Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BRIGADIR Jenderal Purnawirawan Heru Sukrisno hampir oleng mendengar putusan yang dibacakan hakim Kolonel Laut Yutti S. Halilin, Senin pekan lalu. Lestari, istrinya, yang berdiri di kursi pengunjung Pengadilan Militer II Jakarta, terceguk menahan tangis mendengar Heru dinyatakan bersalah. "Suami saya tak bersalah," katanya.
Heru didakwa melanggar Undang-Undang tentang Kearsipan. Oditur militer menuntut alumnus Akademi Militer 1973 itu delapan bulan penjara. Meski menyatakan dakwaan oditur terbukti, hakim menjatuhkan vonis enam bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan. Heru memang tidak harus masuk penjara kecuali dia melakukan kejahatan pada masa percobaan. Meski begitu, Lestari-yang dua kali terserang stroke setelah suaminya menjadi tertuduh-tetap saja merasa terpukul.
Semua berawal pada September 2005, setahun sebelum Heru Sukrisno pensiun. Ketika itu, dia diperintahkan Wakil Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Mayor Jenderal Endang Suwarya membuat ringkasan hasil audit proyek-proyek besar yang sudah dikerjakannya. Selama 2000-2006, Heru bertugas sebagai inspektur logistik dan material pada Inspektorat Jenderal Angkatan Darat dengan pangkat kolonel.
Di antara ringkasan yang diminta Jenderal Endang adalah audit pengadaan pesawat Fokker 50. Tim audit pimpinan Heru menyimpulkan pembelian pesawat pada 2003 itu fiktif belaka. Pesawat berpenumpang 50-58 orang dengan kecepatan maksimum 500 kilometer per jam ini ternyata dimiliki PT Transwisata Prima Aviation, perusahaan penyewaan pesawat milik pengusaha Tomy Winata. Padahal Angkatan Darat sudah mengalirkan uang Rp 17,8 miliar ke rekening PT Abadi Sentosa Perkasa, perusahaan yang disebut sebagai pemilik pesawat dalam proses pengadaan.
Dana itu berasal dari alokasi anggaran Rp 20 miliar yang seharusnya untuk membeli pesawat Bell buatan Textron Incorporated, Kanada. Tak ada alasan jelas tentang pengalihan anggaran itu. Transaksi dilakukan pada Februari 2004. Penjual Fokker tersebut adalah Aircraft Holding IX LLC, perusahaan maskapai penerbangan asal Belanda. Harga pesawat itu US$ 19 juta.
Masalahnya, tim audit menemukan pembeli pesawat bukan Angkatan Darat, melainkan PT Transwisata Prima Aviation. Meski sempat nangkring di pusat logistik Angkatan Darat dan dipakai Kepala Staf Jenderal Ryamizard Ryacudu, pesawat ini dioperasikan oleh Transwisata. Fokker ini antara lain disewa oleh calon-calon presiden yang berkampanye untuk pemilihan pada 2004.
Tim audit tak bisa melacak muara uang Rp 17,8 miliar yang telah dialirkan. Sebab, seperti tertera dalam kuitansi, penerima dana adalah penduduk sipil. Para auditor beralasan pemeriksaan pada orang sipil tak dimungkinkan. Kepada Tempo, yang menulis persoalan ini pada 2005, Jenderal Ryamizard mengatakan pesawat berkode PK-TWR itu dititipkan di Transwisata. "Karena kami tak punya pilot dan pramugarinya," ujarnya ketika itu.
Mendapat perintah dari Wakil KSAD untuk membuat ringkasan audit, Heru meminjam dokumen audit Fokker kepada Sekretariat Bagian Umum Inspektorat Jenderal Angkatan Darat. Ia memperoleh persetujuan dari Wakil Inspektur Jenderal Brigadir Jenderal Djoko Setiono. Selesai menjalankan tugas, Heru lupa mengembalikan salinan dokumen yang dia pinjam.
Pada pertengahan 2006, Heru dipromosikan menjadi Staf Ahli Panglima TNI dengan pangkat brigadir jenderal. Ia masih terlewat mengembalikan salinan dokumen. Pada saat yang hampir bersamaan, salinan sejumlah dokumen audit aneka proyek Angkatan Darat-yang sebagian besar hasil kerja tim Heru-beredar di Dewan Perwakilan Rakyat. Selain pembelian Fokker, ada dokumen audit penggelapan dana tabungan prajurit, pembelian senjata, juga penyelundupan mobil. Anggota Dewan mempertanyakan isinya dalam rapat-rapat dengan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Djoko Santoso.
Persoalan semakin pelik ketika ratusan senjata ditemukan di beberapa rumah Wakil Asisten Logistik Brigadir Jenderal Koesmayadi, yang meninggal di Cibubur, Jawa Barat, pada 26 Juni 2006. Dalam dokumen audit Fokker, Koesmayadi disebut memerintahkan panitia pengadaan agar mentransfer uang pembelian kepada kawan dekatnya-yang tak punya hubungan apa pun dengan perusahaan penjual pesawat.
Dalam sebuah rapat pada 10 Juli 2006 dengan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Djoko Santoso di Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Komisi Pertahanan, Ade Daud Nasution, membeberkan dokumen pemesanan senjata oleh Koesmayadi yang terindikasi tak melalui jalur resmi. Jenderal Djoko mengatakan tak tahu ada dokumen itu. "Ini pasti dibocorkan anak buah saya," katanya.
Alih-alih mengusut temuan audit, Markas Angkatan Darat meminta polisi militer melacak sumber kebocoran dokumen. Kolonel Heru Sukrisno menjadi tertuduh utama karena ia memimpin tim audit sejumlah proyek panas, termasuk pembelian senjata oleh Koesmayadi.
Heru berkukuh tak pernah membocorkan dokumen hasil audit ke Senayan. Dalam pemeriksaan oleh polisi militer, ia bisa meyakinkan tak ada bukti salinan dokumen keluar dari ruang kerjanya. Tak ada catatan fotokopi atau berkas rangkap. Pemeriksaan terhadap Heru pun berhenti hanya sebatas pemberkasan, tapi statusnya sebagai tersangka tak dicabut. Jenderal Agustadi Sasongko dan Jenderal George Toisutta, kepala staf setelah Djoko Santoso, tak meneruskan perkara ini.
Ketika Jenderal Pramono Edhie Wibowo menggantikan George, perkara dimunculkan kembali. Ia meneken surat penyerahan berkas pemeriksaan kepada Oditur Militer Tinggi II Jakarta pada 8 Agustus 2012. Tuduhan kepada Heru bukan lagi sebagai pembocor dokumen pengadaan senjata, melainkan menguasai dokumen negara secara tidak sah. Jeratnya Pasal 11 Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kearsipan. "Ini bukti kami menegakkan aturan meski beliau sudah pensiun," ucap Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Rukman Ahmad. "Sebab, kesalahannya saat masih aktif."
Dokumen negara yang dimaksud oditur dalam tuntutannya adalah salinan audit pembelian pesawat Fokker 50 yang lupa dikembalikan. Meski Heru bisa membuktikan peminjaman itu dilakukan secara sah dan kealpaannya terjadi karena penugasÂan ke luar daerah, hal itu tak menyurutkan putusan hakim.
Menurut oditur Sumartono, saksi-saksi di sidang menguatkan adanya peminjaman dokumen dan tak ada pengembalian. Ia juga menyatakan Heru tak menyangkal tuduhan itu. Fakta inilah yang menjadi bukti tuduhan "penguasaan dokumen negara secara melawan hukum". Soal pengusutan dugaan korupsi pengadaan Fokker, kata Sumartono, menjadi tanggung jawab polisi militer untuk menindaklanjutinya.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Moeldoko, yang menggantikan Pramono Edhie, mengatakan tak paham kasus yang menjerat Heru. Karena itu, ia akan mempelajarinya. Ia pun berjanji melihat hasil audit pembelian Fokker.
Bagja Hidayat, Nur Alfiyah, Indra Wijaya, Widiarsi Agustina
Penelisik Kejanggalan Proyek Jumbo
KOLONEL Heru Sukrisno dan tiga anak buahnya segera meluncur ke Pelabuhan Tanjung Priok pada suatu sore, September 2005. Ia mengingat ketika itu baru saja menerima panggilan telepon dari Komandan Batalion Perbekalan dan Angkutan Jakarta Utara, menyampaikan kabar yang telah ia tunggu: kapal perang Angkata Darat Republik Indonesia XLVI mendekati pelabuhan.
Di pelabuhan, auditor pada Inspektorat Jenderal Markas Besar TNI Angkatan Darat ini memerintahkan kapal segera merapat dan memeriksanya. Seperti yang ia perkirakan, kapal disesaki 22 mobil mewah. Ia sudah lama curiga karena kapal perang itu bolak-balik mengangkut mobil dari pelabuhan Batam sejak 2003. "Saya waktu itu juga menduga mobil-mobil itu mengangkut narkoba," katanya, menceritakan kembali perburuan itu pekan lalu.
Dalam dokumen pengapalan, mobil-mobil itu ditulis sebagai "randisjab/ranjab"-kendaraan dinas jabatan-untuk Angkatan Darat. Yang mencurigakan, aneka kendaraan itu bukan layaknya mobil tentara. Di situ ada Range Rover, Land Cruiser, bahkan Hummer. Heru dan timnya tak bisa membuktikan kecurigaan ihwal muatan narkoba, karena kunci mobil dibawa terpisah dari kapal.
Yang bisa dilakukan tim Heru hanya menahan mobil-mobil itu dan mengkarantinanya di kantor Bea-Cukai Tanjung Priok. Laporan yang dibuat Heru mengenai mobil selundupan itu segera membuat geger. Majalah Tempo edisi 16 Juli 2006 mencatat hiruk-pikuk sekitar mobil selundupan ini.
Pertanyaannya, siapa pemesan mobil mewah itu. Jawabannya meluncur dari Komandan Kodim 0316 Batam Eddy Rahmayadi. Eddy menggelar jumpa pers pada bulan itu untuk mengklarifikasi berita koran Batam, Pos Metro, yang menulis ia mengapalkan mobil-mobil bodong itu. "Saya hanya menjalankan perintah atasan," katanya. "Siapa, Pak?" wartawan bertanya. "Ksad Jenderal Ryamizard."
Ryamizard Ryacudu memimpin Angkatan Darat pada 2002-2005. Berdasarkan hasil audit, terungkap rangkaian pengiriman mobil itu. Pemesannya ternyata Wakil Asisten Logistik AD Brigadir Jenderal Koesmayadi, yang meninggal pada Juni 2006. Pernyataan resmi Markas Besar Angkatan Darat juga memberi konfirmasi bahwa mobil-mobil itu hasil selundupan. Mayor Jenderal Kiswantara Partadireja, Asisten Logistik pada era Ryamizard, mengatakan pengapalan mobil itu bukan perintah Kepala Staf. "Kalaupun ada, itu di luar kebijakan resmi," katanya. Selain dalam kasus mobil selundupan, Koesmayadi muncul dalam aneka proyek yang diaudit Heru dan timnya.
Masuk akademi militer pada 1973-seangkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Heru masuk di Kesatuan Perbekalan dan Angkutan. Berpindah tempat ke pelbagai kesatuan dari Bali hingga Medan, laki-laki Yogyakarta kelahiran 1950 ini ditempatkan menjadi inspektur di Inspektorat Jenderal Angkatan Darat pada April 2000.
Heru, yang pensiun sebagai brigadir jenderal pada 2006, biasa memilih sampel ketika mendapat perintah melakukan audit. Dalam tugas pertamanya, yakni memeriksa Direktorat Perbekalan, ia hanya melihat pengadaan alat tulis kantor. Ia juga memeriksa pembelian aki untuk kendaraan umum dan kendaraan tempur. Dalam waktu singkat ia menyimpulkan dana dua proyek itu digelembungkan lebih dari 50 persen. Penanggung jawab proyek itu kemudian dimutasi dan diturunkan pangkatnya.
Heru kemudian juga diberi tugas memeriksa proyek pengadaan perumahan bagi prajurit senilai Rp 30 miliar di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Lalu proyek tukar guling tanah milik Komando Daerah Militer Brawijaya. Hasil audit ini membuat mantan Panglima Kodam Brawijaya Letnan Jenderal Purnawirawan Djadja Suparman kini diadili di Pengadilan Militer Surabaya.
Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo