Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Si pengetuk pintu dari barat

Lembaga pers internasional, didirikan pada tahun 1951, memperjuangkan kebebasan pers. negara berkembang seperti indonesia sulit menjadi anggota, bisa konflik dengan penguasa.(md)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBEBASAN pers di Indonesia pernah dipuji dunia internasional. "Itu dulu, pada awal pemerintahan Orde Baru," kata Mochtar Lubis, pemimpin redaksi almarhum harian Indonesia Raya. Sekitar 1966-1968, kebebasan itu terasa -- dibanding kehidupan pers di zaman Orde Lama sebelumnya. Koran yang terkenal berani itu pernah diberangus Presiden Soekarno, kemudian terbit ketika kekuasaan Soekarno berakhir, dibreidel kembali (1974) karena memberitakan Peristiwa 15 Januari. Dan sampai sekarang tidak terbit lagi. Keterbatasan menulis di zaman Soekarno cukup "dinikmati" Mochtar: ia sempat mendekam beberapa tahun dalam tahanan di Jakarta dan Madiun. "Pada saat itulah saya merasakan perjuangan sebagai wartawan," katanya lagi. Penahanan Mochtar itu mengundang protes International Press Institute (IPI). Wartawan kawakan tersebut memang anggota lembaga internasional yang program utamanya memperjuangkan kebebasan pers. Rabu lalu, awal bulan ini, Ketua IPI Max Snijders yang juga menjadi pemimpin redaksi Utrechts Nieuwsblad (Belanda) berkunjung ke mari. Ia mengimbau para pemimpin redaksi di sini menjadi anggota IPI. Menurut Mochtar, saat ini agak sulit menjadi anggota IPI. "Sebab harus berani memperjuangkan kebebasan pers di seluruh dunia, padahal, ruang Yerak pers kita di sini terlalu sempit," tambah Mochtar yang kini suka menulis, melukis, dan berkebun di Puncak. IPI berdiri pada 1951, kini beranggotakan 2.000 orang yang mewakili 64 negara -- terutama negara-negara di luar kubu sosialis yang menghormati kebebasan pers. Sekretariatnya di Zurich dan London. Indonesia pernah hadir dalam kongres pertama (1952) di Paris. Beberapa wartawan yang pernah menjadi anggotanya, selain Mochtar Lubis, ialah Rosihan Anwar (ketika itu pemimpin redaksi Pedoman), S. Tasrif (ketika itu pemimpin redaksi Abad, Asa Bafagih dan Moh. Nahar (LKBN Antara). Rosihan akhirnya dipecat dari keanggotaan karena menerima Manifesto Politik, yang dianggap mengabaikan kebebasan pers, di masa pemerintahan demokrasi terpimpinnya Soekarno. Lain di mata Mochtar, berbeda pula dari pandangan D.H. Assegaff. Pemimpin redaksi Suara Karya ini merasa tidak surit menjadi anggota IPI. "Kalau Korea Selatan, yang kehidupan persnya cukup ketat bisa menjadi anggota, kenapa kita yang cukup longgar tidak bisa?" kata Assegaff, yang juga sekretaris jenderal PWI Pusat itu. "Cuma harus diingat, kalau kita jadi anggota IPI, kadang-kadang bisa konflik dengan pemerintah. Karena itu diperlukan keberanian, tambahnya. Meski begitu Assegaff, yang pernah menjadi anak buah Mochtar di Indonesia Raya, mulai mempertimbangkan menjadi anggota IPI. Demikian pula Jakob Oetama, pemimpin redaksi Kompas -- menurut Assegaff. Sebab selain IPI bisa membantu diplomasi Indonesia di dunia internasional, dengan menjadi anggota kita dapat memanfaatkan seminar dan latihan-latihan jurnalistik untuk meningkatkan kemampuan wartawan. Tahun depan Assegaff akan hadir dalam konperensi IPI di Stockholm -- hanya sebagai peninjau. Di sana akan dijajakinya sejauh mana ia cocok dan bisa menjadi anggota. Dalam pertemuannya dengan Max Snijders di Jakarta dua minggu lalu, rupanya Assegaff menjelaskan makna "kebebasan yang bertanggung jawab," yang dianut pers Indonesia saat ini. "Kehidupan pers di negara satu dengan lainnya kan berbeda. Bahkan di antara negara Barat sendiri, Belanda dan Inggris, misalnya, ada perbedaan. Apalagi negara berkembang seperti Indonesia," ujarnya. Memang tidak mudah bagi wartawan dari negara-negara berkembang menjadi anggota IPI. Bukan karena lembaga itu tertutup, melainkan tradisinya yang berbeda: pers Barat didukung oleh parlemen dan peradilan yang bebas. Sedangkan pers di negara berkembang harus mengembangkan sendiri peranannya sesuai dengan tradisi "kebebasan pers" di negeri masing-masing. Dan IPI? Cukuplah sebagai pengetuk pintu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus