TOKYO, awal Oktober 1986. Tiga belas pemuda -- Jepang, tentu saja berusia 20-an tahun berkumpul di suatu ladang di tepi Sungai Arakawa, Provinsi Saitama, utara ibu kota tersebut. Tempat itu persis berada di belakang sebuah taman bernama Sakuraso. Itulah taman rekreasi yang banyak dikunjungi mereka yang menikmati hari libur bersama keluarga. Beberapa muda-mudi asyik berkencan. Sebuah suasana yang damai dan penuh kebahagiaan. Tak begitu halnya dengan ladang itu, yang sungguh sangat berbeda suasananya. Lihat saja, ladang seluas beberapa hektar itu tertutup rumput liar hijau dan kuning setinggi sampai tiga meter. Di atas hamparan rumput itu, melintang dengan angkuh jembatan kereta api jalur Musashinosen. Sebuah suasana yang memang kontras dengan taman yang damai. Ladang ini terasa liar, menyembunyikan sesuatu yang berbahaya -- bahkan jalan setapak pun tak bisa ditemukan di ladang ini. Cuma denging nyamuk satu-satunya tanda bahwa tempat itu pun mengandung kehidupan. Dan sesekali, denging itu lenyap digantikan suara gemuruh kereta api lewat, yang acuh tak acuh melintas di atas rerumputan. Tiba-tiba, 13 remaja yang berkumpul tadi melepaskan pakaian masing-masing. Mereka berganti baju dan celana, yang ternyata seragam militer. Tak cuma itu. Sepatu pun ditukar dengan sepatu militer yang keras, lalu di kepala masing-masing dipasang topi dan helm loreng. Tepat, itulah seragam tentara komando. Lalu, mereka memakai goggle (kaca mata antidebu). Sesudah itu, dari tas besar masing-masing, mereka mengeluarkan, ya, apalagi bila bukan senapan mesin jenis kg-9 buatan Amerika Serikat, ada pula yang mencabut mini uzi bikinan Israel, atau beretta m-93r dari Italia. Maka, dalam beberapa menit, ke-13 remaja itu berubah sosoknya menjadi satuan tentara komando siap tempur. Bencana apa yang segera terjadi? Perang Dunia III sedang dipersiapkan? Atau sekelompok teroris tengah menyiapkan sebuah aksi? Tapi, maaf, meski itu berlangsung di sebuah ladang yang tak nyaman, sesungguhnya, yang terlihat itu bukanlah serdadu-serdadu yang siap mati. Mereka bukan anggota Tentara Merah, teroris yang rela mengorbankan jiwa demi keyakinan yang bersarang di kepala. Mereka juga bukan tentara Jieitai (Pasukan Bela Diri Jepang). Melihat nama kelompok itu, orang pun lantas mafhum, ini sekelompok gang remaja yang sedang menyiapkan sebuah acara. Coba baca, BBKB, yang kepanjangannya berbunyi BB Kid Brothers. Nama lain terbaca: Bonanza. Tapi mengapa mereka mengubah diri dengan berpakaian mirip serdadu komando lengkap dengan senjatanya? Inilah sebuah permainan, sekali lagi, permainan. Mulai muncul di Jepang kira-kira tiga tahun lalu. Apa latar belakang permainan ini hingga digemari oleh remaja Jepang? Kurang jelas. Masyarakat Jepang sendiri cuma menduga-duga. Kurangnya tantangan bagi generasi muda, di luar sekolah dan rumah, menyebabkan lahirnya permainan ini? Yang lain bilang, kebencian generasi muda terhadap perang mendorong mereka mengejek perang betulan dengan perang main-main. Yang lebih terdengar serius adalah dugaan: Jangan-jangan ini merupakan gejala bangkitnya kembali militerisme Jepang. Para remaja itu datang dari Kota Tokyo, sekitar setengah jam perjalanan dengan mobil pribadi. Sebagian datang dengan kereta api. Dua kelompok itu sebenarnya belum lama berkenalan. Hari itu, secara kebetulan, ada beberapa anggota BB Kid Brothers dan Bonanza bertemu. Lalu, mereka sepakat "menggali kapak peperangan". Bila pada hari itu juga kedua kelompok berada di tepi Sungai Arakawa di ladang liar itu, memang itulah tempat yang oleh kaum muda disepakati sebagai medannya Survival Game, permainan untuk tetap hidup. Permainan untuk tetap hidup? Pada dasarnya, ini sebuah permainan kuno, main perang-perangan, yang biasa dilakukan anak-anak di mana pun. Bedanya, yang lagi mode di Jepang itu dilengkapi dengan kostum dan peralatan canggih. Harap dicatat, meski begitu, tetap saja senjata-senjata itu bukan senjata betulan. "Siap?" teriak Kaoru Wachi, komandan BB Kid Brothers. "Sudah," jawab Mutsuo Sakuma, wakilnya. Hari itu BB Kid Brothers menurunkan enam anggotanya untuk pertempuran di tepi sungai ini. Gang ini sendiri kini beranggotakan 30 orang. Si komandan sebenarnya susah dibilang anak muda lagi. Dia mengaku sudah 37 tahun. Sementara itu, pihak musuh, Bonanza, maju dengan tujuh serdadu. Setelah tercapai persetujuan, kedua pihak memilih tempat. BB Kid Brothers menuju bawah jembatan kereta api sebagai markasnya. Sedangkan Bonanza mengambil kedudukan sekitar 100 meter dari tempat lawan berada. Dan dimulailah pertempuran itu. Komandan Wachi, yang bajunya bertanda pangkat, memerintahkan anak buahnya menyebar, memilih posisi tersembunyi. Begitu pula komandan Bonanza. "Piiii...," terdengar seruling ditiup, dan itulah isyarat pertempuran bisa dilaksanakan. "Maju, anak-anak!" perintah Komandan Wachi. Kelima pasukan BB Kid Brothers pun lalu merangkak, melewati rumput-rumput tinggi, menuju sasaran. Tiba-tiba, "Push . . . push . . . push." Rupanya, tentara Bonanza melihat gerakan musuh, lalu melepaskan tembakan. Eh, ya, bunyi tembakan senjata-senjata itu memang begitu, bukannya "dor". Sebab, peluru-pelurunya bukan timah atau tembaga, melainkan plastik. Namanya juga permainan. "Push . . . push." BB Kid Brothers membalas. Tiba-tiba, di pihak BB Kid Brothers terdengar teriakan. "Mati, saya kena. Mati." Itulah Hiroshi Tsunoda, siswa sebuah SMA di Tokyo, berusia 15 tahun. Serdadu BB Kid termuda ini lalu bangkit berdiri, mengangkat kedua tangan. Demikianlah aturan yang mesti dijalankan, bila kena tembak. Perang di ladang liar itu berlangsung seru, selama sekitar setengah jam. Menyusul kena tembak di pihak BB Kid dua serdadu lagi. Sementara pihak Bonanza menderita korban lebih besar. Bahkan pada akhirnya, ketujuh serdadu Bonanza tewas. "Piii ...." Perang pun usai. Tak ada darah, tak ada mayat, tak ada bangunan roboh. Kawan dan lawan kembali berkumpul, dengan wajah berkeringat dan berseri-seri. Lalu, wajah remaja kembali muncul di situ. Mereka tertawa-tawa, minum bir, atau minuman yang lain. Lalu, saling mengejek, saling membicarakan strategi menembak, siasat bersembunyi. Mereka yang "gugur" pun berceloteh, ramai. Kurang begini, kurang begitu, "Lu, kurang cepat sembunyi, sih," -- mirip sebuah grup teater membicarakan kelemahan lawan bermain dan diri sendiri, sehabis latihan. Benar, para remaja itu memang menikmati perang palsu yang baru saja mereka lakukan. "Survival Game diciptakan di California, Amerika Serikat kira-kira tiga tahun lalu," tutur Kaoru Wachi. Komandan BB Kid ini sehari-hari adalah wartawan bebas, yang mengkhususkan diri pada soal-soal persenjataan. Dia termasuk salah seorang pelopor permainan ini. Kini, katanya, di Jepang bertebaran sekitar 1.000 gang Survival Game. Dua tahun lalu, "baru sekitar 100," katanya. Dari 1.000 gang itu, total lebih dari 7.000 anggota. Besar kecil anggota memang tidak tentu. Gang terkecil, menurut Wachi, beranggotakan hanya 3 orang. Tapi gang Wolf di daerah Kinshicho, Tokyo, kini punya 200 anggota. "Tapi itu cuma dugaan, karena memang tak ada daftar resmi," kata Wachi. "Saya kira, jumlah gang dan anggota, kini lebih dari yang saya sebutkan tadi." Survival Game di Jepang memang tak seratus persen mirip yang di Amerika Serikat -- setidaknya yang dalam film Gotcha, yang sudah beredar di Indonesia. Gang-gang permainan di AS tak harus menentukan suatu tempat untuk perang. Mereka bisa saja menentukan perang di seluruh kota, kapan saja. Dua gang tinggal mengumumkan masa menggali kapak peperangan itu pada tanggal tertentu. Maka, mulai hari perang dinyatakan meletus, seluruh anggota terlibat. Semua anggota lalu ke mana pergi selalu membawa senjata -- dan untuk praktisnya jenis Survival Game yang begini hanya menggunakan pistol. Maka, dua gang akan berlaku bagaikan gerilya kota. Mereka akan mencegat lawannya di mana saja: di pintu gerbang sekolah, di tempat tunggu stasiun kereta api, di balik monumen kota. Bila di Jepang permainan ini cepat berkembang, itu ada kaitannya dengan dilarangnya penjualan bebas senjata-senjata mainan, mulai 1977. Senjata-senjata mainan itu, kebanyakan pistol, dibuat sangat mirip dengan aslinya, bahkan bahannya pun logam. Karena itu, pistol mainan ini bisa dimanfaatkan oleh penjahat atau anggota mafia Jepang, Yakuza, untuk melakukan kejahatan. Peraturan 1977 sebenarnya tak melarang sama sekali bentuk dan bahan senjata mainan itu. Yang kemudian dilarang adalah warnanya. Pistol mainan tak boleh dicat hitam, hingga mirip pistol betulan. Pistol pura-pura itu harus dicat putih, atau kuning. Nah, mana menarik lagi bagi anak-anak muda bila demikian? Benar saja, senjata mainan akhirnya tidak laku. Ganti senjata mainan dari plastik dengan peluru plastik, yang menggunakan tenaga angin, yang laris. O, ya, senjata mainan yang dari besi itu, sebenarnya, tak bisa menembakkan apa pun, meski bentuk dan warnanya sangat mirip yang asli. Soalnya, yang dari besi, mulut larasnya ditutup. Wachi punya data perdagangan senjata mainan itu. "Selama 30 tahun," katanya, "senjata mainan yang dari besi laku sekitar 30 juta pucuk. Tapi yang plastik, hanya dalam waktu 10 tahun terakhir ini, sudah mencapai penjualan sebesar itu. Dan sebagian besar dibeli orang dalam tiga tahun terakhir ini, yaitu ketika Survival Game mulai diperkenalkan." Dari terjualnya senjata itulah, Wachi, seperti telah dikatakannya, yakin, sebenarnya, jumlah gang beserta anggotanya pasti lebih dari yang diduganya -- meskipun tak jarang pula seorang serdadu Survival Game punya dua atau tiga senjata sekaligus. Bagi remaja-remaja kota yang hidupnya kecukupan, mungkin Survival Game ini memang tak mahal. Harga senjata antara 1.500 yen dan 4.000 yen (sekitar Rp 15.000 sampai Rp 40.000). Itu yang paling laris. Dan hitung saja bila pukul rata senjata mainan itu dihargai 2.000 yen, 30 juta orang seluruhnya telah membelanjakan 60 milyar yen, atau Rp 600 milyar. Angka yang cukup besar untuk industri barang mainan. Apalagi kelas senjata mahal pun ada yang mencapai harga 15.000 yen sebuah. Itu belum lagi pelurunya. Menurut Wachi pula, pukul rata 150 juta peluru habis terjual dalam sebulan. Bila per 100 peluru harganya 175 yen, berarti 270 juta yen sebulan dibelanjakan para remaja itu untuk main tembak-tembakan. Masih ada lagi biaya yang perlu dikeluarkan untuk perang-perangan ini, yakni yang disebut gas fron-12. Inilah "bahan bakar" senjata-senjata plastik itu, agar bisa melemparkan peluru sejauh 30 meter, dengan kecepatan 70 meter per detik -- kira-kira separuh kecepatan peluru senapan angin. Adapun kekuatan tembus peluru plastik itu, tutur Wachi, dalam jarak 40 cm, 10 lapis kertas koran bisa ditembus. Pernah, kata Wachi, sebiji gigi seorang serdadunya copot kena tembak dalam jarak 5 meter. Tak dijelaskan apakah gigi itu masih kukuh atau kebetulan sudah goyah, umpamanya. Kini, majalah macam Gun dan Combat Magazine kadang-kadang memuat pula karakterisasi senjata-senjata mainan itu. Yang pasti, majalah beroplah 100.000 itu selalu memuat iklan-iklan senjata plastik untuk perang palsu. Dan senapan atau pistol-pistolan itu tak cuma dijual di toko mainan. Kini, toko senjata api untuk berburu pun menjualnya. Menurut dugaan, sekitar 70% serdadu Permainan Bertahan Hidup ini remaja berusia 12-18 tahun. Di antara mereka sedikit sekali yang cewek -- perang, dari zaman dulu, memang lebih menjadi urusan lelaki. Seorang remaja membutuhkan sekitar 30.000 yen untuk memiliki pelengkapan permainan ini. Tapi itu yang ala kadarnya, artinya cukup punya satu pistol, satu seragam, satu sepatu lengkap dengan topi dan helmnya. Sebab, ada juga seperti Mutsuo Sakuma, karyawan perusahaan makanan, yang berusia 23 tahun, yang tak cuma memiliki ala kadarnya. Lelaki ini sampai menyisihkan 500.000 yen simpanannya untuk mengoleksi delapan senapan mainan dan 13 jenis helm militer. "Ikut main Survival Game," kata dia, "bisa menghilangkan stes." Dan jangan mengira bahwa si Sakuma ini masih bujangan. Sungguh mati, istrinya itu sebenarnya tak suka tingkah suaminya yang ketentara-tentaraan. Bila Wachi, komandan BB Kid Brothers tadi, boleh dipercaya, sebenarnya, gaya ketentara-tentaraan para remaja Jepang itu punya sasaran terbalik. Mereka, tutur Wachi yang wartawan itu, sebenarnya tak suka bidang kemiliteran. Penjelasannya begini. "Remaja itu hanya tahu perang lewat televisi atau film. Mula-mula, mereka merasa terlibat perang itu gagah. Tapi begitu mereka ikut Survival Game, tahulah bagaimana takutnya bila kena tembak. Akhirnya, mereka membenci perang," kata Wachi. Yang tak di jelaskan, Mengapa munculnya kebencian lalu dibarengi makin demennya mereka pada perang-perangan dengan senjata plastik? Perang plastik mungkin tak secara langsung memancing perang beneran. Akan tetapi, adanya senjata mainan yang canggih, bukan tak mungkin mendorong timbulnya bentuk kekerasan yang bukan main-main. Dan itulah yang kini dikhawatirkan oleh Keisatsucho, badan kepolisian nasional Jepang. "Kami kini memperhatikan betul-betul permainan perang-perangan oleh para remaja itu," kata Okabayashi, anggota Keisatsucho khusus bagian remaja, kepada TEMPO. Belakangan ini memang sering dilaporkan kejahatan remaja dengan menggunakan senjata plastik itu. April lalu, di Provinsi Hyogo, seorang anak perempuan murid SD mengomeli temannya, seorang anak laki-laki. Yang diomeli tiba-tiba marah dan mengambil senapan plastiknya, lalu menembak temannya dalam jarak hanya sekitar 5 meter. Celaka, peluru bersarang di mata kanan si gadis kecil. Sebulan korban itu mondok di rumah sakit. Untung, mata kanannya bisa sembuh seperti sediakala. Lalu, bulan berikutnya, seorang cowok SMP mencuri perhiasan seharga 500.000 yen dengan senapan plastiknya. Caranya, di suatu malam ia menembak kaca pintu sebuah rumah. Kaca itu berantakan, lalu remaja itu masuk ke dalam, mengambil perhiasan pemiliknya. Itu belum lagi bila ada yang iseng. Agustus, dua gang Permainan Bertahan Hidup habis menyelesaikan sebuah pertempuran. Eh, ketika mereka lagi asyik membicarakan perang yang baru saja usai, lewatlah kereta api. Mungkin tangan masih gatal dan kebetulan ada tersisa peluru, dua gang lalu berperang melawan kuda besi itu, "Push ... push ... push ...." Tak ada peluru nyasar mengenai penumpang, karena kaca kereta api cukup tebal. Toh, para serdadu palsu itu akhirnya berurusan dengan polisi yang bukan palsu. Yang agak mengkhawatirkan, bila kejadian di Osaka 13 Oktober lalu jadi model bagi para remaja. Di sebuah perkemahan para buruh di dekat Kuil Shitenno, beberapa remaja datang dan mengganggu para buruh yang lagi tidur. Dari jarak sekitar 10 meter, dua buruh tua ditembak mukanya oleh remaja-remaja itu dengan senapan plastik. Tak sampai cedera berat, toh, dua lelaki tua itu harus sedikit dirawat. Yang parah, buruh ketiga yang diserang, yang berusia 60-an tahun. Soalnya, serdadu-serdadu remaja itu menembaknya dalam jarak hanya setengah meter. Sepuluh peluru menancap di wajahnya, bahkan ada yang menembus kulit pipi. Tak jelas hukuman apa yang dijatuhkan kepada para tentara bersenjata plastik itu. Tindakan para remaja itu, sampai hari ini, memang menimbulkan tanda tanya. Sudah sejak tiga tahun lalu ada kecenderungan remaja Jepang menyerang buruh dan gelandangan. Dikabarkan -- waktu itu, senjata plastik belum digemari benar -- seorang gelandangan sampai tewas dipukuli para remaja. Dengan adanya senjata plastik yang tampaknya kualitasnya makin baik, pantas bila Keisatsucho mencemaskan sepak terjang para remaja. Bayangkan saja, kata Wachi, kekuatan senjata plastik yang baik bisa menembus sepuluh lembar kertas koran dari jarak tembak 40 cm. Senjata yang dipakai di Osaka, kata polisi, telah mampu menembus lima lapis kertas koran dari jarak 3 meter. Yang kini jadi pertanyaan: Apakah ini lebih merupakan masalah yang harus diamati oleh hanya Keisatsucho, para polisi Jepang itu? Atau memang ada hal-hal yang sedang terjadi dalam generasi muda Jepang, yang bisa memberikan pengaruh dalam dunia internasional? Misalnya, ya, itu tadi, bangkitnya militerisme Jepang. Wachi memang menolak anggapan terakhir ini, dan justru mengatakan, mereka yang gemar Permainan Bertahan Hidup membenciperang. Tapi Wachi tentulah tak mewakili 8.000, mungkin lebih, remaja penggemar perang palsu ini. Bila permainan ini berkembang berbeda di AS dan Jepang, tampaknya, karena latar belakang sejarah dan kemudian perkembangan masalah sosial di kedua negara itu memang berbeda. Tak ada sebuah negara di dunia yang mirip Jepang: boleh dikata remuk redam sehabis dibom atom, lalu pelan tapi pasti bangkit membangun. Profesor Yamazaki Masakazu -- yang pernah mengajar di Universitas Kansai dan Universitas Osaka menulis di majalah lapan Echo nomor pertama 1984 bahwa, periode 1960-an dan awal 1970-an, Jepang mencetak satu masa yang disebutnya "zaman perubahan dramatik." Di masa itulah, katanya, orang Jepang tahu benar apa yang mereka butuhkan dan bagaimana cara mencapai citia-cita itu. Dari masalah ekonomi, hubungan luar negeri, sikap terhadap tradisi, sampai modernisasi. Boleh dikata, itulah saat tujuan hidup orang seorang lebih kurang identik dengan tujuan negara. Dan kemudian, dalam dekade berikutnya, kemakmuran pun makin nyata dan merata. Cita-cita besar, yakni cita-cita bersama sebagai bangsa, sedikit demi sedikit tak lagi dianggap penting -- toh, semuanya sudah terwujud, atau pasti segera terwujud. Bangsa pun jadi, katakanlah, lengah. Begitu garis pemisah antara cita-cita pribadi dan tujuan bangsa menegas, ternyata, pengaruhnya cukup besar. Muncullah gejala-gejala "Motivasi kerja melemah, unit-unit kecil yang bernama keluarga banyak yang berantakan, dan ada semacam ketidakacuhan sosial terhadap generasi muda," tulis Masakazu. Di zaman seperti itulah generasi Survival Game ini lahir. Zaman dengan sukses produksi yang besar. Tapi produktivitas dan semangat konsumerisme, kata Masakazu pula, adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Maka, anak-anak yang baru lahir itu dibesarkan dalam zaman serba gampang. Semua yang mereka perlukan telah tersedia. Sebaliknya, dalam dunia pendidikan, persaingan dan tuntutan semakin tinggi. Akibat kelonggaran di satu segi dan penekanan di segi lain itulah, di awal 1980-an, lahir generasi Jepang yang santai, yang siap mengonsumsikan produk pembangunan yang meruah, dengan hati dan kepala yang ringan. Sebagian generasi yang lain, yang mungkin lebih serius, lalu mencari-cari bagaimana mengisi waktu senggang dengan lebih bermutu. Bila analisa Profesor Masakazu ditarik lebih jauh, tampaknya, generasi Survival Game adalah generasi yang mencoba mengisi waktu luang dengan serius itu. Pendekatan ini mungkin lebih cocok daripada melihat main perang-perangan ini sebagai tanda bangkitnya militerisme Jepang. Bukankah Wachi sendiri menolak anggapan itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini