodo yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016.

Selain Desa Pardamean Sibisa, pembangunan sarana pariwisata berlangsung di kawasan sekitar danau, seperti Desa Sigapiton, Sianjur Mulamula, Hutaginjang, dan Pulau Samosir. Pemerintah berharap pengembangan pariwisata ini turut meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar danau.

Namun proyek ini justru dianggap membebani masyarakat. Riset dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat dan Sajogyo Institute soal dampak pengembangan kawasan wisata Danau Toba pada 2017 hingga 2019 memperkuat tuduhan itu.

Penelitian mereka menyimpulkan bahwa proyek wisata Danau Toba justru menyebabkan gangguan terhadap sistem masyarakat adat dan hubungannya dengan tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan. “Perampasan lahan adat juga memantik konflik sosial yang meluas,” ujar peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono.

Kakanwil BPN Kabupaten Toba, Saut S. Arjuna Bakkara

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat pembangunan infrastruktur pariwisata memang merupakan salah satu program Proyek Strategis Nasional yang kerap bermasalah. Lembaga ini sudah menerima aduan dari warga soal pembangunan infrastruktur Danau Toba. “Permasalahan pembangunan kawasan pariwisata dan infrastruktur pendukungnya diadukan oleh masyarakat di lokasi 10 Bali Baru, termasuk warga di sekitar Danau Toba,” demikian tercantum dalam laporan Komnas HAM mengenai konflik agraria yang muncul akibat pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Konflik itulah yang kini tengah mendera marga Butarbutar. Mereka terancam kehilangan mata pencarian. Meski berdomisili di Desa Sigapiton, Nurveni bersama anggota keluarga marga Butarbutar berladang di Desa Pardamean.

Sejumlah alat berat seperti buldoser sudah meratakan kebun mereka, Sabtu, 12 Desember lalu. Nurveni dan keluarganya menanam jagung, cabai, labu, dan kopi di lahan itu. Kini semua tanaman sudah rusak. “Padahal kehidupan kami bergantung dari situ,” tutur Nurveni.

•••

DESA Sigapiton berada di bawah lereng perbukitan yang berbatasan langsung dengan perairan sisi timur Danau Toba. Letaknya bersebelahan dengan Desa Pardamean Sibisa. Udara desa terasa sejuk saat pagi dan menjelang sore. Berjarak sekitar tujuh kilometer dari jalan lintas Sumatera, desa ini jarang menerima kunjungan wisatawan meski masih berada di kawasan Danau Toba.

Badan Otorita Pengelola Danau Toba membangun penginapan bernama The Kaldera Toba Nomadic Escape di sebelah Desa Sigapiton. Badan Otorita juga membangun penginapan berbentuk telur dinosaurus setinggi lima meter di sana pada 2017. Pemerintah berencana mempermak Desa Sigapiton menjadi pusat wisata modern di sekitar Danau Toba.

Namun warga desa menolak pembangunan fasilitas pariwisata tersebut sejak 2018. Penolakan ini dipicu ulah Badan Otorita yang menggusur makam leluhur mereka. Badan Pertanahan Nasional (BPN) memang sudah menerbitkan hak pengelolaan lahan (HPL) seluas 279 hektare kepada Badan Otorita. Masalahnya, sebanyak 120 hektare lahan beririsan dengan lahan yang dikuasai marga keturunan Raja Bius. Kawasan kebun warga desa dan makam para leluhur berada di lahan berstatus HPL yang dikeluarkan BPN.

Sejumlah warga desa sempat menggugat HPL itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Mereka menganggap BPN lalai saat menerbitkan hak itu kepada Badan Otorita. Ketika ditanyai soal ini, Kepala Kantor Wilayah BPN Kabupaten Toba Samosir Saut Simbolon menilai tak ada kekeliruan dalam penerbitan HPL tersebut. “Dokumen yang menjadi alas HPL berasal dari Kementerian Kehutanan,” ucap Saut.

Pelaksana tugas Direktur Badan Otorita Pengelola Danau Toba, Reza Pahlevi, tak banyak berkomentar soal gejolak di balik pembangunan kawasan wisata Danau Toba tersebut. Menurut dia, pemanfaatan secara ilegal dan perusakan lahan milik Badan Otorita merupakan tindakan yang melanggar hukum. Ia menyerahkan penyelesaian laporan itu kepada kepolisian “Kita percayakan saja prosesnya kepada aparat yang berwenang,” tutur Reza.

RIKY FERDIANTO, ARJUNA BAKKARA (TOBA SAMOSIR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus