Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berakhirnya pengabdian hakim agung Artidjo Alkostar membuat pegiat antikorupsi gundah. Ia sulit tergantikan. Artidjo, yang genap 70 tahun pada Mei lalu, tidak pernah berkompromi terhadap koruptor. Ia salah satu hakim agung dari jalur nonkarier yang disegani di Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Yudisial perlu bekerja lebih keras mencari pengganti Artidjo. Dari delapan calon hakim agung yang lolos seleksi Komisi, sejauh ini belum terlihat figur yang menonjol. Mereka diproyeksikan mengisi sejumlah kursi hakim agung yang kosong, termasuk pos yang ditinggalkan Artidjo. Sejumlah kandidat yang berasal dari jalur nonkarier sudah rontok pada tahap awal. Yang tersisa semuanya berasal dari hakim karier. Mereka sangat menguasai hukum dan berpengalaman, tapi integritasnya diragukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat diusulkan pemerintah menjadi hakim agung pada 2000, Artidjo jelas memenuhi dua syarat penting sekaligus. Ia ahli hukum yang berpengalaman karena pernah menjadi advokat dan dosen hukum. Lulusan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini juga memiliki integritas dan keberanian yang sudah diperlihatkan saat aktif di lembaga bantuan hukum.
Selama mengabdi di Mahkamah Agung, Artidjo dikenal sebagai figur pekerja keras. Setiap tahun ia menangani seribu lebih perkara demi mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah, yang sempat menggunung sampai belasan ribu. Bersama hakim agung Syafiuddin Kartasasmita, ia menangani perkara kasasi korupsi mantan presiden Soeharto. Perkara ini sempat hendak dihapus pengadilan negeri dengan alasan terdakwa sakit permanen. Dalam vonis kasasi, Mahkamah memutuskan Soeharto tetap berstatus terdakwa dan harus diadili setelah sembuh.
Tokoh politik di zaman reformasi pun merasakan ketegasan putusan Artidjo. Hukuman mantan Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq, yang dijerat korupsi impor daging sapi, ditambah 2 tahun menjadi 18 tahun penjara. Pada Juni 2015, Artidjo juga memperberat hukuman mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, menjadi 14 tahun penjara.
Hanya, ada pula putusan Artidjo yang kontroversial. Ia menghukum mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, penjara 4 tahun dan denda Rp 200 juta meski kurang bukti. Artidjo juga menolak permohonan peninjauan kembali mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang dihukum karena menista agama. Mahkamah Agung semestinya mengoreksi vonis Basuki, yang dibuat dalam sidang pengadilan yang penuh dengan tekanan para pendemo.
Terlepas dari beberapa putusannya yang kurang pas, integritas dan kesederhanaan Artidjo layak dijadikan contoh. Figur seperti inilah yang perlu dicari lagi oleh Komisi Yudisial untuk dicalonkan sebagai hakim agung. Ia bisa berasal dari jalur hakim karier ataupun nonkarier. Komisi sebaiknya hanya menyodorkan calon hakim agung yang benar-benar bersih ke Dewan Perwakilan Rakyat. Jika perlu, Komisi menggelar seleksi ulang untuk mendapatkan kandidat yang mumpuni dalam bidang hukum sekaligus berintegritas.
Seleksi ketat diperlukan karena peran hakim agung sungguh penting. Dialah yang menjaga benteng terakhir peradilan. Di tengah korupsi yang masih merajalela, hakim agung juga menjadi wasit terakhir dalam mengawal kasus-kasus korupsi yang dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi. Artidjo mampu menjalankan fungsi ini dengan baik-peran yang semestinya bisa dilakukan figur lain yang berintegritas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo