Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lebih dari sebulan Sukamto, 38 tahun, memendam rasa cemas. Warga Jalan Sungai Kera, Kota Medan, Sumatera Utara, ini khawatir bakal ditangkap polisi. Pertengahan April lalu, bakda zuhur, Sukamto dan empat temannya sempat merentangkan spanduk berukuran 5 x 7 meter di kompleks Masjid Al-Amin di Jalan Prof. H.M. Yamin, Medan. Tertulis di spanduk itu: "#2019 Ganti Presiden secara Konstitusional".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang kawannya memotret spanduk tersebut dan mengunggahnya di Facebook. Hingga magrib, foto itu disebarluaskan lebih dari 6.000 kali. "Seminggu kemudian, rumah saya didatangi polisi," kata Sukamto, Jumat pekan lalu. Sukamto mengaku sempat ditanyai polisi ihwal spanduk tersebut. Sejak itu, ia merasa gerak-geriknya diawasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski waswas, Sukamto tetap mendukung gerakan #2019GantiPresiden yang viral di media sosial. Awal Mei lalu, ia juga sempat mengikuti aksi saat hari bebas kendaraan bermotor di Kota Medan. Tapi petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan tidak membolehkan mereka masuk.
Pemerintah Kota Medan pada awal Mei lalu memang mengeluarkan surat edaran melarang kegiatan politik saat car-free day. Tertulis dalam surat berstatus penting yang ditandatangani Sekretaris Daerah Syaiful Bahri itu: diperlukan penertiban terhadap pihak-pihak yang menggelar kegiatan politik serta menjual atribut #2019GantiPresiden selama hari bebas kendaraan bermotor setiap Ahad di Jalan Pulau Pinang. Penertiban yang sama diperlukan dalam kegiatan yang melibatkan banyak orang, termasuk di rumah ibadah dan lembaga pendidikan.
Penertiban itu, seperti tertulis dalam surat tersebut, sesuai dengan rekomendasi Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) Provinsi Sumatera Utara. Kominda adalah forum komunikasi dan koordinasi unsur intelijen dan pimpinan provinsi atau kabupaten/kota. Dipimpin wakil kepala daerah dengan wakil kepala pos wilayah Badan Intelijen Negara, Kominda beranggota antara lain unsur intelijen dari BIN, Tentara Nasional Indonesia, kepolisian, kejaksaan, Direktorat Imigrasi, dan Bea-Cukai. Dihubungi lewat telepon dan WhatsApp, Syaiful Bahri tak memberikan tanggapan.
Salah satu pencetus gerakan #2019GantiPresiden di media sosial yang juga politikus Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mengatakan penertiban tak hanya terjadi di Medan. "Setidaknya terjadi di tiga kota lain, yaitu Jakarta, Bandung, dan Surabaya," ujar Mardani. Dia meyakini gerakan yang ditabuh pada Maret lalu itu bakal membuat pemerintah panik. "Gerakan ini berpotensi mengalahkan Jokowi dalam pemilihan presiden 2019."
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membantah terjadi kepanikan di Istana. "Presiden happy-happy saja," ujar mantan Panglima TNI ini dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis pekan lalu. Moeldoko juga menyanggah pemerintah melarang gerakan ganti presiden. Menurut dia, larangan terhadap aksi tersebut merupakan inisiatif pemerintah daerah. "Presiden tidak pernah mengeluarkan kebijakan tersebut," ucapnya.
Tapi Badan Intelijen Negara serius memonitor gerakan tersebut. Menurut seorang pejabat BIN, setidaknya dua kali agen intelijen dikerahkan untuk mengawasi aksi pendukung penggantian presiden, yakni saat hari bebas kendaraan bermotor di Jakarta pada akhir April dan 6 Mei lalu. Salah satu tujuannya, kata pejabat tersebut, menimang kekuatan kubu penolak Joko Widodo yang mengenakan kaus bertulisan "2019GantiPresiden".
Direktur Komunikasi BIN Wawan Purwanto menyebutkan lembaganya memang berkewajiban memonitor perkembangan keamanan negara. Tapi Wawan mengatakan BIN tak pernah merekomendasikan pelarangan atribut apa pun. "Kecuali jika itu menjurus ke arah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) atau memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa serta memicu benturan di akar rumput."
Presiden Jokowi sempat merespons gerakan tersebut. Di depan seribuan relawan pendukungnya dalam acara Konvensi Nasional 2018 di Bogor, Jokowi mengungkapkan unek-uneknya. "Masak, kaus bisa mengganti presiden," ujarnya, awal April lalu.
Pernyataan Jokowi ini membuat sejumlah pejabat di Istana bingung. Seorang pejabat di Istana yang mengetahui teks pidato resmi Presiden mengatakan pernyataan itu tak ada dalam naskah sambutan dan merupakan improvisasi Jokowi. Ucapan itu dikhawatirkan bakal membuat blunder. Tapi seorang sumber lain mengatakan Jokowi justru sengaja merespons untuk mengukur seberapa masif gerakan itu.
Ditemui wartawan setelah berbuka puasa di rumah Ketua Dewan Perwakilan Daerah Oesman Sapta Odang, Kamis pekan lalu, Jokowi sempat menjawab berbagai pertanyaan. Tapi, saat ditanyai soal gerakan #2019GantiPresiden, Jokowi tampak tak menyimak dan berlalu masuk ke mobilnya.
Nyatanya, ucapan Jokowi malah membuat tagar ganti presiden kian bergaung di media sosial. Ismail Fahmi, pengamat media sosial yang mengembangkan sistem pengukur dan penganalisis media sosial bernama Drone Emprit, mencatat respons pendukung gerakan tersebut hari itu meningkat drastis, mencapai 37 ribu cuitan di Twitter. "Pernyataan Presiden justru membuat tagar 2019 ganti presiden makin populer," kata Fahmi.
Menurut Fahmi, gerakan itu terus bergaung di media sosial manakala ada kebijakan pemerintah yang dinilai kontroversial. Ia mencontohkan saat Kementerian Agama mengeluarkan daftar nama 200 mubalig atau soal penghasilan Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Megawati Soekarnoputri sebesar Rp 112 juta per bulan. "Sejak Jokowi menanggapi gerakan itu, segala serangan terhadap kebijakan yang kontroversial ujung-ujungnya diarahkan ke tagar ganti presiden," ujar Fahmi.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengakui serangan dari kubu yang menghendaki penggantian presiden kian masif. Sayangnya, kata dia, bawahan Presiden tak cepat memberikan tanggapan saat muncul kontroversi.
Moeldoko juga menilai sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah kurang mampu menyuarakan keberhasilan pembangunan. Menurut dia, Presiden kerap mengeluhkan gaya komunikasi para bawahannya kepada masyarakat. "Presiden bilang, pemerintah sudah bekerja habis-habisan, tapi hasilnya tidak diketahui luas oleh masyarakat."
DISERANG tanpa henti di media sosial melalui tanda pagar #2019GantiPresiden, Istana berusaha menangkis. Sejumlah pejabat di Istana yang ditemui Tempo mengatakan pemerintah menyiapkan berbagai strategi untuk memerangi tagar tersebut. Narasi utamanya adalah menyampaikan pencapaian positif pemerintah.
Strategi ini antara lain melibatkan partai-partai pendukung pemerintah. Awal Mei lalu, di kantornya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengumpulkan sekretaris jenderal dari sembilan partai politik. Minus perwakilan Partai Amanat Nasional, semua partai yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah dan yang sudah mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi dalam pemilihan presiden 2019 hadir.
Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia Raja Juli Antoni mengatakan, dalam pertemuan itu, Pramono menyampaikan hasil kerja pemerintah dalam bentuk slide. Pramono meminta berkas itu diteruskan ke para calon anggota legislatif dari tiap partai supaya bisa disampaikan kepada publik. "Kami berinisiatif mengolahnya jadi grafis dan memunculkannya di media sosial PSI," ujar Antoni.
Seusai pertemuan, Pramono mengatakan para calon legislator bisa membantu meluruskan berbagai kabar miring yang menerpa pemerintahan Jokowi. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu memperkirakan cara ini bakal efektif. Sebab, para calon legislator akan berkampanye mendekati masyarakat di daerah pemilihan masing-masing. "Mereka bisa menjelaskan, misalnya, soal tenaga kerja asing, utang luar negeri, berapa jumlah tenaga kerja asing, dan berapa utang pemerintah sebenarnya," ujar Pramono.
Sempat muncul wacana agar ada pelatihan bagi juru bicara partai. "Tapi belum kesampaian hingga sekarang," kata Antoni kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Salah satu tindak lanjut pertemuan itu adalah pembuatan grup WhatsApp sekretaris jenderal. Sempat aktif pada awal-awal dibikin, kata Antoni, grup bernama "Sekjen Para Pendukung" itu kini nyaris tak pernah mendiskusikan kinerja pemerintah.
Agar kampanye kinerja pemerintah kian luas, Istana juga menggarap media sosial. Sejumlah pejabat di Istana mengatakan tim media sosial Istana dikomandani Andi Wibowo, yang juga kerabat Jokowi. Andi disebut-sebut mengatur strategi kampanye di dunia maya.
Keberadaan Andi dibenarkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Menurut Moeldoko, tim media sosial juga bertugas memantau pergerakan isu di kalangan warganet supaya pemerintah bisa lebih responsif menanggapinya. Tapi Andi membantah keterlibatannya. "Saya bukan pengatur strategi untuk menghadapi gerakan #2019GantiPresiden," ujarnya melalui WhatsApp.
Istana ikut menggandeng buzzer-pemilik akun bayaran-dan influencer, yaitu pemilik akun dengan banyak pengikut. Tiga sumber yang mengetahui pengelolaan media sosial oleh Istana bercerita, influencer direkrut terutama untuk mempromosikan keberhasilan kinerja pemerintah. Salah satunya saat Presiden meresmikan Bandar Udara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, Kamis dua pekan lalu.
Menjelang peresmian itu, kata salah satu sumber, tim media sosial Istana menyiapkan slogan "Hatur Nuhun Jokowi", yang berarti "terima kasih, Jokowi". Sempat terjadi perdebatan di tim media ihwal tagline tersebut. Slogan itu dianggap terlalu mengagulkan nama Jokowi sebagai orang yang paling berjasa. Memang, proyek tersebut tak selesai pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi, keputusan akhirnya, slogan tersebut tetap disebarluaskan tim media Istana. Toh, dalam pidato peresmian, Jokowi tetap mengucapkan terima kasih kepada Yudhoyono.
Menurut sumber yang sama, "Hatur Nuhun Jokowi" diciptakan Sony Subrata, anggota tim media sosial Jokowi-Jusuf Kalla pada pemilihan presiden 2014. Sony juga yang mengerahkan influencer. Moeldoko membenarkan kabar bahwa Istana melibatkan pemilik akun berpengaruh. "Kami undang mereka tanpa kompensasi apa pun," ujarnya. Dia membenarkan pula info soal keterlibatan Sony. "Dia ikut menggarap media sosial."
Dihubungi Kamis pekan lalu, Sony mengatakan tak lagi aktif mengelola media sosial Jokowi. Ia juga mengaku tak ikut menyeleksi influencer yang mengikuti kunjungan Presiden Jokowi ke Bandara Kertajati. "Itu kerja tim media sosial. Saya bukan bagian dari itu," ucapnya. Sony mengatakan posisinya sebagai komisaris PT Semen Indonesia tak memungkinkan dia aktif seperti pada 2014. Tapi Sony mengaku masih memberikan saran supaya komunikasi pemerintah menjadi lebih efektif.
Pihak yang juga dilibatkan Istana untuk mengkampanyekan keberhasilan adalah kumpulan relawan pendukung Jokowi. Ketua Umum Pro Jokowi atau Projo, Budi Arie Setiadi, mengaku rutin berkoordinasi dengan Istana untuk mengimbangi gerakan #2019GantiPresiden. Meski demikian, Muni-panggilan Budi Arie-mengatakan organisasinya gencar mengkampanyekan slogan mereka sendiri, yakni #Jokowi24, yang berarti pemerintah bekerja 24 jam hingga 2024, dan #JokowiLagi.
Perbedaan slogan ini dianggap kurang efektif. Ismail Fahmi menilai belum ada kesatuan narasi antara pemerintah dan pendukungnya. Ini berbeda dengan kubu oposisi, yang menyuarakan satu jargon tapi efektif. "Ibarat air, kubu oposisi ini semprotannya terfokus dan sangat kencang sehingga bisa membelah batu," ujarnya.
Muni tak mempersoalkan jika pemerintah ataupun organisasi pendukungnya memiliki jargon yang berbeda. "Memang kami belum fokus. Tapi pasti menjelang 2019 akan ada narasi yang lebih kuat. Kalau sekarang, lawannya Jokowi juga belum jelas siapa."
Stefanus Pramono, Raymundus Rikang, Wayan Agus Purnomo, Friski Riana, Ahmad Faiz
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo