Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=#FF0000>Fasli Jalal: </font><br />Bisa Jadi Trend Setter

19 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga kini perguruan tinggi masih menghadapi masalah klise: lulusannya kurang siap kerja atau tidak mampu menciptakan lapangan kerja. Para konglomerat yang mendirikan perguruan tinggi mencoba mencari solusi dua tantangan besar ini. Mereka merancang perguruan tinggi yang pas dengan pasar atau mampu menjadi wirausaha serta berstandar internasional.

Bagaimana pemerintah menyikapi langkah konglomerat mendirikan perguruan tinggi? Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan merangkap Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, memberikan penjelasan kepada Tempo.

Berikut ini petikannya.

Para pengusaha mendirikan universitas. Bagaimana evaluasinya?

Kampus kampus itu melompat lebih cepat, jadi trend setter. Dengan sumber memadai, mahasiswa bisa menimba ilmu yang maju dengan mendatangkan pakar internasional, memiliki benchmark internasional, mengusung teknologi baru, juga menerapkan praktek. Dalam beberapa hal kita terbantu. Mereka menjadi salah satu sumber inovasi dan kreativitas.

Apakah sesuai dengan sistem yang ada?

Karena lebih cepat, kadang melampaui regulasi atau standar umum. Misalnya program studi baru, teknologi baru, sistem kelas yang tidak perlu bertatap muka, melainkan dengan multimedia, sistem kredit semester dengan perhitungan baru. Hubungan dengan kami pun dinamis.

Apakah mampu menjawab tantangan: mengurangi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja?

Belum tahu. Rata rata kan baru berdiri. Yang jelas, sejak awal mereka berkonsentrasi di jalur profesi, mengusung konsep link and match atau kewirausahaan. Alurnya pun mengikuti jalur profesi, sehingga pengajarannya juga berupa penyiapan mental, pematangan skill dengan pelatihan, simulasi dunia usaha.

Apa kekurangannya?

Belum terlihat. Yang pasti, konsep pokok universitas adalah mendidik orang untuk berpikir analitik, sebelum menjurus ke arah profesi. Jadi pendidikannya untuk analisis, spekulasi jauh ke depan, mimpi mimpi di luar kotak. Harus ada porsi untuk ilmu dasar, filsafat ilmu, teori besar di bidangnya yang tercatat mendorong perubahan. Itu tidak bisa digantikan. Nah, kalau hanya berat di jalur profesi, bisa kehilangan orang orang yang analisisnya kukuh atau ilmuwan yang membuat pengembangan ke depan. Bicara tentang universitas, jangan korbankan visi dasar membangun kemampuan analitik.

Ada kritik, pendidikan yang menekankan analitik menghasilkan lulusan tidak siap kerja?

Itu relatif. Kunci kesiapan kerja adalah kompetensi. Itu tidak hanya dari pendidikan. Kompetensi dibangun melalui tiga hal. Pertama, kurikulum yang mengembangkan kemampuan optimal pelajar. Kedua, simulasi setting industri ke kampus. Semacam usaha masuk kampus. Ketiga, penyelarasan dunia pendidikan dengan dunia kerja. Yang terakhir ini modelnya bisa pelatihan oleh industri. Jadi tidak ada pendidikan yang 100 persen sudah link and match. Dalam hal ini, para konglomerat dengan kampusnya itu punya kelebihan mencoba menjembatani ini.

Apa dukungan pemerintah terhadap mereka?

Dulu pernah ada kebijakan mereka tidak boleh mendirikan perguruan tinggi. Pertimbangannya adalah untuk melindungi perguruan tinggi lama yang memiliki sejarah panjang dan telah membuktikan dedikasinya. Sekarang boleh saja mereka mendirikan perguruan tinggi baru tapi dengan catatan harus ada nilai tambah, memberikan layanan di atas standar pasar yang ada, juga memiliki sudut pandang baru.

Dulu mereka sulit sekali mendapat izin dan macam macamlah penderitaan mereka. Kadang mereka sampai membeli izin atau membeli perguruan tinggi yang sudah hampir mati, hingga Rp 150 miliar. Itu yang kita cegah. Jangan keluarkan uang sepeser pun. Lebih baik diinvestasikan untuk beasiswa, dan kita bantu izinnya.

Setelah ada kemudahan, mereka bisa menambah program studi atau kurikulum. Jika standarnya tinggi, kampus kampus itu bisa menahan anak anak kita sekolah ke luar negeri, yang biayanya mencapai enam sampai sepuluh kali lipat. Jadi bisa menghemat devisa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus