Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari kamarnya di lantai dua, perempuan itu memantau "isi perut" Museum Polin, yang terletak di jantung Kota Warsawa, Polandia. Kamar yang juga berfungsi sebagai ruang kerja tersebut cukup luas, seukuran hampir separuh lapangan bulu tangkis. Sebuah meja besar, terbuat dari kayu cukup tebal, terbentang di tengah ruangan.
Yang menyedot perhatian di ruangan itu adalah beberapa perangkat untuk mengkonservasi koleksi museum, yang biasa disebut "eksponat". Itulah perangkat vital yang digunakan Anna Sembiring, demikian nama perempuan 36 tahun ini, meneliti dan memperbaiki benda-benda bernilai historis untuk kemudian dipamerkan di Museum Polin.
"Ini untuk menghilangkan dan menyedot racun kimia yang mungkin menempel di eksponat," katanya. Alat yang ditunjuk Anna berbentuk kotak, dilengkapi semacam tabung di atasnya.
Menjabat konservator senior di museum yang didirikan oleh Kementerian Kebudayaan dan The Association of the Jewish Historical Institute of Poland, tugas Anna terhitung berat. Dialah yang senantiasa memeriksa semua eksponat, terutama yang terbuat dari kertas dan kulit. Benda-benda itu diletakkan di tempat khusus yang bahannya tidak terbuat dari material sembarangan. Kotak kaca, misalnya, mesti dilengkapi dengan filter ultraviolet karena radiasi ultraviolet sangat berbahaya untuk tekstil dan kertas. Selain itu, mesti ada silica gel, yang berfungsi mengurangi kelembapan.
Sejumlah perangkat teknologi canggih—siang-malam—juga menjaga koleksi museum yang berjumlah sekitar 10 ribu benda ini. "Begitu pengunjung meningkat, suhu harus disesuaikan supaya sirkulasi udara tetap terjaga," katanya. "Jika tidak, koleksi museum yang ada di ruangan rusak." Kata "rusak" tentu saja hal yang sangat tidak diinginkan oleh orang-orang seperti Anna.
JALAN itu panjangnya sekitar 20 meter. Sebuah bangku terletak di pojok dan kiri jalan. Beberapa tiang lampu, dengan bentuknya yang khas, memayungi jalan itu. Di kiri-kanannya tampak beberapa bangunan "toko".
Inilah "Jalan Pertokoan Yahudi"—The Jewish Street—yang direkonstruksi dalam salah satu ruang yang ada di dalam Museum Polin, yang juga kerap disebut "Jewish Museum" atau Museum Yahudi. Pengunjung museum yang melewati tempat ini seperti dilemparkan ke masa lalu, ke tengah-tengah permukiman Yahudi. "Seperti inilah jalan-jalan utama permukiman Yahudi dulu di Polandia sebelum Perang Dunia II," kata Agnieszka Kus, pemandu yang mengantar saya blusukan ke museum itu.
Sejumlah "toko" yang berada di sisi kiri dan kanan jalan itu memajang puluhan selebaran, juga puluhan surat kabar yang pernah terbit di era "kejayaan" Yahudi di Polandia. Sebelum Perang Dunia II, di Polandia komunitas Yahudi memiliki sekitar 40 surat kabar, yang sebagian memakai bahasa Ibrani. Dengan jumlah tersebut, dapat diperkirakan bagaimana kuatnya posisi dan pengaruh Yahudi di negeri itu. "Mereka pintar, jenius, dan menguasai banyak sektor penting di Polandia," kata Maria Dmochowska dari Institut Perdamaian Polandia.
Isi museum ini terbagi menjadi delapan bagian, yang menunjukkan periodisasi penting bangsa Yahudi sejak masuk di "negeri Lech Walesa" itu, seribu tahun silam. Bagian itu meliputi awal mula bangsa Yahudi masuk Polandia, bagaimana mereka membentuk permukiman (the Jewish town) pada abad ke-16, pembantaian Yahudi oleh tentara Jerman (1939-1945), serta posisi mereka setelah perang dunia. Dengan periodisasi semacam itu, bisa disebut seluruh kebudayaan Yahudi tecermin dalam museum ini. Museum Polin merupakan museum tentang Yahudi terbesar di Eropa.
Salah satunya, misalnya, sinagoge. Rumah ibadah dengan langit-langitnya yang khas itu—dengan bintang Daudnya—juga dimasukkan ke museum ini. Sinagoge tersebut mengambil bentuk sinagoge di Gwozdziec, Ukraina. Untuk menggambar 67 binatang dan seribu bunga yang menghiasi langit-langit sinagoge, pihak museum mendatangkan sekitar 400 relawan. Total berat sinagoge itu tak kurang dari 30 ton.
Bukan hanya atapnya yang penuh simbol agama Yahudi, sinagoge itu juga lengkap dengan rangka atapnya yang tembus ke lantai dua. Atap dari kayu itu tak dibiarkan telanjang, tapi tertutup oleh kaca yang suhu di dalamnya diatur agar tetap stabil. "Jika tidak, udaranya akan lembap atau kering, yang membuat kayunya rusak," kata Anna.
Salah satu yang paling menarik tentu saja "Ruang Holocaust", yang membeberkan perihal pembantaian Yahudi. Begitu memasuki tempat tersebut, pengunjung disergap aneka gambar dan tulisan yang menggambarkan dua hal: perintah pembantaian Yahudi dan tulisan-tulisan—juga tulisan tangan—kaum Yahudi yang menceritakan masa-masa mencekam itu. Surat-surat itu dibuat dari ruang bawah tanah di ghetto mereka dan di penjara. Sejumlah perangkat audio, yang menceritakan hal mengenai peristiwa itu, tersedia di sini.
Populasi Yahudi di seluruh Polandia saat itu mencapai sekitar 3,3 juta. Di Warsawa, populasinya mencapai lebih dari 30 persen, sekaligus menempatkan Warsawa sebagai kota nomor dua paling banyak orang Yahudinya setelah New York. Dari jumlah itu, separuhnya dibantai dan terusir dari Polandia saat Adolf Hitler menduduki negeri tersebut.
Untuk mengenang sekaligus "menolak" berulangnya kekejian terhadap kemanusiaan itulah antara lain museum tersebut didirikan. "Museum itu penting tidak hanya bagi orang Yahudi atau rakyat Polandia, tapi juga bagi kita semua. Menghancurkan sebuah bangsa adalah tindakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan," kata Doktor Magdalena El Ghamari, pakar sejarah dan politik dari University of Bialystok, salah satu universitas terkemuka di Polandia.
Perlu waktu panjang untuk mewujudkan museum sejarah Yahudi di Polandia tersebut. Pembangunan museum yang digagas pada 1993 itu baru dilakukan sejak 2009. Biro Arsitektur Lahdelma & Mahlamaki yang berhasil menang dalam sayembara desain museum itu. Seluruh tubuh museum bagian luar, samar-samar, dihiasi kata "Polish", dalam bahasa Ibrani. Pemerintah Kota Warsawa menyediakan lahan sekitar 13 ribu meter persegi, yang terletak di daerah Muranow, untuk pembangunan museum yang dilengkapi ruang teater, gedung bioskop, toko, dan ruang pertemuan yang bisa memuat 500 orang ini.
Menurut Anna, begitu museum itu berdiri, sumbangan benda yang berkaitan dengan sejarah Yahudi di Polandia mengalir dari mana-mana. Benda itu ada yang ditemukan di dalam tanah atau di dalam dinding karena disembunyikan si empunya dan kemudian ditemukan anak-cucu mereka.
"Ada yang sembari menangis menceritakan bagaimana benda itu diwariskan oleh nenek moyang mereka dengan pesan dijaga dan diselamatkan," kata Anna. Selain itu, ada lukisan-lukisan yang sifatnya dipinjamkan, yang kesemuanya tertulis dalam sebuah dokumen perjanjian yang sangat detail. Tugas Anna pula mengurus perihal perjanjian seperti itu.
Sebagai seorang konservator, Anna akan mencermati semua benda dari kertas dan kulit yang diterima museum. Ia juga akan mencatat dan tentu saja bertanya dengan detail kepada pemiliknya mengenai riwayat benda tersebut. Jika benda itu ia pandang perlu diperbaiki, ia akan melakukannya. Dengan kecermatan dan kesabaran luar biasa, ia bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan menangani benda-benda bersejarah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo