Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para perempuan di Pulau Wawonii melawan aktivitas perusahaan tambang.
Warga memenangi gugatan di pengadilan, tapi diingkari oleh perusahaan tambang.
Pemerintah bersekongkol dengan perusahaan tambang untuk mengeksploitasi nikel.
PULAU Wawonii di Sulawesi Tenggara yang kaya akan hasil bumi seperti jambu mete, pala, cengkih, dan kelapa menyimpan keistimewaan lain: para perempuan yang perkasa. Mereka menjadi benteng tatkala pulau yang juga memiliki kandungan bijih nikel ini akan dieksploitasi besar-besaran oleh perusahaan tambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya berinteraksi dengan para perempuan ini dalam kesempatan yang kurang mengenakkan, yaitu pada 2019. Saat itu Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendampingi tiga warga Wawonii, yaitu Wa Ana, Amin, dan Labaa (kini almarhum), yang dilaporkan ke polisi oleh perusahaan tambang karena dituduh menghalangi pembuatan jalan. Salah satu perempuan tangguh itu adalah Ratna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski tidak masuk daftar 35 warga Wawonii yang dikriminalisasi, Ratna yang berusia 58 tahun aktif menghalau upaya penerobosan lahan oleh perusahaan tambang. Pada Maret 2022, dia bersama puluhan perempuan lain berbaring di tengah jalan kampung, berupaya menghadang alat berat milik perusahaan tambang yang akan melewati pembatas lahan warga. Mereka juga bertelanjang dada, memprotes upaya penjarahan lahan warisan nenek moyang mereka.
Ratna dan para perempuan Wawonii pun tak mudah percaya atas tawaran uang dan aneka janji manis perusahaan tambang. Duit ratusan juta rupiah dia tolak lantaran tak bisa menggantikan tanah dan hasil bumi yang bisa ia nikmati bersama anak-cucunya. Pun dengan cara-cara licik pemerintah setempat dan pengusaha tambang yang terus berusaha melumpuhkan resistansi warga.
Bukan rahasia lagi bahwa perusahaan tambang memakai tangan pemerintah. Berdasarkan catatan Jatam, sepanjang 2018-2024, upaya penerobosan lahan warga, teror, hingga kriminalisasi terus berlangsung di wilayah-wilayah yang kaya akan hasil tambang, seperti Pulau Wawonii. Warga yang menolak aktivitas tambang diancam dengan sejumlah jerat hukum, seperti Pasal 162 Undang-Undang Mineral dan Batubara soal perintangan kegiatan pertambangan serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Padahal, jika melihat kondisinya, luas Pulau Wawonii atau Konawe Kepulauan hanya 706 kilometer persegi. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pulau dengan luas kurang dari 2.000 kilometer persegi diklasifikasikan sebagai pulau kecil yang dilarang untuk aktivitas pertambangan apa pun, termasuk tambang nikel dan mineral lain.
Dengan demikian, berdasarkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah Konawe Kepulauan yang disahkan pada 2021, pertambangan tak mendapat tempat di Pulau Wawonii. Bahkan, dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2018-2038, Pulau Wawonii beserta perairan di sekitarnya dialokasikan untuk kawasan pemanfaatan umum, yaitu kegiatan perikanan tangkap, bukan pertambangan. Namun kekayaan mineral seperti nikel membuat pemerintah menutup mata dan secara terbuka melakukan pembangkangan hukum.
Lukman Abunawas, Bupati Konawe 2003-2013, terus mengobral izin tambang. Sebanyak 15 di antaranya mengepung Pulau Wawonii. Izin tambang itu tersebar di enam kecamatan, dari Wawonii Barat, Wawonii Tengah, Wawonii Selatan, Wawonii Timur, Wawonii Utara, hingga Wawonii Tenggara. Dari semua izin tambang yang terbit, satu di antaranya milik PT Gema Kreasi Perdana atau GKP, anak usaha Harita Group.
Operasi pertambangan GKP tersebut memicu gelombang protes warga yang didukung mahasiswa. Pada akhirnya, aksi itu memaksa Ali Mazi yang menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara untuk mencabut sembilan izin tambang pada April 2019. Belakangan, diketahui sembilan izin tambang yang dicabut itu adalah milik perusahaan yang status izinnya berakhir, sementara izin GKP tak tersentuh. Bahkan, pada 18 Juni 2014, Zulkifli Hasan yang ketika itu menjabat Menteri Kehutanan menerbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Nomor SK.576/Menhut-II/2014 untuk GKP.
Dua tahun setelah itu, pemerintah kembali menerbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Nomor SK. 1/1/IPPKH/PMDN/2016 seluas 378,14 hektare untuk GKP. Draf rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah Konawe Kepulauan yang sebelumnya tertahan di meja Kementerian Agraria dan Tata Ruang pun dibahas dalam rapat di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sulawesi Tenggara pada 23 Maret 2021. Aturan itu mengalokasikan ruang untuk tambang.
Ibu Hastati saat mengupas kelapa di Desa Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Foto/La Ode Muhlas
Padahal kajian akademik dan kajian lingkungan hidup strategis rencana tata ruang wilayah itu tak dibuka kepada publik dan tidak melibatkan masyarakat. Namun akhirnya Peraturan Daerah Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang rencana tata ruang wilayah terbit dan pupuslah harapan warga yang tak ingin wilayahnya dikooptasi perusahaan tambang. Maka, ketika Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan dan GKP meneken nota kesepahaman untuk kegiatan tambang di Pulau Wawonii pada 30 September 2021, warga tak ada pilihan kecuali melawan.
Sudah tujuh tahun lebih Ratna dan para perempuan Wawonii berjuang menyelamatkan ruang hidup mereka. Para ibu yang sebagian telah sepuh itu sudah biasa merasakan tendangan sepatu lars dan ancaman senjata aparat. Toh, mereka yang memang perkasa tak gentar mempertahankan lahan yang menjadi satu-satunya tumpuan kehidupannya agar tak dicaplok para penambang nikel.
Pada 2022, perlawanan warga Wawonii memasuki fase baru. Selain berunjuk rasa, mereka mengajukan gugatan hukum atas izin usaha pertambangan (IUP), peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah Konawe Kepulauan, dan izin pinjam pakai kawasan hutan milik GKP. Upaya ini menempuh jalan berliku. Dalam gugatan IUP, misalnya, semula warga menang di pengadilan tingkat pertama dan kalah di tingkat banding. Sedangkan gugatan warga terhadap peraturan rencana tata ruang wilayah yang mengizinkan aktivitas tambang menang di tingkat Mahkamah Agung.
Setahun setelah kemenangan itu, warga menggugat izin pinjam pakai kawasan hutan. Setelah melalui proses panjang, Mahkamah Agung pada akhirnya mengabulkan upaya kasasi warga Wawonii. Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pun memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut izin penggunaan kawasan hutan untuk tambang nikel GKP seluas 707,10 hektare.
Tapi, alih-alih dipenuhi, putusan hukum yang sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap itu dilawan oleh perusahaan tambang lewat uji materi Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Lagi-lagi warga Pulau Wawonii melawan dengan mengajukan diri sebagai pihak terkait. Hingga 21 Maret 2024, majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan perusahaan tambang dengan alasan aktivitas pertambangan berpotensi merusak ekosistem sumber daya pulau kecil.
Seharusnya Ratna dan warga Pulau Wawonii lain bisa bernapas lega karena tak ada lagi ruang legal untuk operasi perusahaan tambang di kampungnya. Namun ternyata GKP masih beroperasi. Pembangkangan hukum perusahaan tambang ini dan pembiaran yang dilakukan pemerintah menjadi preseden buruk bagi penyelamatan ruang hidup warga. Hal ini pun menunjukkan kuatnya relasi ekonomi-politik antara negara dan korporasi. Persekongkolan jahat itu berlangsung secara terbuka. Peristiwa di Wawonii pun menjadi preseden buruk bagi jutaan warga di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lain.
Mengutip catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau Kiara, hingga pertengahan 2023, ada 226 pulau kecil sedang diprivatisasi untuk pertambangan, industri pariwisata, dan konservasi. Di sektor pertambangan, terdapat 218 izin yang mengkaveling 34 pulau kecil di Indonesia dengan luas konsesi 274.549,57 hektare. Eksploitasi pulau-pulau kecil oleh pertambangan akan memicu bencana ekologis dalam jangka pendek ataupun panjang. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo