Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yusuf Wibisono*
Salah kelola dana haji. Itu sebenarnya yang hendak dinyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi ketika merekomendasikan moratorium pendaftaran calon haji beberapa waktu lalu. Moratorium diajukan karena sistem akuntansi Kementerian Agama tak mampu menjangkau keseluruhan audit setoran awal biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), yang kini jumlahnya telah menumpuk hingga Rp 38 triliun. Kementerian langsung menolak wacana ini, tapi juga tanpa rencana perbaikan pengelolaan dana.
Harus diakui BPIH kita mahal. Biaya haji 2011 di Malaysia sebesar 9.980 ringgit (sekitar US$ 3.300) dengan pelayanan prima, sedangkan biaya haji Indonesia sekitar US$ 3.500. Ironisnya, mahalnya BPIH tidak berkorelasi dengan pelayanan yang di Indonesia cenderung buruk merata di setiap sektor, seperti bimbingan haji, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, administrasi, dan keamanan. Buruknya pelayanan juga merata di semua tahapan haji, dari pelayanan sebelum keberangkatan, selama di Tanah Suci, hingga pelayanan setelah ibadah haji.
Kinerja pengelolaan dana haji juga sangat rendah. Tak ada dampak signifikan dari dana haji yang jumlahnya begitu besar untuk peningkatan pelayanan haji. BPIH seharusnya murah karena tercapainya economies of scale dari perputaran Rp 7 triliun dana haji setiap tahun dan produktivitas dana setoran awal BPIH yang Rp 38 triliun. Pada 2011, setiap calon haji Malaysia mendapat subsidi hingga 4.360 ringgit (sekitar Rp 13 juta), sedangkan calon haji Indonesia hanya mendapat subsidi sekitar Rp 7 juta. Pengelolaan dana haji yang tak produktif dan tak transparan membuat ibadah haji yang telah dilaksanakan puluhan tahun hanya menjadi ritual tahunan tanpa dampak ekonomi yang signifikan.
Pengelolaan dana haji yang buruk itu telah terjadi puluhan tahun. Monopoli penyelenggaraan ibadah haji ditengarai menjadi akar masalah kisruh haji selama ini. Meski monopoli oleh pemerintah memberi banyak dampak positif, seperti tak ada lagi kekisruhan akibat penipuan oleh penyelenggara swasta dan posisi tawar ke pemerintah Arab Saudi yang lebih baik, di sisi lain monopoli ini membawa banyak masalah kronis, terutama inefisiensi, penyelenggaraan yang tidak profesional, dan korupsi.
Undang-Undang Nomor 17/1999 mengukuhkan pemerintah sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus: regulator, operator, dan pengawas. Ini menimbulkan konflik kepentingan dan secara jelas bertentangan dengan prinsip good governance. Undang-Undang Nomor 13/2008 telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan fungsi antara regulator (Menteri Agama), operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama), dan pengawas (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI). Sayangnya, pemisahan ini tak tegas sehingga peran Kementerian masih sangat dominan di tiga fungsi itu.
Dengan kerangka regulasi ini, perhatian Kementerian lebih banyak tercurah pada fungsi operator sebagai pelaksana haji yang merupakan lahan bisnis menggiurkan, sedangkan fungsi regulator dan pengawasan dari haji nyaris terabaikan. Dengan posisi monopoli yang menempatkan Kementerian sebagai "biro perjalanan haji terbesar di dunia" sekaligus sebagai regulator dan pengawas, penyelenggaraan haji menjadi sangat rawan terhadap korupsi dan perburuan rente ekonomi oleh penyelenggara dan pihak-pihak terkait. Dalam sistem penyelenggaraan haji seperti ini, pengelolaan dana haji secara produktif, transparan, dan sesuai dengan syariah praktis terabaikan.
Sebelum 2006, dana haji praktis menjadi aset diam, dengan setoran awal BPIH sebesar Rp 20 juta di bank penerima setoran langsung masuk ke rekening Menteri Agama di Bank Indonesia tanpa mendapat manfaat (return), tapi mendapat jaminan konversi ke dolar AS. Sejak 2006, setoran dana haji disimpan di bank penerima setoran BPIH, dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan. Dana ini membengkak sejak Mei 2010, ketika setoran awal BPIH dinaikkan menjadi Rp 25 juta.
Dalam Undang-Undang Nomor 13/2008, dana haji didorong untuk dikelola oleh perbankan syariah. Perbankan konvensional masih diperbolehkan sepanjang memiliki unit layanan syariah. Secara terperinci undang-undang ini memungkinkan pengembangan dana haji melalui usaha produktif dan investasi yang sesuai dengan syariah. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu landasan penempatan dana haji di sukuk negara. Namun, dengan tata kelola yang tetap buruk, semua faktor kondusif di atas seolah menjadi tak berarti.
Arsitektur Masa Depan
Dalam arsitektur haji Indonesia masa depan, Kementerian semestinya memainkan peran sebagai regulator, sedangkan KPHI sebagai pengawas, termasuk aspek kepatuhan syariah. Stakeholder utama haji, jemaah haji dan masyarakat muslim, harus mendapat akses dan representasi yang memadai di regulator maupun KPHI. Pemerintah sebagai operator haji mendapatkan dukungan sejarah dan fakta bahwa haji lebih merupakan hubungan antarpemerintah (G to G). Swastanisasi haji bukan merupakan pilihan. Reformasi operator haji, termasuk pengelolaan dana haji, lebih merupakan upaya mencari bentuk kelembagaan operator yang terbaik.
Untuk pengelolaan dana haji yang efisien, produktif, prudent, dan sesuai dengan syariah, terdapat beberapa pilihan bentuk kelembagaan operator bagi haji Indonesia ke depan. Pertama, model Bank Dana Haji Indonesia sebagai BUMN (bank persero) tapi dengan modifikasi sebagaimana Tabung Haji Malaysia. Model ini mengharuskan bank ini juga sebagai penyelenggara pelayanan haji, sesuatu yang sulit direalisasi tanpa reformasi regulasi yang signifikan, mengingat Undang-Undang Perbankan membatasi operasional bank pada kegiatan intermediasi perbankan saja. Undang-Undang BUMN juga kini hanya mengenal bentuk persero dan perum, yang keduanya berorientasi mengejar laba, sesuatu yang hendak dihindari dari entitas pemerintah yang mengelola haji.
Kedua, model badan layanan umum, sebagai satuan kerja di bawah Kementerian Agama, sesuai dengan Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Model ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu operator tetap bagian dari pemerintah, berorientasi pada pelayanan, keuangan dikonsolidasikan dalam APBN sebagai penerimaan negara bukan pajak. Dengan pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel, dapat dilakukan pengamanan atas aset yang dikelola, serta diterapkan standar pelayanan minimal atas layanan yang diberikan. Namun model ini menyisakan permasalahan tata kelola yang tak terselesaikan dengan pemain kunci tetap ada pada Kementerian Agama, yang selama ini dipersepsikan tidak kompeten dan inefisien.
Ketiga, model konsorsium perbankan syariah nasional, dengan operator haji teknis dari pihak lain. Model ini mirip model pertama, tapi operator haji tidak melakukan pengelolaan keuangan dan menyerahkan sepenuhnya kepada perbankan syariah nasional yang kini sudah ada. Model ini proposal paling realistis dalam jangka pendek dengan perbankan syariah telah memiliki kompetensi dan kelengkapan infrastruktur sebagai manajer investasi syariah.
Keempat, model Badan Penyelenggara Haji Indonesia sebagai badan hukum publik wali amanat (trust fund) yang bertanggung jawab kepada presiden. Saya mendukung trust fund sebagai operator haji Indonesia masa depan. Dalam proposal ini, Badan Penyelenggara Haji dibentuk dengan undang-undang khusus. Dalam model ini, dana haji diperlakukan sebagai dana amanat, yang dikelola dengan prinsip nirlaba (not for profit). Dana yang terkumpul dan keuntungan dari pengembangan dana haji harus dan hanya digunakan untuk kemaslahatan jemaah (trust fund). Dalam model ini, pihak pembayar BPIH, jemaah haji, harus memiliki akses ke pengambil kebijakan tertinggi haji (regulator), sekaligus sebagai pengawas.
*) Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo