Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perempuan desa di Sulawesi Tenggara menolak aktivitas perusahaan tambang.
Sejumlah perempuan dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melanggar UU Minerba.
Gerakan perempuan menolak tambang berlanjut karena eksploitasi lingkungan tak berhenti.
AMLIA tak bisa menahan air mata tatkala mendengar putusan kasasi Mahkamah Agung pada 7 Oktober 2024 yang mengabulkan gugatan warga Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Ketika itu warga menuntut pembatalan dan pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dipegang PT Gema Kreasi Perdana (GKP). GKP adalah perusahaan tambang nikel milik Harita Group yang beroperasi di pulau kecil itu. “Saya ingat perjuangan kami selama ini,” kata Amlia yang tinggal di Desa Sukarela Jaya, Wawonii Tenggara, pada Sabtu, 7 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Pulau Wawonii, GKP menguasai konsesi lahan seluas 1.800 hektare. Perusahaan ini memegang IPPKH dengan landasan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.576/Menhut-II/2014 tertanggal 18 Juni 2014 untuk kegiatan produksi bijih nikel dan fasilitas pendukungnya di kawasan hutan produksi terbatas dan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan luas wilayah 707,10 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Wawonii yang merasa aktivitas perusahaan tambang itu mengganggu lingkungan sekitar kemudian menggugat izin tersebut dan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan itu dikabulkan, tapi GKP mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. permohonan itu dikabulkan sehingga akhirnya warga mengajukan permintaan kasasi ke Mahkamah Agung dan menang.
Meski begitu, GKP belum keluar dari Wawonii. Berdasarkan pengamatan Tempo di Desa Sukarela Jaya, sejumlah alat berat milik perusahaan itu masih beroperasi di area dermaga. Petugas tampak berjaga di pos pintu masuk area perusahaan dan terlihat banyak karyawan yang lalu-lalang.
Amlia masih ingat ketika dia dilaporkan ke polisi pada 2022 atas tuduhan menghalang-halangi aktivitas perusahaan. Dia satu dari puluhan perempuan yang menghadang alat berat yang hendak masuk ke area perkebunan warga. Ketika itu Amlia bersama para ibu dan warga Sukarela Jaya lain getol menjaga lahan mereka agar tidak diserobot perusahaan. Namun, lantaran takut ditangkap polisi setelah dilaporkan GKP, mereka bersembunyi di hutan.
Menurut Amlia, saat itu ada tiga warga Sukarela Jaya yang dibekuk polisi atas tuduhan menghalangi aktivitas tambang. Berbekal dua pasang pakaian, dia mengembara di hutan selama dua bulan. Untuk makan, mereka yang masuk hutan bergantung pada kiriman warga lain yang masih tinggal di desa. “Kadang kami makan jambu mete bakar, bahkan ubi yang sudah basi,” ucap Amlia. Tempat tidur mereka pun berpindah-pindah dari semak-semak sampai pondok darurat.
Ketika tinggal di hutan, Amlia pernah terkena kudis yang membuat dia susah duduk dan berjalan. Dia pun pernah ingin menyerahkan diri ke polisi. Tapi rencana itu batal setelah dia mendapat dukungan dari suami dan warga desanya.
Perempuan Sukarela Jaya yang juga masuk hutan bersama Amlia kala itu adalah Hastati. Dia juga dilaporkan ke polisi setelah menghalangi alat berat yang akan masuk ke perkampungan. Bersama beberapa perempuan sedesa, Hastati bergandengan tangan dan membentuk pagar di jalan yang akan dilalui ekskavator. “Biar satu senti pun saya tidak mau,” tuturnya.
Ada pula Hartina. Dalam demonstrasi warga Sukarela Jaya pada Maret 2022, dia bersama puluhan perempuan lain membuka baju untuk menolak ekskavator yang masuk ke lahan perkebunan warga. Dengan melepas baju, mereka berharap perusahaan iba dan menghentikan aktivitas. Tapi aksi tersebut tak menghentikan laju ekskavator sehingga Hartina akhirnya memanjat alat berat itu dan berusaha membuka pintu ruang kemudi operator. Beberapa pegawai perusahaan berupaya menghentikan aksi Hartina sehingga terjadi kericuhan. Aksi ini selesai setelah ada warga yang pingsan. Meski begitu, aktivitas perusahaan tetap berjalan.
Sederet kisah ini menggambarkan perlawanan kelompok perempuan di Pulau Wawonii untuk menghadang aktivitas pertambangan yang merusak kampung halaman mereka. Persinggungan warga dengan perusahaan tambang terjadi sejak 2016 dan ketegangan meningkat pada 2019, ketika mulai ada penggusuran. Lembaga Bantuan Hukum Makassar mencatat 38 warga yang dilaporkan GKP pada 2017-2024 atas tuduhan menghalangi aktivitas pertambangan.
Terbitnya putusan kasasi Mahkamah Agung seharusnya menjadi angin segar bagi masyarakat penolak tambang. Tapi, kenyataannya, perusahaan masih melanjutkan aktivitas. Juru kampanye energi sekaligus kuasa hukum Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Arko Tarigan, mengatakan perusahaan masih beraktivitas dengan alasan akan melakukan upaya hukum luar biasa lewat permohonan peninjauan kembali atau PK. “Tapi pada dasarnya PK seharusnya tidak menjadi dalil tak dijalankannya putusan MA,” kata Arko.
Jaringan Advokasi Tambang mendapat laporan yang menyebutkan dugaan GKP menyerobot lahan milik petani cengkih seluas 5 hektare pada 20-23 Oktober 2024. Namun, kepada warga, manajemen GKP mengaku telah membeli lahan itu. Perlawanan warga pun berlanjut. Sebagai contoh, pada pertengahan November 2024, sekitar 400 warga dari sejumlah desa di Wawonii Tenggara berjalan kaki mendatangi lokasi penambangan GKP, meminta perusahaan itu angkat kaki dari wilayah setempat.
Tempo berupaya meminta tanggapan Koordinator Hubungan Masyarakat GKP Marlion dan General Manager External Relations GKP Bambang Murtiyoso. Namun keduanya tidak membalas. Sedangkan dalam artikel yang dimuat di situs web GKP, yaitu gemakreasi.com, Bambang menyatakan perusahaan sedang menempuh upaya hukum lanjutan berupa permintaan peninjauan kembali. “Kami mengimbau semua pihak bersabar dan menghargai proses hukum yang sedang berjalan,” ucapnya. GKP juga menyatakan akan terus memenuhi kewajiban perusahaan, terutama dari aspek pengelolaan lingkungan dan kawasan hutan.
•••
TAMBANG nikel menjadi primadona setelah Joko Widodo di masa pemerintahannya menggembar-gemborkan program penghiliran. Dengan menambang dan mengolah bijih nikel di dalam negeri menjadi berbagai produk turunan, seperti bahan baku baterai kendaraan listrik, Jokowi berharap ada nilai tambah yang besar, termasuk devisa dari ekspor.
Karena itu, pada 1 Januari 2020, Jokowi melarang ekspor bijih nikel berkadar di bawah 1,7 persen agar bisa diolah di dalam negeri. Pada akhir masa jabatannya, Jokowi menyatakan kebijakan penghiliran nikel telah memicu lonjakan besar angka penerimaan negara. Hal ini, kata dia, sejalan dengan nilai ekspor nikel yang naik dari Rp 45 triliun pada 2015 menjadi Rp 520 triliun pada 2023.
Jokowi pun menepis kabar bahwa kebijakan itu hanya menguntungkan perusahaan nikel. “Jangan keliru, kita pungut pajak dari sana, pajak perusahaan pajak karyawan, bea ekspor, pajak ekspor, bea keluar, belum lagi penerimaan negara bukan pajak yang besar sekali,” ujarnya saat membuka Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia XXII dan Seminar Nasional 2024 di Solo, Jawa Tengah, pada 19 September 2024.
Kapal nelayan yang tedampak akibat aktifitas pertambangan di Desa Torobulu, kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, 19 Desember 2024. Foto/Alfi Yorifal
Klaim Jokowi itu nyatanya tak dirasakan warga sekitar lahan tambang nikel. Salah satunya Ayunia Muis yang tinggal di Desa Torobulu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ayunia mengatakan desanya dulu terkenal sebagai penghasil ikan. Sejak perusahaan tambang beroperasi di sana, jumlah tangkapan nelayan turun drastis. Perempuan 29 tahun ini membandingkan, nelayan kecil di desanya dulu bisa menangkap 20-40 kilogram ikan dalam sehari. “Sekarang hanya sampai 7 kilo,” ucapnya.
Tangkapan nelayan berkurang setelah air laut keruh akibat masifnya aktivitas perusahaan tambang, antara lain lalu-lalang tongkang pengangkut bijih nikel. Para nelayan pun harus melaut lebih jauh karena ikan di pantai sekitar Torobulu lenyap. Para petambak juga merugi karena produktivitas mereka terus berkurang seiring dengan turunnya kualitas air laut.
Itulah yang dirasakan Ayunia yang selama ini mengelola tambak udang seluas 2 hektare peninggalan ayahnya. Dalam tiga tahun terakhir, produktivitas tambak milik keluarga Ayunia turun dari 500-800 kilogram setiap musim panen menjadi 50-350 kilogram. Tak hanya meluluhlantakkan sumber penghasilan, aktivitas penambangan nikel juga merusak permukiman warga. Karena itu, para perempuan dan pemuda di Konawe bergerak menolak perusahaan tambang.
Aksi warga bermula pada 2019, ketika ada aktivitas tambang nikel di dekat sebuah sekolah dasar. Ketika itu warga masih meyakini pemerintah bisa menyelesaikan masalah ini sehingga penolakan tak terlalu masif. Ternyata aktivitas penambangan malah menjadi-jadi, terutama di bagian timur Torobulu. Protes warga mulai ramai kembali pada September 2023, ketika delapan alat berat milik PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) beroperasi di dekat jalan raya tanpa ada sosialisasi. Pemerintah desa kemudian menggelar mediasi dengan manajemen WIN, tapi tidak ada titik temu.
Kegiatan pertambangan PT.WIN (Wijaya Inti Nusantara) di Desa Torobulu, kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, 19 Desember 2024. Foto/Alfi Yorifal
Puncaknya, pada 6 November 2023, Ayunia bersama-sama warga desa lain berunjuk rasa menolak aktivitas penambangan yang menimbulkan debu tebal di permukiman warga. Sembari membentangkan spanduk bertulisan penolakan, warga mendesak manajemen perusahaan memperlihatkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan. “Tapi perusahaan terus melakukan pengupasan tanah,” katanya.
Gara-gara aksi itu, Ayunia dan 31 warga Torobulu dilaporkan manajemen WIN ke polisi dengan tuduhan merintangi usaha pertambangan. Namun hanya sebagian warga yang menjalani pemeriksaan sebagai saksi, termasuk Ayunia. Karena takut, keluarga Ayunia pernah memintanya berhenti berunjuk rasa. Tapi dia menolak mundur. “Melawan adalah harga mati,” tuturnya.
Pada 5 Maret 2024, Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara menetapkan dua warga Torobulu sebagai tersangka, yaitu Andi Firmansyah dan Haslilin. Keduanya dituntut delapan bulan penjara karena dinilai melanggar Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyatakan ada pidana bagi orang yang merintangi kegiatan pertambangan. Meski tidak menjadi tersangka, Ayunia dan warga lain tetap kompak mendukung Andi dan Haslilin dalam setiap sidang.
Lingkungan rumah warga yang terdampak polusi pertambangan di Desa Torobulu, kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, 19 Desember 2024. Foto/Alfi Yorifal
Sikap serupa ditunjukkan Yuniasti, warga Torobulu yang pernah menjadi terlapor dalam kasus itu. Dia pun tak pernah absen dalam unjuk rasa, termasuk di Kota Kendari yang berjarak 100 kilometer dari Torobulu. Yuniasti rela menutup toko bahan kebutuhan pokoknya demi berunjuk rasa menolak aktivitas pertambangan. “Karena semua itu berdampak pada udara dan air kami.”
Perjuangan warga berbuah manis setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo, Sulawesi Tenggara, memvonis bebas Andi dan Haslilin. Dalam putusan, hakim ketua Nursinah mempertimbangkan tindakan keduanya bukan sebagai pidana. Namun dua warga ini masih belum bisa bernapas lega lantaran jaksa mengajukan permintaan kasasi.
Setelah kejadian itu, perlawanan warga Torobulu tak kendur. Mereka mengubah strategi menjadi lebih hati-hati, antara lain dengan menyurati para pemangku kepentingan untuk menanyakan izin lingkungan perusahaan tambang di desa mereka. Ketika ditanyai mengenai aktivitas tambang yang masih berjalan saat ini, Kepala Teknik Tambang WIN Muhammad Nuriman Djalani mengatakan pengerukan lahan, termasuk di lahan yang pernah direklamasi, merupakan kesepakatan dalam perjanjian kontrak kerja sama.
•••
PERAN perempuan dalam penolakan tambang dan industri nikel cukup sentral di berbagai daerah. Aksi ini tercatat dalam dokumentasi Jaringan Advokasi Tambang mengenai pergerakan perempuan di daerah-daerah sentra nikel seperti di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Perlawanan dilakukan tak hanya dengan berunjuk rasa dan menghadang alat berat, tapi juga melalui pendidikan.
Komunitas Perempuan Sagea di Halmahera Tengah, misalnya, membentuk Sekolah Perempuan Pesisir Halmahera pada Agustus 2024 untuk memperkuat perlawanan dan pengetahuan mengenai daya rusak tambang. Tahun ini, Komunitas Perempuan Sagea sudah tiga kali bergabung dengan koalisi Save Sagea dalam aksi melawan kehadiran tambang nikel. Dinamisator Save Sagea, Adlun Fiqri, mengatakan perlawanan dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, termasuk perempuan, lantaran didorong pesan leluhur untuk menjaga lingkungan. “Ibu-ibu mempertahankan sungai yang selama ini memberi kehidupan,” katanya pada Selasa, 17 Desember 2024.
Adlun mengatakan dua tahun terakhir Sungai Sagea, yang merupakan hilir sungai bawah tanah Gua Bokimoruru, menjadi keruh setiap kali musim hujan besar. Keruhnya air Sungai Sagea menunjukkan imbuhan air berasal dari luar kawasan karst. Kualitas air dari luar kawasan karst ini dipengaruhi kondisi daerah aliran sungainya.
Hasil interpretasi Forest Watch Indonesia pada 2023 menunjukkan telah terjadi deforestasi di wilayah Daerah Aliran Sungai Sagea seluas 392 hektare akibat pembukaan jalan tambang dan kamp eksplorasi tambang. “Ada tiga izin usaha pertambangan yang beroperasi di kawasan karst Sagea. Mereka menambang nikel dan batu gamping,” ujar Adlun.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan munculnya perlawanan warga, terutama para perempuan, di berbagai daerah menjadi hal yang wajar lantaran besarnya dampak negatif pertambangan dan penghiliran nikel. “Beban kesehatan dan lingkungannya tinggi. Di sisi lain, pekerjaan lokal yang tersedia terbatas,” ucapnya.
Gerakan solidaritas yang dilakukan untuk menuntut hak warga Desa Torobulu yang rusak oleh PT. WIN, di depan kantor Gubernur Sulawesi Tenggara, di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Foto/Alfi Yorifal
Penelitian Celios bersama Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang terbit pada Februari 2024 menyebutkan operasi industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara hanya menghasilkan produk domestik bruto US$ 4 miliar pada tahun kelima atau tahap konstruksi. Nilai itu kemudian menurun setelah dampak lingkungan hidup dan kesehatan mulai memperlihatkan efek negatifnya terhadap total output perekonomian.
Proyeksi upah pekerja dalam jangka panjang pun cenderung turun karena pendapatan pekerja di sektor pertanian dan perikanan terkena dampak industri pengolahan nikel. Selain itu, penurunan produktivitas akibat pencemaran udara mempengaruhi pendapatan pekerja.
Penelitian Celios dan CREA juga memproyeksikan dampak industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara dapat menghasilkan kerugian dari US$ 387,1 juta dalam 15 tahun bagi sektor pertanian dan perikanan. Skenario beroperasinya industri nikel saat ini pun diperkirakan dapat menyebabkan petani dan nelayan kehilangan pendapatan US$ 234,84 juta dalam 15 tahun ke depan.
Dampak-dampak itu belum mencakup dampak kesehatan dan lingkungan dari polusi udara. Bhima mengatakan pemerintah harus menumbuhkan keterlibatan aktif masyarakat lokal melalui diskusi publik yang rutin dan pelaksanaan program komunikasi, pendidikan, serta kesadaran masyarakat. “Masyarakat lokal mempunyai hak untuk sepenuhnya memahami dampak pembangunan industri nikel dan harus diikutsertakan dalam semua tahap pengambilan keputusan.” ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo