KEBEBASAN pers di Indonesia pernah dipuji dunia internasional.
"Itu dulu, pada awal pemerintahan Orde Baru," kata Mochtar
Lubis, pemimpin redaksi almarhum harian Indonesia Raya. Sekitar
1966-1968, kebebasan itu terasa -- dibanding kehidupan pers di
zaman Orde Lama sebelumnya. Koran yang terkenal berani itu
pernah diberangus Presiden Soekarno, kemudian terbit ketika
kekuasaan Soekarno berakhir, dibreidel kembali (1974) karena
memberitakan Peristiwa 15 Januari. Dan sampai sekarang tidak
terbit lagi.
Keterbatasan menulis di zaman Soekarno cukup "dinikmati"
Mochtar: ia sempat mendekam beberapa tahun dalam tahanan di
Jakarta dan Madiun. "Pada saat itulah saya merasakan perjuangan
sebagai wartawan," katanya lagi. Penahanan Mochtar itu
mengundang protes International Press Institute (IPI). Wartawan
kawakan tersebut memang anggota lembaga internasional yang
program utamanya memperjuangkan kebebasan pers.
Rabu lalu, awal bulan ini, Ketua IPI Max Snijders yang juga
menjadi pemimpin redaksi Utrechts Nieuwsblad (Belanda)
berkunjung ke mari. Ia mengimbau para pemimpin redaksi di sini
menjadi anggota IPI. Menurut Mochtar, saat ini agak sulit
menjadi anggota IPI. "Sebab harus berani memperjuangkan
kebebasan pers di seluruh dunia, padahal, ruang Yerak pers kita
di sini terlalu sempit," tambah Mochtar yang kini suka menulis,
melukis, dan berkebun di Puncak.
IPI berdiri pada 1951, kini beranggotakan 2.000 orang yang
mewakili 64 negara -- terutama negara-negara di luar kubu
sosialis yang menghormati kebebasan pers. Sekretariatnya di
Zurich dan London. Indonesia pernah hadir dalam kongres pertama
(1952) di Paris. Beberapa wartawan yang pernah menjadi
anggotanya, selain Mochtar Lubis, ialah Rosihan Anwar (ketika
itu pemimpin redaksi Pedoman), S. Tasrif (ketika itu pemimpin
redaksi Abad, Asa Bafagih dan Moh. Nahar (LKBN Antara). Rosihan
akhirnya dipecat dari keanggotaan karena menerima Manifesto
Politik, yang dianggap mengabaikan kebebasan pers, di masa
pemerintahan demokrasi terpimpinnya Soekarno.
Lain di mata Mochtar, berbeda pula dari pandangan D.H. Assegaff.
Pemimpin redaksi Suara Karya ini merasa tidak surit menjadi
anggota IPI. "Kalau Korea Selatan, yang kehidupan persnya cukup
ketat bisa menjadi anggota, kenapa kita yang cukup longgar
tidak bisa?" kata Assegaff, yang juga sekretaris jenderal PWI
Pusat itu. "Cuma harus diingat, kalau kita jadi anggota IPI,
kadang-kadang bisa konflik dengan pemerintah. Karena itu
diperlukan keberanian, tambahnya.
Meski begitu Assegaff, yang pernah menjadi anak buah Mochtar di
Indonesia Raya, mulai mempertimbangkan menjadi anggota IPI.
Demikian pula Jakob Oetama, pemimpin redaksi Kompas -- menurut
Assegaff. Sebab selain IPI bisa membantu diplomasi Indonesia di
dunia internasional, dengan menjadi anggota kita dapat
memanfaatkan seminar dan latihan-latihan jurnalistik untuk
meningkatkan kemampuan wartawan.
Tahun depan Assegaff akan hadir dalam konperensi IPI di
Stockholm -- hanya sebagai peninjau. Di sana akan dijajakinya
sejauh mana ia cocok dan bisa menjadi anggota. Dalam
pertemuannya dengan Max Snijders di Jakarta dua minggu lalu,
rupanya Assegaff menjelaskan makna "kebebasan yang bertanggung
jawab," yang dianut pers Indonesia saat ini. "Kehidupan pers di
negara satu dengan lainnya kan berbeda. Bahkan di antara negara
Barat sendiri, Belanda dan Inggris, misalnya, ada perbedaan.
Apalagi negara berkembang seperti Indonesia," ujarnya.
Memang tidak mudah bagi wartawan dari negara-negara berkembang
menjadi anggota IPI. Bukan karena lembaga itu tertutup,
melainkan tradisinya yang berbeda: pers Barat didukung oleh
parlemen dan peradilan yang bebas. Sedangkan pers di negara
berkembang harus mengembangkan sendiri peranannya sesuai dengan
tradisi "kebebasan pers" di negeri masing-masing. Dan IPI?
Cukuplah sebagai pengetuk pintu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini