Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peretasan Berulang Akun Aktivis

Serangan digital terjadi setiap kali masyarakat sipil dan mahasiswa mengkritik kebijakan pemerintah. Serangan itu diduga terencana dan disengaja untuk kepentingan pemerintah.

 

22 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi percakapan aplikasi Whatsapp. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Akun media sosial dan WA pengajar STH Jentera Indonesia, Bivitri Susanti, diduga sengaja diretas.

  • Peretasan 12 akun mahasiswa menguatkan serangan digital ini untuk menggembosi gerakan mahasiswa.

  • Peretasan akun aktivis terjadi berulang setiap kali masyarakat sipil dan mahasiswa menentang kebijakan pemerintah.

JAKARTA – Bivitri Susanti heran saat tiba-tiba tak bisa mengakses akun WhatsApp miliknya, sekitar pukul 22.00, Rabu malam lalu. Padahal tiga jam sebelumnya, pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu masih sempat menggunakan aplikasi WhatsApp untuk kepentingan podcast tentang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ia pun menduga akun WhatsApp-nya sudah diretas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya langsung minta kirim verification SMS ke WA sampai tiga kali, tapi SMS itu tidak pernah sampai ke saya. Mungkin diblok juga,” kata Bivitri, Kamis, 21 April 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Curiga dengan kondisi itu, ia lantas bergegas mengecek akun Instagram-nya. Namun Bivitri juga sudah tidak bisa mengaksesnya. Saat hendak masuk, justru ia diminta memasukkan nomor kode verifikasi yang sudah dikirim ke nomor kontak tertentu, yang bukan nomor telepon seluler Bivitri.

“Akun Instagram itu kemudian mem-posting beberapa infografis yang menyatakan pendapat yang sangat bertentangan dengan pandangan saya selama ini,” ujarnya.

Salah satu isi unggahan itu mengenai kritik terhadap demonstrasi mahasiswa yang digelar kemarin. Berikut ini bunyi kutipan itu: “Mahasiswa ini ngapain, mau-maunya ditipu sama PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan Demokrat untuk demo di bulan puasa.”

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Selain akun Bivitri, peretasan lebih dulu menimpa akun WhatsApp dan media sosial milik 12 mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Indonesia. Mereka di antaranya adalah Wakil Presiden Mahasiswa Universitas Esa Unggul, Muhammad Yusuf; dan Koordinator Blok Politik Pelajar, Iqbal Ramadhan. Peretasan akun aktivis ini berlangsung sejak 17 April lalu, saat aliansi mahasiswa berencana menggelar demonstrasi serentak menolak agenda Jokowi tiga periode, yang diagendakan kemarin.

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, mengatakan pola peretasan akun aktivis ini menguatkan dugaan serangan digital itu dilakukan secara terencana. Indikasinya, peretasan akun dilakukan dalam waktu yang hampir sama dan bertubi-tubi. Peretasan terjadi sejak mahasiswa berdemonstrasi menentang agenda penundaan Pemilu 2024 dan Jokowi tiga periode pada Maret lalu hingga kemarin.

Menurut Damar, peretasan akun aktivis ini sengaja dilakukan untuk menggembosi gerakan mahasiswa. Apalagi serangan digital itu dilakukan terhadap akun WhatsApp pentolan mahasiswa yang merupakan jalur komunikasi dan koordinasi untuk memobilisasi massa. "Sehingga konsolidasi dan mobilisasi terputus," kata Damar, kemarin.

Indikasi lain, kata dia, pelaku meretas nomor ponsel korban dan menemukan orang-orang kunci dalam gerakan mahasiswa. Artinya, kata Damar, komunikasi setiap kelompok mahasiswa diduga sudah dipantau sejak awal. Apalagi mereka sering berkonsolidasi di ruang terbuka tanpa proteksi enkripsi tambahan di akun media sosialnya. "Yang pasti ini bukan kerjaan orang iseng," ujarnya.

Serangan digital kali ini menguatkan temuan SAFEnet ihwal berbagai insiden peretasan akun aktivis terdahulu, yaitu peretasan akun aktivis karena motif politik. "Lagi-lagi SAFEnet menemukan pola bahwa serangan digital ini bermotif politik, bukan motif ekonomi atau personal," katanya.

Dia menjelaskan, peretasan akun Bivitri serupa dengan serangan digital terhadap Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), Sasmito Madrim. Peretasan akun Sasmito diikuti dengan tambahan penyebaran disinformasi untuk mendukung pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).

SAFEnet menemukan 193 kasus serangan digital yang didominasi peretasan sepanjang tahun lalu. Angka peretasan mencapai 136 kasus. Lalu, ada 14 kasus pembobolan data, 9 kasus akun palsu atas nama korban, 6 kasus phising, serta 24 kasus doxing. Serangan digital pada 2021 meningkat 38 persen dibanding pada tahun sebelumnya yang hanya 147 kasus. Korban serangan digital ini pada umumnya kelompok masyarakat sipil yang mengkritik kebijakan pemerintah, seperti jurnalis, aktivis, mahasiswa, pegiat hak asasi manusia, serta akademikus.

Rata-rata peretasan akun aktivis masif terjadi ketika muncul demonstrasi menolak kebijakan pemerintah. Misalnya, saat demonstrasi menolak revisi kedua Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019. Saat itu akun media sosial mahasiswa dan pegiat antikorupsi diretas. 

Peretasan kembali berulang ketika publik berunjuk rasa menolak pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020 serta ketika publik ramai-ramai menolak pemecatan pegawai KPK dengan dalih tak lulus tes wawasan kebangsaan pada 2021. Teranyar, peretasan akun pentolan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia saat berunjuk rasa menentang agenda Jokowi tiga periode dan kenaikan harga kebutuhan bahan pokok pada 11 April lalu.

Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia Communication  and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menduga ada kelompok tertentu yang sengaja meretas akun mahasiswa dan Bivitri dalam waktu yang hampir sama tersebut. "Aksi peretasan semacam itu bisa dilakukan oleh siapa saja dengan berbagai tujuan yang berbeda," kata Pratama.

Ia mengatakan pola peretasan dapat dilakukan dengan berbagai macam, di antaranya dengan menanam malware ke perangkat korban. "Yang paling mutakhir, seperti Pegasus, hanya dengan mengirim pesan WhatsApp, ponsel korban sudah terinfeksi, lalu ponsel pintar beserta isinya sudah dalam kontrol pelaku," ujarnya.

Dia berpendapat, aktor peretasan seharusnya bisa diungkap lewat penyelidikan khusus, baik secara teknis maupun melalui informasi jaringan yang dimiliki. Pratama berkaca pada kasus peretasan iPhone milik Jeffrey Preston Bezos, pemilik saham mayoritas Amazon.com. Ketika itu, Jeff Bezos menyewa konsultan khusus untuk membantu menginvestigasi peretasan ponselnya, meski tak dilanjutkan ke jalur hukum. Dari investigasi itu diketahui sarana yang digunakan untuk meretas iPhone milik Jeff Bezoe serta pengirimnya.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Shanti Purwono, enggan mengomentari insiden peretasan akun aktivis tersebut. "Lebih tepat ditanyakan ke Menteri Kominfo atau Menteri Polhukam,” katanya. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. serta Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate belum menjawab pertanyaan Tempo perihal ini.

Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, menjelaskan, pola serangan siber secara masif terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian besar korban serangan digital ini adalah kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Ia pun menduga bahwa peretas itu merupakan jejaring yang terhubung dengan kepentingan pemerintah. "Setelah melihat polanya, kesimpulan paling logis begitu," katanya.

Menurut dia, pemerintah seharusnya mengusut peretasan akun aktivis ini untuk membantah tudingan itu. Jika membiarkannya, pemerintah dapat dianggap terlibat pelanggaran hak asasi manusia by omission atau pelanggaran akibat pembiaran terhadap suatu tindak kejahatan.

AVIT HIDAYAT 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus