Seorang yang dianggap penting dari suku Kurima terbunuh. Peristiwa itu menyulut peperangan besar antara Kurima dan suku Hitigima, pada Juli 1988, dan beberapa korban pun jatuh. Ini diharapkan jadi perang suku terakhir di Irian Jaya. Sudah sejak lama pemerintah daerah berusaha "membudayakan" semangat perang adat itu. Tahun ini diharapkan perang adat, sesuatu yang tak lagi sesuai zaman, sudah jadi masa lalu. Reportase dan wawancara oleh Tantyo Bangun, mahasiswa UI yang kebetulan ada di lokasi perang. SENJA HARI di suatu hari, Juli 1988, ketenangan di daerah suku Wetipo Heselo pecah. Terdengar teriakan-teriakan bersahut-sahutan. "Waa ... ! Waa ... !" (berita tersebar bahwa seorang penting terbunuh ....). "Siapa yang membunuhnya?" "Songkama, orang Hitigima yang membunuhnya." Maka, gemparlah penduduk suku Wetipo Heselo. Rumpun suku Dani yang mendiami daerah Kurima di selatan Wamena ini memang turuntemurun telah berseteru dengan penduduk di bagian rumpun AsoLokobal yang tinggal di Hitigima. Namun, kali ini berita yang mereka dengar sungguh membakar emosi. Perang suku dalam periode terakhir adalah yang terjadi tahun 1984 hingga 1988. Kejadian satu dengan yang lain berangkai. Tak kurang dari selusin kejadian tercatat. Bukan hanya melibatkan dua pihak saja, tetapi juga merebak antara sekutu-sekutu mereka. Pihak Kurima, yang terdiri dari lima desa, bertalian adat dengan pihak Husage dan pihak Wouma di pinggiran Wamena. Lawan mereka adalah pihak Hitigima dengan sekutu pihak Seima dan Walesi. Total, penduduk dari sepuluh desa lebih yang ambil bagian dalam perang suku Kurima-Hitigma itu. Mosaik perangnya mirip anyaman. Tiap daerah berbatasan dengan musuhnya, berselang-seling. Dan penuh intrik politik suku masing-masing. Hingga akhirnya jatuh korban yang tak terduga. "Berani betul orang Hitigima membunuh kami punya orang penting," ujar Kursiwa Heselo, salah satu kepala suku Kurima yang satu marga dengan Weynand. Tua-tua adat dari marga Heselo malam itu berkumpul dalam wesa (honai adat) mereka. Mantra-mantra diucapkan untuk memanggil hun-ai, roh orang yang telah menjadi ineloko wurik (roh yang dihormati). Mereka memotong babi dan membuat satu tugi (batu keramat peringatan orang meninggal), dan berdasarkan itu semua anggota marganya punya kewajiban membalas dendam. Api kemarahan sudah membakar orang-orang Kurima untuk segera menuntut balas. Malam itu sege (tombak), panah, serta kapak mulai dikeluarkan. Gemuk hitam wam (babi) dan kapur putih disaputkan ke badan sebagai hiasan untuk perang. Orang Kurima marah betul. "Kami waktu itu akan menyerang mereka terus hingga istirahat di Wamena," kata Nico Hesegem, kepala desa Ibiroma. Ucapan Nico itu bisa diartikan sebagai niat sungguh-sungguh untuk mengusir orang-orang Hitigima pergi dari wilayahnya. Jika mereka hendak menyerang terus hingga istirahat di Wamena, berarti mereka sudah melewati desa Sogokmo, Hitigima, dan Hepuba yang menjadi wilayah orang Aso-Lokobal. Dan niat itu memang betul dilakukan. Sesudah malam saat para tua-tua dari marga Heselo berunding di dalam wesa (honai adat), undangan perang menyebar. Laki-laki dari desa Obolma, Ibiroma, Tangma, hingga Pasema dan sekutu mereka dari seberang Sungai Baliem sudah mendengarnya. Panggilan untuk wim (perang) yang turun-temurun dari tugi dan hareken (keramat) nenek-moyang akan dilaksanakan. Menjelang pagi, para prajurit perang berbaris menuju Sungai Ye'ni. Para kain, kepala-kepala suku Kurima, berada di tengah mereka mengiringi gerak semangat prajuritnya. Terlihat Amuli Matuan, Kursiwa Heselo, Wenyogo Meage, Warat Hesegem, dan lainnya berada paling depan memimpin gerak para prajuritnya. Di pinggir Sungai Ye'ni lama, mereka bertemu dengan sekutusekutunya dari seberang Sungai Baliem, orang-orang Husage. Laskar ini, jika dilihat dari ketinggian, bagai landak besar yang sedang berjalan. Dengan ratusan duri dari tombak sege yang teracung ke atas. Indah, sekaligus mengancam. Prajurit-prajurit muda cepat mencari kayu dan menumpuknya tinggi-tinggi. Tak lama kemudian, api tersulut dan asap mulai naik -- yang bermakna tantangan perang. Orang-orang Hitigima tak tinggal diam melihat tantangan itu. Sebagai pihak yang diserang, mereka telah siap. Malam sebelumnya, di dalam sili para ibu dan anak-anak telah sibuk berbenah, seolah wabah yang mematikan akan datang menyerang. Mereka angkat segala harta yang bisa dibawa. Bayi-bayi digendong dalam noken, keranjang anyam yang dibawa dengan kepala. Babi-babi pun digiring pergi menjauhi kampung yang esok hari akan jadi medan laga. Laki-laki Aso-Lokobal tak ikut kesibukan itu. Mereka berapat menentukan siasat untuk bertahan dari serangan pihak Wetipo Heselo dan sekutunya. Mereka undang juga sekutunya dari SiepAso untuk membantu. Antara mereka sendiri, sebenarnya tak semuanya membenarkan tindakan Songkama Asso, membunuh seorang yang dianggap penting dari Kurima. Namun, itu bukan karena takut pada risiko berperang dengan orang Kurima karena secara adat, dendam atas perang-perang yang lalu masih menebah. Beberapa dari orang laki-laki Aso-Lokobal sendiri bahkan berang, hendak membunuh Songkama yang dianggap biang keladi kekacauan yang akan timbul. Namun, itu harus ditunda, masih ada pekerjaan yang lebih penting, menghadapi orang-orang Kurima. Toh malam itu juga beberapa laki-laki Aso-Lokobal naik ke Desa Air Garam. Ke tempat tinggal Songkama yang juga jadi kepala suku di sana. Mereka akan menahan dia, selain itu juga menjaganya agar jangan sampai disergap diam-diam oleh orang Kurima. Songkama seperti sudah tahu sebelumnya. Ketika rombongan itu datang, ia dengan tenang menunggu di honai-nya. Malam itu mereka lewatkan dengan api besar di depan honai Songkama. Api untuk menerangi mereka dari hun-ain, hantu-hantu yang bergentayangan menanti perang esok hari. Beberapa orang berjaga di luar, sisanya menemani Songkama yang terikat tangannya di dalam honai. Pagi hari, adu cepat dengan derap datangnya pasukan perang orang Hitigima, mereka membawa Songkama turun. Untuk sementara ia dititipkan di gedung puskesmas desa. Mantri Simeon Asso yang menjaganya. Anak-anak muda yang mengantarnya lalu berlari ke medan laga untuk bergabung dengan teman-temannya mempertahankan Hitigima dari serangan orang Kurima. Suasana perang mengoyak keheningan daerah tak bertuan antara Hitigima dan Kurima. Daerah penyangga yang selama beberapa generasi telah jadi saksi pertumpahan darah antara seteru bebuyutan itu. Di dataran yang membentang sepanjang Sungai Ye'ni yang kering berlumpur hingga jembatan gantung Hitigima, berlarian kelompok-kelompok perang Kurima. Siasat perang yang secara tradisional terus bertahan dalam perang adat berulang. Orang Kurima berpencaran menjadi tiga bagian besar, menuju daerah Hitigima dalam tiga arah. Orang-orang Hesegem yang turun-temurun menempati wilayah perbukitan melambung naik ke atas menyerang Desa Air Garam. Orang Heselo yang tinggal di lembah berada di tengah. Sementara itu, orang-orang Meage yang berdiam di tepi Sungai Baliem telah pula pergi menyusur sungai untuk kemudian menyerbu dari bawah. Pihak Hitigima sebagai pihak yang bertahan tak hilang akal. Jumlah mereka memang lebih sedikit sehingga tak mungkin bisa menghadapi pihak Kurima secara frontal. Mereka dengan cerdik lalu mengirim beberapa orang yang paling berani untuk membuat serangan pancingan. Setelah pasukan musuh terpancing untuk mengejar, pasukan yang lebih besar siap siaga untuk menyergap dari kiri kanan. Tak ayal lagi, perang besar pun berkobar. Anak panah beterbangan, adu tombak dan kapak terjadi di mana-mana. Kampung-kampung yang diserbu dibakar habis. Hari itu asap besar naik hingga terlihat dari Wamena. Satuan Polres dan Kodim yang memantau sejak malam sebelumnya sempat kewalahan. Saat mereka hendak meluncur ke tempat kejadian, orang Wouma, sekutu perang Kurima, dengan cerdik membongkar jembatan kayu yang melintasi sungai-sungai sepanjang jalan Wamena-Hitigima hingga tak dapat dilewati. Tinggal anggota dari Polsek Kurima saja yang pagi itu sempat langsung terlibat dengan kejadian. "Kami yang waktu itu hanya berempat tak bisa berbuat banyak. Ratusan orang yang terlibat perang. Bagian bawah ditengahi, bagian atas berkobar. Kita kejar ke atas, yang bawah mulai lagi," tutur Paul, anggota Polsek Kurima yang pagi itu sempat mengejar rombongan perang Kurima. Untuk yang berani, memang peperangan itu jadi tontonan yang mendebarkan. Mereka yang bukan berasal dari suku-suku yang sedang berperang tersebut tak akan diserang oleh kedua belah pihak. Adat perang suku hanya menyerang orang yang menjadi musuhnya. Mereka tak peduli dengan orang asing. Perang suku itu memang banyak aturannya. Saat siang hari, ketika matahari tepat di atas kepala. Para prajurit biasa kembali ke garis belakang. Kembali untuk istirahat, memapah teman yang terluka, dan mengumpulkan awarek, benda keramat yang didapat dari musuh yang dapat dibunuh. Saat itulah para wanita berperan. Selama perang berlangsung mereka siap di garis belakang untuk mengumandangkan nyanyian-nyanyian pemberi semangat dan memasak. Selama itu pula sebagian mondar-mandir ke kebun untuk mengambil hipere (ubi jalar). Tiba waktu istirahat, logistik untuk para lelaki sudah siap. Setelah diperiksa, ada puluhan orang yang terluka, sementara satu orang meninggal. Yang meninggal tewas disergap dekat jembatan Gantung Hitigima. Tetapi mereka berhasil membunuh banyak musuh di atas, Desa Air Garam. Dan hampir seluruh desa musnah dibakar. Agak sore, sekitar pukul tiga, wim berlanjut lagi. Kali ini anggota dari Polres dan Kodim Jayawijaya sudah tiba di tempat kejadian dan menyebar. Mereka mengumpulkan masyarakat Hitigima untuk mencegah peperangan berlanjut. Masyarakat Hitigima memang dapat dikumpulkan, dan yang berwajib langsung memberikan pengarahan untuk tak melanjutkan perang. Sayang. Saat polisi sedang berbicara, bahwa perang tidak baik, bahwa orang Kurima juga sudah ditahan, dan bahwa pihak yang berwajiblah yang akan menangani masalah ini, asap naik lagi dari atas bukit. Terbetik berita terbunuhnya seorang Hitigima di sana oleh serangan mendadak orang Kurima. Maka, kembali mereka mengangkat senjata dan berlari ke medan perang. Demikianlah perang siang itu berlanjut lagi dengan serunya. Bahkan orang Wouma, sekutu Kurima, sore harinya memperhebat perang dengan menyerang Walesi yang jadi sekutu Hitigima. Dan perang baru bisa berhenti setelah satuan Polres dan Kodim menurunkan lebih banyak personel pada esok harinya. Mereka membuat pagar betis yang memisahkan pasukan kedua suku. Tujuh korban di pihak Hitigima dan enam orang di pihak Kurima. Tuntutan tumpahnya darah untuk kesuburan tanah, kesehatan binatang piaraan, dan kesejahteraan kedua suku sudah terulang. Berapa lama panggilan adat yang berdarah itu akan berlanjut?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini