Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Satu Hari di Entikong

8 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah minivan putih berpelat nomor Malaysia berhenti di dekat pintu masuk pos Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, dari arah pos Tebedu, Malaysia. Dari pintu bagian belakang kendaraan yang terbuka, tampak tabung-tabung gas berwarna hijau berlabel Petronas serta tumpukan kardus penuh bawang putih, bawang merah, dan minuman ringan.

Amirullah dan Anton Siregar bergegas mendekati mobil tersebut sembari menyeret troli pengangkut barang. Dengan sigap, Kamis pekan lalu itu, mereka memindahkan benda-benda di dalam kendaraan tersebut ke dalam troli, lalu menutupinya dengan selembar kain hitam. Kemudian mereka mendorong troli, menyusuri jalan ber-paving block, hingga sampai di gerbang keluar pos Entikong. Jarak gerbang itu dari mobil sekitar 300 meter.

Di depan mereka ada pagar terbuat dari tiang-tiang besi setinggi dua setengah meter. Pagar itu mereka lompati. Barang-barang di dalam troli pun mereka oper "menuju" Indonesia. Begitu gampang, begitu cepat-tanpa sedikit pun melalui pemeriksaan aparat pos perlintasan. Tempo, yang seharian berada di sana, melihat demikian "merdeka" Amir dan Anton melakukan semua itu. Kepada Tempo, Amir menyebutkan hanya satu jenis barang yang kini dilarang ketat masuk, yakni gula. "Kalau kelihatan bawa karung gula, pasti diambil sama petugas," katanya.

Para petugas pos sebenarnya sudah mengetahui aktivitas Amir dan kawan-kawan. Petugas yang berasal dari instansi bea-cukai, imigrasi, dan kepolisian terkadang menegur mereka. Tapi teguran itu seperti basa-basi saja. Satu-dua jam kemudian, Amir dan kawan-kawan akan beraksi kembali.

Setiap hari ada belasan minivan hilir-mudik di daerah perlintasan yang letaknya sekitar 310 kilometer dari Pontianak itu. Tak hanya yang berpelat Malaysia, sejumlah mobil berpelat Kalimantan Barat juga sering membongkar muatan. Dari pekerjaannya mengangkut barang di daerah perlintasan, Amir mendapat upah sekitar Rp 50 ribu sehari. Meskipun aktivitas bongkar-muat hari itu cukup ramai, Amir menyebutkan semua uang yang diperoleh mesti dibagi dengan rekan-rekannya. Ada belasan orang seperti Amir: memberi jasa "membongkar" isi mobil dari Malaysia untuk kemudian "diteruskan" ke Indonesia.

Tak hanya itu, petugas juga terlihat membiarkan penduduk yang tampaknya sudah dikenal melintas tanpa pemeriksaan. Seorang penduduk menyebutkan, bila ada orang yang melintasi pos itu dan petugas mengenalnya, tak perlu lagi paspor. Tak ada pemeriksaan. Tempo membuktikan ucapannya. Dengan lambaian tangan dan sedikit senyuman seolah-olah kerap melalui tempat tersebut, pekan lalu itu Tempo bisa menerobos keluar-kemudian kembali masuk-area perlintasan tanpa pemeriksaan.

Pengawasan yang minim inilah yang membuat para pengedar narkoba dari Malaysia tak sulit menyelundupkan benda haram itu ke Indonesia. Seorang warga Kota Sanggau, Zul-bukan nama sebenarnya-mengaku pernah menjadi kurir perdagangan narkoba secara tak sengaja."Teman saya di Batu Sembilan, Kuching, pernah menitipkan barang, enggak tahunya isinya sabu-sabu," ujar Zul.

Peristiwa itu terjadi sekitar setahun lalu, ketika Zul berkunjung ke Kuching. Di sana, seorang kenalannya yang menjadi samseng-sebutan untuk preman di Malaysia-mengajaknya mampir ke sebuah rumah toko di kawasan Batu Sembilan. Dari situ, dia membawa bungkusan dalam plastik hitam, yang lantas ditaruh di bawah jok belakang mobil Zul. Si samseng berpesan agar Zul menyerahkan barang titipan itu ke seseorang di Hotel Bintang Kiki, Entikong. Sebuah nomor telepon pun diberikan kepadanya. "Terus dia minta nomor rekening saya," ujarnya.

Zul mengaku saat itu sebenarnya dia sudah curiga, tapi tetap saja ia membawa barang titipan tersebut. Dengan gampang Zul, yang sudah biasa ke Kuching, melintasi pos penjagaan Entikong. Sesampai di Hotel Bintang Kiki, Zul menelepon orang yang dimaksud. Orang itu meminta Zul mengambil kunci di resepsionis. Sebuah kamar kosong rupanya sudah disiapkan. Dia meminta Zul menaruh barang titipan ke dalam kotak sampah yang ada di kamar.

Keanehan itu membuat Zul makin curiga, lalu menyobek sedikit ujung kantong plastik hitam itu. Di dalam kantong terdapat benda seperti bongkahan kaca. "Langsung saya taruh di tempat sampah. Setelah itu, saya keluar dan pulang ke rumah. Daripada saya ditangkap polisi," katanya.

Keterkejutan Zul tak sampai di situ. Esok harinya, saat ia mengecek rekeningnya, isinya sudah bertambah sekitar Rp 5 juta. Zul lalu mengontak rekan di Kuching menanyakan perihal barang titipan itu. Eh, si samseng justru mengajaknya bekerja sama: menjadi kurir yang membawa barang-barang haram itu ke Indonesia. Alasannya, Zul sudah dikenal para penjaga di pos penjagaan. Dia menolak. "Kalau tertangkap di Malaysia, bisa mati aku," ujarnya.

Kepada Tempo, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto membenarkan perihal jalur dan modus yang dialami Zul tersebut. Menurut Arief, jalur Entikong memang menjadi jalur perdagangan ilegal dan kerap dimanfaatkan untuk menyelundupkan narkoba.

Kepala Seksi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Provinsi Kalimantan Barat Komisaris Polisi Sukardi mengatakan penyelundup narkoba punya banyak cara untuk meloloskan bawaannya ke perbatasan. Sukardi menilai pengawasan di jalur seperti Entikong itu makin kendur karena keterbatasan infrastruktur, seperti tak adanya metal detector dan pemindai sinar-X. "Orang BNN yang bertugas di sana juga hanya dua," katanya.

Yuliawati, Aseanty Pahlevi (Pontianak), Febriyan (Entikong)


Mampir di Malaysia, Menyerbu ke Indonesia

Para bandar narkoba internasional menjadikan Malaysia sebagai persinggahan terakhir sebelum barang haram itu masuk Indonesia. Lewat berbagai jalan darat di perbatasan yang tak terjaga-dan juga terjaga-benda itu masuk ke Tanah Air dan menyebar ke mana-mana. Ratusan jalan tikus di perbatasan Kalimantan Barat dan Malaysia adalah surga lalu lintas barang narkotik, terutama jenis sabu.

1.Pasokan berasal dari bulan sabit emas (golden crescent) Asia Tengah: Afganistan, Iran, dan Pakistan. Lebih dari 90 persen berasal dari Afganistan. Sekitar 10-15 persen dari jumlah ini didistribusikan melalui Jalur Utara ke Eropa dan Asia lewat Turkmenistan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Kazakstan.

2.Pasokan yang berasal dari Iran dikirim ke Asia melalui Pakistan dan India. Dari Karachi dan Lahore (Pakistan), narkoba dikirim ke Thailand melalui Bangkok, Phuket, dan terus ke selatan melalui Kota Songkla, Pattani, hingga ke Malaysia, dan dilanjutkan ke Indonesia.

3.Dari India, sabu dan heroin beredar ke Nepal, Mumbai, Chenai, dan Hyderabad, dibawa ke Kuala Lumpur, Port Klang, Melaka, Johor Baru, Malaysia, dan masuk ke Selat Malaka. Dari Selat Malaka, ditransfer ke Medan, Kepulauan Riau, dan Dumai.

4.Selain itu, pasokan dari India dikirim melalui Singapura, kemudian ke Dili, Timor Leste. Masuk ke Indonesia melalui Atambua, Kupang, Surabaya, kemudian Jakarta, dan terakhir ke Medan.

5.Dari Nigeria (Afrika) masuk ke Thailand, lalu masuk ke Malaysia melalui jalur darat dan dilanjutkan ke Indonesia.

6.Dari Kuching, Malaysia, narkotik masuk ke Indonesia melalui perbatasan Entikong menuju Pontianak, Kalimantan Barat, dan Jakarta. Peredaran juga melalui Nunukan ke Tarakan atau kota-kota lain di Sulawesi yang mempunyai hubungan transportasi dari Nunukan.

7.Asal Cina dan Hong Kong dibawa ke Thailand, lalu melalui jalur darat menuju Pelabuhan Johor Baru, Malaysia. Dari sana, dibawa perahu boat ke Tanjung Sengkuang, Batam. Alternatif lain melalui Sungai Rengit, Johor Baru, ke Tanjung Sengkuang, Batam.

Jalan Tol Narkoba di Tapal Batas

  • Hanya ada lima pos pemeriksaan lintas batas di sepanjang 857 kilometer perbatasan Indonesia-Serawak, yakni di Entikong, Sambas, Bengkayang, Sintang, dan Kapuas Hulu.
  • Di sepanjang perbatasan itu, terdapat pula 500 jalan tikus yang menghubungkan desa-desa di Kalbar dengan wilayah Serawak. Tak ada penjagaan di jalan-jalan itu.
  • Jalan tikus ataupun jalur pos pemeriksaan adalah jalur masuknya narkoba ke Indonesia.

    Lima Penyebab Indonesia Jadi Target Pasar
    1.Perbatasan jalur darat yang tidak terawasi.
    2.Banyak pelabuhan tidak resmi yang tidak memiliki penjagaan.
    3.Semakin banyak bandara penerbangan internasional.
    4.Petugas mudah disuap.
    5.Harga jual narkoba di Indonesia tinggi. Di Iran, misalnya, 1 gram sabu-sabu dihargai Rp 50 ribu, sedangkan di Indonesia Rp 1 juta.

    68 Titik Interdiksi

  • Badan Nasional Narkoba (BNN) menetapkan 68 titik interdiksi alias jalur narkoba dalam negeri, baik melalui darat, laut, maupun udara serta di daerah perbatasan. Titik ini dianggap rawan dan memerlukan penjagaan khusus.
  • Dari 68 titik interdiksi, hanya enam pelabuhan yang dilengkapi perlengkapan khusus antinarkoba, yakni Batam, Jakarta, Denpasar, Bitung, Manado, dan Medan.
  • Perlengkapan khusus antinarkoba, antara lain, alat deteksi narkoba dan sinar-X.

    Nilai Peredaran Narkoba

    Menurut penelitian Universitas Indonesia, nilai peredaran narkoba di Indonesia pada 2011 adalah Rp 42,8 triliun dalam setahun. Adapun BNN sepanjang 2013 mengusut 15 perkara narkoba dengan nilai Rp 52,3 miliar. Sedangkan pada 2010-2013, ada 40 kasus dengan nilai Rp 113,7 miliar.

    Yuliawati, Tika Primandari, BNN, PDAT

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus