Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perbatasan Malaysia itu Zona Merah

8 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia masih menjadi incaran sindikat pengedar narkotik. Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Anang Iskandar, dari sekitar 60 pintu masuk narkotik di Indonesia, baru enam titik yang dilengkapi petugas serta peralatan yang memadai. Wilayah perbatasan di Kalimantan termasuk titik rawan yang minus penjagaan. "Itu zona merah," kata Anang dalam wawancara dengan Tempo, Rabu pekan lalu.

Indonesia terus diserbu sindikat narkotik internasional. Mengapa?

Pemakai narkoba di sini sekitar 4 juta orang. Harga narkotik di Indonesia pun paling mahal di dunia. Maka Indonesia menjadi incaran pengedar. Peredaran narkotik itu tergantung pengguna. Pengguna banyak, peredaran besar. Seperti bioskop: kalau tak ada yang menonton, pasti banyak yang ditutup.

Mana saja pintu masuk utamanya?

Banyak sekali. Jalur pelabuhan udara, pelabuhan laut, dan jalur darat. Belum lagi jalur-jalur tikus, pelabuhan tak resmi.

Bagaimana dengan perlintasan darat daerah perbatasan?

Yang paling sulit sekarang adalah perlintasan darat di sepanjang Kalimantan serta perbatasan Papua Nugini dan Timor Timur.

Yang paling gawat di mana?

Kalimantan paling ramai karena berbatasan dengan Malaysia. Itu zona merah.

Menurut Anda, mana jalur paling rawan di Kalimantan?

Paling sering itu di Entikong, Kalimantan Barat. Lalu di Kalimantan Timur, Nunukan. Dari Kalimantan, lalu ke Aceh, baru ke Jakarta. Kalau sasarannya di Jakarta, bisa muter-muter. Katakanlah dari Malaysia terus ke Entikong. Lalu lewat Aceh pakai jalur darat ke Lampung. Dari Lampung bisa naik pesawat ke Denpasar dulu, lanjut ke Surabaya, dan pakai kereta ke Jakarta. Ini cara mengelabui petugas. Rutenya muter-muter seenak mereka sendiri.

Anda tak menyebut Bandara Soekarno-Hatta?

Itu jalur neraka bagi mereka. Kalau bukan kurir baru, pasti tak mau lewat Bandara Soekarno-Hatta karena kemungkinan besar tertangkap.

Tentang pola membawa narkoba, apakah mulai bergeser ke eceran?

Ya, sekarang sistemnya eceran. Masuk 2-4 kilogram. Posnya ada di Malaysia. Kita sudah melakukan kerja sama bilateral dengan Malaysia, saling beri informasi.

Malaysia itu tempat pembuatan atau pengepul?

Pengepul. Kalau pabrik, di negara lain. Misalnya di Iran. Harga bahan baku murah di sana. Narkotik juga tak masuk kejahatan berat. Di Cina dan India juga ada pabrik. Transitnya di Malaysia.

Di Indonesia kan ada juga pabrik yang terbongkar….

Di Indonesia kini teknologi intelijen, petugas intelijen, dan analisis jaringan kita sudah bagus. Sindikat sudah tahu, kalau membuat pabrik di Indonesia, pasti ketangkep.

Kok, masih banyak saja jaringan bermain….

Jaringan yang aktif itu banyak. Anggotanya sudah banyak yang kena hukuman mati atau ditembaki. Tapi jaringannya tak mati-mati. Itu terjadi karena mereka masih punya aset. Selama ini, tak banyak penjahat narkoba yang asetnya disita.

Terobosan seperti apa yang perlu dilakukan?

Paradigma pemberantasan itu ada dua. Pertama, dicegah. Kedua, kalau tetap lolos, pengedarnya harus dihukum berat dengan tindak pidana narkotik dan tindak pidana pencucian uang. Dipenjara dan dimiskinkan itu lebih berat.

Bisa lebih konkret?

Kami menyebutnya interdiksi. Menjaga di perbatasan dengan petugas dan peralatan memadai. Petugas interdiksi itu bisa dari Bea-Cukai, BNN, Kepolisian, dan Imigrasi. Masalahnya, perbatasan yang dijaga ketat baru di pelabuhan. Sedangkan kita punya perbatasan amat luas. Pintu masuk bisa lewat pelabuhan laut, udara, ataupun perbatasan.

Berapa banyak tempat interdiksi petugas dan peralatan yang terbilang lengkap?

Kita baru punya enam tempat interdiksi lengkap, antara lain di Batam, Jakarta, Denpasar, Manado, dan Medan. Paling tidak, kita perlu membangun 60 tempat interdiksi lagi di seluruh Indonesia. Tapi belum ada anggaran.

Enam puluh tempat itu tergolong pintu masuk rawan?

Ya. Karena itu, harus diperkuat petugasnya dan peralatannya. Seperti di Entikong. Belum ada interdiksi di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus