Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=#FF0000>Sofjan Wanandi:</font><br />Bukan untuk Cari Untung

19 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HOTEL Indonesia, Jakarta, 30 tahun silam. Bersama ratusan pengusaha lain, Sofjan Wanandi ikut mengacungkan jari setuju membentuk yayasan pendidikan. Yayasan Prasetiya Mulya ini menjadi cikal-bakal Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya. Pria yang lahir pada 3 Maret 1941 di Sawahlunto, Sumatera Barat, ini menceritakan sejarah berdirinya perguruan tinggi pemberi gelar master of business administration pertama di Indonesia itu kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu. Bos Grup Gemala yang pernah men­jabat wakil ketua harian dewan pembina yayasan ini juga menyampaikan visi sekolah itu, relevansinya saat ini, dan rencana ke depan.

Bagaimana latar belakang Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya?

Pada 1980, di Hotel Indonesia, pertama kalinya para pengusaha diundang ikut Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Di pengujung acara, Pak Sudomo, Panglima Komando Operasi Pemulih­an Keamanan dan Ketertiban, meminta pengusaha punya nasionalisme tinggi. Pengusaha dinilai sebagai pihak yang selalu ”meminta”. Kami diminta memberikan­ sumbangsih di bidang pendidikan karena Indonesia kekurangan entrepreneur.

Malam itu, sebelum penataran ditutup, kami berkumpul dan sepakat mendirikan yayasan pendidikan bisnis. Dana langsung digalang, terkumpul Rp 80-an miliar. Om Willem (William Soeryadjaya, almarhum) spontan memberikan tanahnya di Cilandak, yang lalu menjadi lahan sekretariat dan gedung. Nama sekolah Prasetiya Mulya diberikan presiden saat itu, Soeharto, yang artinya janji mulia.

Siapa saja konglomerat yang mendirikan yayasan ini?

Pengusaha yang menggalang dana di antaranya Liem Sioe Liong, William Soeryadjaya, Eka Tjipta Widjaja,­ Ciputra, The Nin King, dan Sukanto Tanoto. Sedangkan think tank yang mewujudkan sekolah bisnis berasal dari Centre for Strategic and International Studies, seperti Hadi Soesastro, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, Kwik Kian Gie, Djisman Simandjuntak, dan Pang Lay Kim. Saat ini kepengurusan sudah diregenerasi. Om Liem ke Franky Welirang, William Soeryadjaya ke Edward ­Soeryadjaya, Eka Tjipta Widjaja ke Franky Widjaja.

Kapan sekolah ini dinilai sudah bisa mandiri?

Menurut saya, yayasan pendidikan tak akan bisa dilepas. Kecuali pendidikan dijadikan tempat cari untung. Tiap tahun kami berpikir bentuk corporate social responsibility apa untuk membantu. Kami tidak pernah stop fundraising. Apalagi ada rencana membuka S-1 di BSD yang butuh Rp 60 miliar lagi. Sekarang belum bisa investasi baru, bikin gedung baru, beli tanah tanpa dana baru. At the end, Prasetiya Mulya Business School benar-benar mandiri mungkin 5-10 tahun lagi.

Apakah sekolah ini akan membuka kelas diploma hingga strata tiga, atau berubah menjadi universitas?

Kita tidak tahu bakal buka D-3, D-4, S-3. Kita lihat prosesnya dulu. Kita besarkan sekolah ini agar tidak kalah dengan yang di luar negeri dan fokus tetap di bidang ekonomi.

Bagaimana Anda melihat pencapaian sekolah bisnis ini?

Dulu, saat krisis pada 1998, banyak pengusaha harus­ berkonsolidasi. Tapi, setelah ekonomi membaik, pemba­ngunan sekolah berlanjut. Cita-cita pendiri tercapai.­ Artinya, banyak yang lulus MBA tanpa ke luar negeri. Aktivitas alumninya pun banyak sekali. Semua pihak bangga.

Apa perbedaan Prasetiya Mulya Business School dengan sekolah bisnis lain?

Kami, para pengusaha, dilibatkan untuk mengajar di sekolah ini lewat CEO lecturing untuk berbagi pengalam­an dengan mahasiswa. Tidak ada lulusan yang susah cari kerja. Bahkan 30 persen lulusan sekolah ini membuat perusahaan sendiri, jadi entrepreneur baru. Sekolah ini the best selama bertahun-tahun. Lulusannya menjadi pemim­pin perusahaan dan pembicara di ajang interna­sional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus