Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dr A.B. Susanto
Beberapa konglomerat mendirikan perguruan tinggi, sebut saja Bakrie School of Management, Prasetiya Mulya, President University, Ciputra University, Universitas Pelita Harapan, Ma Chung. Ada yang terspesialisasi di bidang bisnis, tapi sebagian besar adalah universitas dengan berbagai fakultas dan program studi. Tentu maksud para konglomerat itu, agar cita rasa bisnis di perguruan tinggi lebih pekat.
Apakah mereka bermaksud mencetak lulusan agar menjadi konglomerat atau sebatas siap bekerja di lingkungan bisnis (corporate man)? Melihat sebagian besar universitas memiliki berbagai fakultas, tentu tujuan akhirnya bukan hanya mencetak konglomerat. Namun, apa pun alasannya, sebaiknya para konglomerat yang mendirikan universitas, seperti halnya mendirikan rumah sakit, harus berdasarkan idealisme, atau merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan, bukan karena motif bisnis. Sebab, mereka telah memiliki berbagi bisnis lain yang berorientasi laba.
Pertanyaan lain yang menggelitik, apakah para konglomerat itu juga menyekolahkan anak, atau mungkin cucu mereka, di universitas yang mereka dirikan. Jamak terjadi, mereka menyekolahkan keturunan mereka di perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat seperti Wharton School, University of Southern California (USC), atau Pepperdine University. Sekolah bisnis USC, misalnya, semboyannya pun sudah jelas: we want to be rich. Di Jepang, Tokyo University mencetak corporate man, sedangkan yang lebih terbuka dan menggunakan bahasa Inggris adalah Waseda University. Tak dapat ditampik, mereka terinspirasi perguruan tinggi ternama berkelas global. Jika melihat kenyataan saat ini, yang telah terbukti menghasilkan wirausaha tangguh justru ITB. Namun tidak tertutup kemungkinan alumni universitas yang didirikan para konglomerat akan menghasilkan corporate man, dan juga wirausahawan tangguh.
Di tengah pusaran globalisasi, ekonomi pasar, dan sistem meritokrasi, perguruan tinggi dihadapkan pada peran dilematis. Di satu sisi, lembaga ini harus bertumpu pada idealisme sebagai penegak nilai, melalui kontrol sosial yang dilakukannya institusi, maupun melalui karakter alumninya. Di sisi lain, perguruan tinggi—sebagai sebuah sistem terbuka—tidak dapat lepas dari lingkungan yang berorientasi pasar. Tak pelak, perguruan tinggi harus mendesain kurikulum dan sistem pendidikannya agar keluarannya diterima pasar. Mereka kemudian diharapkan survive dan mampu ”merancang” jalur kariernya sendiri (employability).
Perjalanan perguruan tinggi di negara ini memang berliku. Ada saatnya perguruan tinggi kita sarat nuansa politik. Ada masanya syahwat politik itu ditekan sedemikian rupa. Minat masyarakat untuk menyusuri pendidikan tinggi juga mengalami dinamika. Kenyataannya, salah satu fungsi pendidikan bagi masyarakat adalah sarana untuk mendaki tangga sosial, dari kedudukan sosial yang ada sejak semula menjadi sesuatu yang diperjuangkan.
Peluang inilah yang disambar oleh para konglomerat. Salah satu ciri khas perguruan tinggi yang didirikan para konglomerat adalah orientasi terhadap keluaran yang diupayakan sedekat mungkin dengan kebutuhan dunia kerja. Misalnya program magister manajemen Prasetiya Mulya yang meniadakan penyusunan tesis, dan digantikan dengan penyusuan rencana bisnis sebagai tugas akhir. Masyarakat mempersepsikan alumni mereka lebih siap kerja.
Selain kesiapan kerja, globalisasi mendapat perhatian lebih dari perguruan tinggi yang didirikan para konglomerat. Mereka mempersiapkan alumni mereka dengan wawasan budaya global dan mengasahnya agar mempunyai sensitivitas global. Di lingkungan President University, misalnya, bahasa pengantar yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Inggris dan berupaya menerima mahasiswa dari berbagai negara. Selain kurikulumnya, universitas ini berupaya menciptakan suasana lingkungan bertaraf internasional, yang memungkinkan seorang peserta program dapat bertemu dengan peserta dari negara lain. Ini memungkinkan mereka untuk tidak hanya mempelajari ilmu yang diberikan, tapi juga belajar tentang budaya masing-masing, dan berupaya saling mengerti dan menghormati. Inilah nilai tambah yang diberikan program-program di institusi pendidikan yang berorientasi global.
Wawasan global memang menjadi prasyarat dalam berpartisipasi dalam ekonomi global. Beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia berupaya mengakomodasinya. Program MBA di University of Michigan, Ann Arbor, mempunyai kekhususan program Asia Tenggara. Mahasiswa juga belajar aspek nonekonomi, seperti sejarah dan politik Asia Tenggara. Wharton Business School memberikan program yang lebih terpadu agar alumninya mampu menjawab tantangan global.
Tampaknya, dengan keleluasaan yang lebih longgar dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi swasta yang didirikan para konglomerat menjadikan nuansa global sebagai andalan mereka. Beberapa di antaranya memiliki setting bangunan seperti universitas di Amerika Serikat, dan mendatangkan pengajar dari luar negeri.
Bagian terpenting yang harus dijadikan kerangka dalam menciptakan pendidikan yang berorientasi global adalah pendidikan budaya, yang mengacu pada kemampuan individu untuk meningkatkan kompetensi budaya, tapi tidak kehilangan identitas diri. Bukan hanya menciptakan keseragaman, melainkan juga keanekaragaman, termasuk pula keragaman budaya.
Catatan penting bagi perguruan tinggi berwawasan global adalah adanya keseimbangan antara peningkatan wawasan kebudayaan dan rasa identitas diri yang kuat. Ketiadaan kompetensi budaya di era global ini membuat pola berpikir menjadi sempit dan tidak mampu melihat, apalagi menghargai, orang yang berlatar belakang budaya lain. Di sisi lain, peningkatan wawasan kebudayaan ini tidak boleh menghilangkan identitas nasional, tapi justru harus memperkaya jati diri. Sehingga persoalannya adalah bagaimana menciptakan seseorang yang mampu berperilaku sebagai warga negara yang baik (civil competence), yang mempunyai wawasan kebangsaan dan rasa nasionalisme kuat, sekaligus mempunyai kompetensi budaya.
Lantas bagaimana dengan pendidikan kewirausahaan? Selama ini pendidikan lebih difokuskan pada keterampilan teknis semata, tapi kurang berfokus pada pembentukan kepribadian yang dapat menunjang hidup dan berkembangnya jiwa kewirausahaan seseorang seperti kepercayaan diri, kejelian melihat dan memanfaatkan peluang, membangun karisma, empati, serta semangat bersaing menjadi yang terbaik.
Lingkungan perguruan tinggi yang didirikan para konglomerat memang lebih kondusif dalam membentuk aspirasi, sikap, serta perilaku positif terhadap kewirausahaan. Mahasiswa akan melihat wirausaha sebagai alternatif pilihan karier sekaligus untuk menanamkan kesadaran bahwa menjadi seorang wirausahawan adalah sebuah pekerjaan yang terhormat. Barangkali kewirausahaan dapat diajarkan di perguruan tinggi mana pun, tapi di perguruan tinggi yang didirikan oleh konglomerat akan mendapat tempat persemaian yang lebih subur. Contoh sukses pendirinya akan selalu menjadi inspirasi bagi mahasiswanya. Jadi, meskipun sebagian alumninya akan menjadi corporate man, suatu saat dorongan untuk berwiraswasta tetap tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo