SIANG itu 5 Maret 1981, perairan lepas Boulogne tampak damai.
Seperti biasa. Perahu-perahu layar, kapal tangki dan penangkap
ikan meluncur di laut yang tenang. Sama sekali tak ada pertanda
bahwa sebentar lagi akan terjadi 'perang' yang mendebarkan,
dengan senapan-senapan 12,7 dan 40 mm.
Duane Prancis dan Inggris sudah lama muak menguberuber para
penyelundup narkotika yang lalu-lalang di sini. Mereka merasa
dipermainkan -- padahal langkah langkah tegas sudah ditetapkan:
kalau perlu tembak di tempat.
Sementara itu, di kapal Sea Rover, Antonius Olijoek tersenyum
setelah menyimak cuaca. Lelaki Belanda 56 tahun ini puas dengan
profesi yang dipilihnya: penyelundup narkotika internasional.
Karirnya gemilang. Dengan kecepatan 12 knot, kapal tunda
sepanjang 50 meter dengan daya angkut 500 ton itu melaju menuju
Pas de Calais, dan Laut Utara.
Siapakah Antonius Olijoek? Bahkan pembantunya terpercaya, Ernst
Jowtra, yang kini memegang kemudi, tak mampu menjawab. Awak Sea
Rover tahu benar: mereka tak berhak bertanya.
Orang-orang itu sendiri adalah 'pasukan' yang terlatih dalam
dunia kekerasan: tiga orang Belanda, dua Maroko, seorang Inggris
dan seorang Kanada dari Montreal. Untuk menjamin anak buah ini
taat pada perintah, Olijoek didampingi sepucuk senjata otomatis
penuh peluru -- plus anak-anak panah yang biasa digunakan
berburu babi.
Lewat tengah hari ia naik ke anjungan. Dan memperhatikan
kapal-kapal yan berlayar di depan. Perairan ini memang sangat
sibuk: tak ada salahnya berjaga-jaga.
Di geladak Sea Rover, tiga perahu karet berjajar rapi penuh
muatan. Ditambah yang tersimpan di palka, kapal tunda ini
mengangkut seluruhnya 3 ton ganja. 48 jam mendatang Olijoek akan
menyerahkan muatan ke tangan kedua, dan berdasar pasaran
terakhir ia akan mendapat 54 juta frank.
Melalui tipu-muslihat, kesabaran, dan kerja keras, lelaki ini
memang telah berkembang menjadi salah seorang penyalur yang
barangkali terbesar di antara para agen narktika di Eropa.
Dengan jaringan koresponden dan klien terentang di seluruh
pelosok benua, ia mendirikan markas besar di Negeri Belanda --
tempat undang-undang narkotika sedikit longgar.
Perjalanan kali ini mengawali hubungan dagangnya dengan Inggris.
Esok malam, Olijoek akan menyerahkan lebih setengah ton ganja
kepada Stephen Appleby dan Wilfred Duffy, dua gembong sana. Dan
itu akan dilakukan di bagian utara muara Sungai Thames, di kapal
pesiar Duffy yang mewah. Rendezvous akan ditetapkan lewat radio
dengan bahasa sandi, dan olah-gerak kapal akan dituntun melalui
wolkie-talkie. Rapi. Sesuai dengan skenario yang sudah teruji
lewat pelbagai keadaan gawat.
Pukul 14.25 Sea Rover memasuki perairan Prancis. Biasanya
Olijoek tak pernah meninggalkan jalur internasional, yang secara
teoritis menjaminnya dari tuntutan hukum. Tapi karena limbah
minyak Amoco Cadiz mengganggu pelayaran antara Dover dan Calais,
ia terpaksa melangkahi kebiasaan ini.
Laut tenang. Hanya selapis kabut tipis menghalangi pemandangan.
Olijoek menoleh ke layar radar. Tak tampak sesuatu, kecuali
sebuah gema lemah di arah belakang.
Tapi tiba-tiba. Tiba-tiba Ernst Jowtra terlonjak bagai disengat
lipan. Ia menuding tiga noktah sekitar tiga mil di depan. "Apa
itu?" tanyanya bengong. "Aku tidak melihatnya lima menit yang
lalu. Tidak nampak di radar. Mereka menuju ke mari!"
Olijoek cepat mengerti. Terdengar pekiknya: "Belok kiri!
Kecepatan penuh! Kapal patroli Prancis!" Dilengkapi motor-motor
tempel berkekuatan 100 TK, Sea Rover melaju 40 knot. Dengan
mencapai laut terbuka beberapa mil di depan Olijoek masih punya
harapan besar meloloskan diri.
Tapi mereka belum selesai menikung -- ketika dari buritan
terdengar pekik para awak. Dua kapal patroli mendekat dengan
kecepatan tinggi. Mengatasi raungan mesin, terdengar perintah
Olijoek: "Buang muatan! Kita kepergok!"
Dari arah barat laut, dua kapal muncul di cakrawala. Olijoek
terpukau. Melalui teropong ia segera mengenali Challenger dan
Sercher, kapal-kapal pemburu tercepat Bea Cukai Inggris. Kini
penyelundup ulung itu mafhum: ia ditelikung beramai-ramai oleh
polisi dan duane Prancis, Inggris dan Belanda . . .
Syahdan. Di bawah nama sandi Genievre II, operasi ini
dipersiapkan sejak dua setengah bulan sebelumnya. Ratusan
petugas Inggris, Prancis dan Belanda menguntit Sea Rover dengan
seksama. Para penerbang, pelaut, dan duane yang menyamar sebagai
turis, melaporkan posisi Sea Rover secara tetap, di laut maupun
bandar. Kini, antara Dover dan Calais, pada salah satu jalur
pelayaran terpadat di dunia, pelacakan mendekati akhir.
Pukul 14.35, 5 Maret itu, bentuk Sea Rover masuk melalui
teropong Guy Soubelet, koordinator operasi pihak Prancis. Ia
berada di kapal DF-38 dengan motor berkekuatan 1800 TK. Ketika
melihat Sea Rover menikung ke laut bebas, Soubelet memberi
perintah mengejar. DF-38 melesat dengan kecepatan 30 knot. Tiga
kapal patroli lain muncul dari arah berbeda. Pada lambung kiri,
Challenger dan Searcher bagai dipacu.
Dan di markas besar COD (Pusat Operasi Bea Cukai) di Rouen,
perkembangan itu diikuti lewat radio. Maurice Valax, atasan
Soubelet, terus-menerus memindahkan tanda posisi di peta yang
memenuhi dinding. Tak ubahnya suasana perang laut. Ia secara
tetap berhubungan radio dengan sejawatnya dari pihak Inggris,
dan dengan Laksamana Couzart dari Cherbourg yang siap menurunkan
bantuan Angkatan Laut.
Pukul 14.45, jarak DF-38 dan Sea Rover tinggal 30 meter.
"Naikkan bendera S dan O!" perintah Soubelet di DF-38. Untuk
kapal yang dikejar, bendera ini merupakan perintah "segera
berhenti dan siap diperiksa duane."
Tapi Sea Rover melaju terus -- bahkan setelah peringatan
diulangi lewat pengeras suara, dalam bahasa Inggris dan Prancis.
Soubelet menghubungi markas besarnya.
Dan di Rouen Inspektur Valax segera memahami situasi. Kalau
dibiarkan, tak sampai lima belas menit Sea Rover sudah akan
meninggalkan perairan Prancis. Ia memberi perintah: "Naikkan
sinyal SQ." Ini berarti: "Segera berhenti, atau ditembak!"
Dengan takjub Soubelet menyaksikan Sea Rover tak menghiraukan
perintah itu. "Valax," lapornya geram, "bertindak. Haram jadah
itu tak mau berhenti."
Tembakan peringatan tak juga menghentikan Sea Rover. Kapal itu
bagai kesurupan. Soubelet menerima perintah terakhir dari markas
besar: "Gunakan senapan mesin. Hindari anjungan dan awak kapal."
Valax tak mau kehilangan mangsanya.
Peluru-peluru 12,7 sebesar jari mulai merobek lambung Sea Rover.
"Busyet! Kapal itu terus melaju," kutuk Soubelet.
Pukul 14.56, keadaan bertambah gawat. Sea Rover meninggalkan
perairan Prancis! Tapi Soubelet tak sudi menyerah.
Pukul 15.30 kapal liar itu berbelok -- ke barat, ke Lautan
Atlantik. Awaknya terus sibuk membuang muatan. Untuk ketiga
kalinya Soubelet menghubungi Valax. "Peluru 12,7 tampaknya tak
berpengaruh," serunya. "Kami minta bantuan Angkatan Laut."
Laksamana Crouat dihubungi. Pertuisane, sebuah escorter
berkecepatan tinggi, segera masuk arena.
Pada gebrakan pertama, peluru-peluru meriam 40 mm Pertuisane
membuka empat lubang di lambung Sea Rover. Awaknya menyuruk ke
dalam palka. Tapi di anjungan Kapten Antonius Olijoek berdiri
gagah perkasa, bagai nakhoda kapal perompak dengan bendera
compang-camping. Pelaut kawakan itu tak menyangka segalanya
berakhir begitu cepat.
Lalu menjelang senja, selesailah semua. Hanya gemertak api
terdengar dari Sea Rover. Seluruh lambung tengah kapal
berbendera Panama itu marak menyala. Sementara petugas-petugas
Inggris memadamkan api, polisi melucuti dan memasangkan borgol
ke tangan Olijoek dan anak buahnya. Lebih satu ton ganja dapat
disita. Mereka diangkut ke Newhaven.
Tak lama kemudian, polisi Prancis menahan sejumlah orang yang
dicuriai di Calais. Penangkapan-penangkapan segera terjadi di
Inggris dan Negeri Belanda.
Dan inilah laporan pengamatan berbulan-bulan. Tanggal 31 Januari
1981, Sea Rover meninggalkan Rotterdam. Tanggal 7 Februari kapal
itu kelihatan di Gibraltar, mundar-mandir tak kurang dari 20
hari. Rupanya muatan belum lagi siap.
Tanggal 27 Februari menaikkan muatan di luar pelabuhan Melilla,
Maroko. Dari sana kapal itu berangkat menuju Eropa.
Sebuah pesawat terbang Cessna T04 Titan, milik dinas bea cukai
Prancis, memergoki kapal itu di Teluk Gascogne. Secara kebetulan
penerbang Titan itu pernah mengenali Sea Rover sebelumnya.
"Operasi selanjutnya tinggal perkara gampang," tutur Valax di
markas besarnya di Rouen.
Di lain pihak, Olijoek terlalu takabur. Ia tak tahu kapal-kapal
patroli Prancis terbuat dari kayu, sehingga tak mungkin dilacak
radar -- dan di tiang agung masing-masingnya dipasang reflektor
untuk memudahkan kontrol radar dari markas besar. Selama operasi
Genievre II, reflektor itu dibuka. Itu sebabnya Olijoek tak
sadar sedang diikuti.
Kini, petugas-petugas Prancis dan Inggris tetap berjaga-jaga di
sekitar Cherbourg, Boulogne dan Newhaven. Mereka menanti mangsa
berikut. Mungkin mereka sudah tahu kapal yang harus ditangkap,
nakhoda dan awak yang harus diciduk, dan jenis narkotika yang
harus disita. Tinggal menantikan saat yang menentukan.
Aneh. Di penghujung abad lalu, Inggris membela perdagangan
candunya melalui sebuah perang di Asia. Dan kini sebuah perang
candu gaya lain dibangkitkan di Eropa. Dengan motif berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini