HIDUP di dua dunia umumnya memiliki konotasi tidak baik, ada
yang disembunyikan dari dunia yang satu terhadap dunia yang
lain. Bagaikan beristri lebih dari satu: kepada istri tua tidak
mau mengaku datang dari rumah istri kedua, begitu juga
sebaliknya.
Tetapi ternyata konotasi tidak baik bukan pada tempatnya
dilekatkan pada kehidupan dua dunianya ustaz Abdur Razak Khaidir
dari Tegalparang.
Orang Betawi memberi nama bermacam-macam kepada kaum agamawan
mereka. Yang masih belum sepenuhnya diterima sebagai kiai,
tetapi telah menunjukkan potensi kuat untuk itu, dinamai usta
(kalau ikut dialek Arab-Mesir). Yang telah mapan diberi nama
mu'allim. Sekarang datang gelar baru, yang diambil dari budaya
Jawa: kiai. Yang dari keturunan Arab dan dianggap masih
berhubungan darah dengan Nabi, dinamai habib, sayyid, syarif dan
seterusnya.
Tetapi kesemuanya itu masuk dalam kategori tinggi sebagai guru
kite. Istilah umum yang menunjukkan tingginya status sosial
mereka dalam masyarakat tradisional Betawi.
Ustaz Razak mengikuti pola umum pendidikan untuk menjadi
agamawan di wilayah Jakarta Selatan: mengaji Qur'an di langgar
pada seorang ustaz di waktu kecil, dilanjutkan belajar di sebuah
sekolah agama, untuk diakhiri dengan belajar di "tanah Arab".
Mula-mula sebagai 'mukimin' di Mekkah selama bertahun-tahun,
kemudian dilanjutkan juga di Mesir sampai pulang ke tanal air
di tahun 1967.
Sekembalinya dari menuntut 'ilmu' di rantau orang, ia kembali
mengikuti pola umum untuk menempatkan diri di barisan ulama
Betawi: membantu mengajar di madrasah untuk disambung dengan
memberikan pengajian di luar kepada rakyat awam, dan akhirnya
hanya sibuk dengan pengajian -- tanpa mampu lagi mengajar di
sekolah.
Pengajian di luar, di lingkungan majlis ta'lim yang tersebar di
seluruh kawasan tradisional kaum Betawi, mula-mula dilakukan
dengan susah payah. Keluar masuk perkampungan terpencil tanpa
jalan beraspal, berjalan kaki di jalan berlumpur yang tidak
dapat dimasuki kendaraan. Mengajarnya pun hanya kepada
kelompok-kelompok pengajian yang kecil.
Kemudian 'nasib'nya membaik Pengajian bertambah banyak, dan
tersebarnya pun pada masjid-masjid 'strategis'. Ditambah lagi
akhirnya menjadi dosen IKIP, sudah tentu di bidang keagamaan dan
sastra Arab.
Kini sudah keren idupnye, kalau meminjam istilah orang Betawi:
rumah cukup besar, mobil Corona tahun akhir-akhir, dan memiliki
'merk dagang' berbentuk jas putih dan serban yang juga berwarna
putih kalau berangkat ke pengajian. Acara sudah padat,
tenggorokan sudah sering tidak mampu melayani kehendak orang
banyak. Statusnya sudah diterima di kalangan ulama lain.
Walhasil, gambaran konvensional dari pemunculan seorang guru
kite yang masih muda.
Tetapi ternyata ada unsur lain yang membuatnya tidak
konvensional. Kalau calon-calon mu'allim lain masih ribut dengan
masalah konvensional, seperti urusan judi, menentang rambut
gondrong, ribut mempertahankan status quo suasana moral lama,
maka ustaz yang juga guru kite ini justru membawakan
pesan-pesan yang memandang jauh ke depan.
Ia mempersoalkan beberapa masalah yang sebenarnya cukup
mendasar, dan disampaikannya dengan gaya orang Betawi pula --
gaya santai yang khas dan penuh ilustrasi kejadian sehari-hari
yang diseling dengan rangkaian 'dalil' berupa ayat Qur'an,
hadith Nabi dan mutiara hikmah dari para ulama terdahulu.
Pendapat sendiri dikemukakan hanya sebagai tambahan atas
pendapat ulama kuno -- sama sekali tidak menyanggah atau
menyangkal. Tidak heranlah jika sedikit sekali terjadi penolakan
atau kehebohan di sekitar pernyataannya.
Misalnya perkara naik haji. Syarat cukupnya kemampuan ekonomis
sebelum memutuskan pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji
dikaitkannya dengan hikayat ahli hadith Abdullah ibnu Mubarak.
Sebagai ketua rombongan kafilah haji dari negerinya, Abdullah
ibnu Mubarak menjumpai wanita melarat yang menyuapi anaknya
dengan daging bangkai. Ketika ditanya apakah tidak mengerti
haram hukumnya memakan bangkai wanita itu menjawab bahwa ia
mengerti, tetapi ia terpaksa. Tidak ada makanan lain.
Sang ahli hadith lalu memerintahkan seluruh rombongan untuk
membatalkan perjalanan haji, menyerahkan perbekalan kepada
wanita itu, dan kembali pulang. Tidak wajib haji, katanya,
selagi masih ada yang melarat. Ucapan ahli hadith itu dikiaskan
oleh ustaz kita ini kepada lebih wajibnya memelihara lembaga
pendidikan (yang akan menghilangkan kemelaratan) daripada
kewajiban berhaji dua kali dan seterusnya.
Dunia ini persiapan untuk kehidupan akhirat kelak, kata sang
ustaz sewaktu mengaji di Ciganjur. Kehidupan akhirat sangat
tergantung dari kualitas hidup di dunia: kalau bodoh, melarat
dan terkebelakang, tidak banyak yang dapat diperbuat di dunia
ini untuk kepentingan kehidupan aknirat kelak. Kalau tidak kuat
ekonominya, tidak mungkin pergi menunaikan ibadah haji, padahal
ibadah haji adalah persiapan lebih sempurna lagi untuk kehidupan
akhirat itu. Kehidupan bahagia di akhirat berkaitan erat dengan
kebahagiaan hidup di dunia pula, karena kehidupan dunia adalah
bagian dari kehidupan akhirat.
Menarik sekali untuk dikaji lebih jauh pandangan seperti ini:
membedakan hidup di dunia dari hidup di akhirat, tetapi
meletakkan keduanya dalam jalur dan kadar yang sama. Ada
persambungan antara keduanya, kata sang ustaz. Kesinambungan,
kata favoritnya. Kontinuitas, kata kamus antropologi. Walhasil,
'manunggalnya' dunia dan akhirat.
Bukankah cukup baik untuk hidup di dunia seperti yang dilakukan
ustaz Razak ini, bukan? Mengapakah kita masih berkeras juga
untuk terlalu memisahkan antara keduanya? Mengapa harus
dipertentangkan, padahal saling melengkapi? Mengapa takut
dituduh Calvinist, kalau semuanya bersumber dari ajaran agama
sendiri?
Ustaz Razak, seumur hidupnya mungkin belum pernah mendengar nama
Calvin, dan sepanjang umurnya hanya mengurusi pandangan orang
Islam saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini