DR. B.M. Shepard dari Departemen Entomologi IRRI, Los Banos, Filipina, heran melihat sawah di Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. Ia melihat petani sedang memanen padi pada sepetak lahan dan tak jauh dari situ petani lain sedang menanam padi. Petani lain lagi malah sedang menggemburkan lahan. "Di negara kami tidak ada lagi hal semacam ini. Semua petani menanam serentak," kata seorang peserta Lokakarya Internasional tentang Wereng Cokelat asal Malaysia. Pola tanam yang tak serentak seperti itulah yang membuat wereng tidak kehabisan cadangan pangan. Namun, wereng bisa membahayakan cadangan pangan nasional, bila wereng cokelat tak segera terbasmi. Dari areal tanam sekitar 9,8 juta ha saja, sampai dengan November lalu, dilaporkan sudah meliputi hampir 53.000 ha yang diserang, dan diduga yang terserang jauh lebih luas. Ini berarti, seperti dikatakan Menteri Muda Peningkatan Produksi Pangan Wardoyo, Indonesia akan kehilangan produksi beras sekitar 5.000 ton tahun ini. Wereng jelas harus dibasmi. Penggunaan pestisida yang berlebihan terbukti malah menyuburkan populasi wereng. Berbagai upaya tengah dilakukan. Untuk jangka pendek sekarang, menurut Kasumbogo Untung, doktor ilmu serangga di UGM yang juga staf ahli Menteri Pertanian, Indonesia perlu memperbaiki sistem pemantauan dan manajemen hama untuk mengetahui populasi wereng cokelat. Peramalan seperti itu, rupanya, sudah berkembang baik di beberapa negara. Ini tercermin dari lokakarya selama 5 hari di Yogyakarta itu, yang berakhir 12 Desember lalu. Di antara lebih kurang 30 ahli dan peneliti dari berbagai negara peserta, pengalaman RRC tampak menarik. Menurut Dr. Jiaan Cheng dari Zhejiang Agricultural University Hanghon, Zhejiang, sudah sejak 5 tahun lalu RRC menerapkan sistem peramalan untuk memantau hama wereng. Berbagai ahli disiplin ilmu bekerja saling melengkapi, misalnya ahli cuaca, biologi, ekologi, hama. Data yang dikumpulkan, katanya, antara lain jumlah serangga musuh wereng, yang juga meliputi aspek biologi dan ekologinya. Data keadaan air dan cuaca pun tak luput, di samping populasi wereng di beberapa tempat. "Lalu, lewat komputer, kami bisa meramalkan jumlah populasi wereng di masa datang," katanya. Kendati di RRC bagian utara dikenal musim dingin, itu tidak menjadi masalah. Sebab, menurut Jiaan Cheng, musim dingin bisa diabaikan. Saat itu praktis petani tidak menanam padi, dan wereng pun tak tahan dingin. Jepang ternyata punya teknik peramalan serupa. Malaysia pun sedang menggarap cara itu, kendati wereng di sana tidak mengkhawatirkan. Soalnya, petani Malaysia sudah biasa menanam serentak, dan secara berkala juga tidak menanam padi serentak. Di Indonesia, teknik peramalan seperti itu, menurut Dr. Soemartono Sosromarsono dari Institut Pertanian Bogor, untuk sekarang ini masih sulit diterapkan. Hal itu disebabkan langkanya penelitian dasar, terutama tentang ekologi dan biologi. Sedangkan cara yang sudah diterapkan, ujarnya, adalah peramalan populasi hama secara dini. Itu bagian sistem IPM (Integrated Pest Management) yang mengandung tiga komponen: pemantauan yang menyediakan data tentang ekosistem, pembuatan keputusan yang menentukan strategi kontrol berdasarkan pemantauan, dan tindakan yang melaksanakan kontrol itu. Hanya saja, kata Kasumbogo, hasil pelaksanaannya kurang memuaskan. Kekurangan ini sudah disadari. Untuk memperbaiki pemantauan hama tersebut, pemerintah akan menambah 1.565 orang pengamat hama, sehingga semuanya mencapai 2.909. Sebagai daya penarik, tenaga tambahan itu bakal langsung diangkat jadi pegawai negeri, termasuk mereka yang kini belum diangkat. Soalnya, di pundak pemantau hama ini tugas mengajari kaum tani agar mengerti -- misalnya -- musuh alami wereng adalah serangga yang pantas diberi kesempatan hidup untuk menyantap wereng. Penggunaan pestisida telah dibatasi. Kecuali Applaud 10 WP yang boleh disemprotkan bila wereng cokelat sudah mencapai ambang batas ekonomi. Yakni bila jumlah wereng yang menyerang serumpun padi setidaknya sama dengan jumlah batang daam rumpun tersebut. Perhitungan seperti ini, jelas, masih sulit bagi petani. Mereka memerlukan waktu penyesuaian dari kebiasaan lama -- yang biasa dilakukan selama ini, lewat paket pancausaha -- menyemprot tanaman baik ada hamanya maupun tidak. Namun, rupanya, masih ada cara lain untuk melumpuhkan kesaktian para wereng cokelat. Secara diam-diam Institut Pertanian Bogor, menurut Dr. Soemartono, sudah mengembangkan patogen penyakit wereng dari jenis Hirsutella species dan Matarhizium SP. Ini sejalan dengan makalah Dr. M.C. Rombach, dari Departemen Entomologi IRRI, yang menyarankan agar mengembangkan penyakit bagi wereng tersebut. Ia mengungkapkannya dalam lokakarya di Yogyakarta itu bahwa sudah lama diketahui jamur Entomopathogenetic menyerang jenis seranga. Jamur ini mengeluarkan spora yang bisa menyebar dan melekat pada beberapa sentimeter di sekelilingnya. Salah satu keluarganya (genus) adalah Pathogen Hyphomycetous, yang membikin sakit lebih dari 200 kelompok serangga, seperti belalang padi. Buat Indonesia, tampaknya masih terlalu pagi untuk bisa memakai patogen seperti itu. Dalam jangka pendek kini untuk melawan wereng akan digalakkan pola tanam serentak. Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah, sesuai dengan isi Inpres No. 3 Tahun 1986, sudah selaras dengan prinsip pengendalian hama terpadu. Para peserta lokakarya di Yogya itu ternyata mendukungnya. Hanya saja, konsekuensinya, pemerintah perlu mengeluarkan dana Rp 7,9 milyar. Ini dipergunakan untuk memberi bantuan benih, pestisida, serta perlengkapan dan keperluan pengamat hama. Kalau ada petani yang membongkar tanamannya untuk menghindari serangan wereng akan mendapat ganti rugi berupa bibit dan insektisida, gratis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini