Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awal pekan ini, genap dua bulan gedung lama Museum Nasional, Jakarta Pusat, ditutup. Pengunjung museum kini hanya bisa menikmati berbagai benda purba yang tersimpan di gedung baru. Persisnya di sisi kanan kompleks museum yang akrab disebut Museum Gajah itu. Isinya tak selengkap koleksi di gedung lama. Benda-benda yang paling menarik di gedung baru hanya prasasti kerajaan Jawa kuno dan tulang-belulang manusia purba.
Itu pun sebagian hanya replika. Sisa ruangan lebih banyak diisi peralatan adat Nusantara era modern. "Gedung lama ditutup karena renovasi," kata seorang anggota satuan pengamanan kepada setiap pengunjung yang hendak ke gedung lama. Mereka kecele. Kebanyakan pengunjung ingin melihat berbagai arca dan artefak kerajaan Indonesia kuno di gedung lama, yang selama ini dianggap sebagai bangunan utama museum. Akibatnya, kunjungan mereka ke Museum Nasional jauh lebih singkat karena hanya bisa menikmati separuh koleksi museum.
Bangunan lama peninggalan Belanda tersebut tutup sejak museum itu kemalingan pada 11 September lalu. Beberapa hari setelah pencurian, pejabat museum mengatakan bangunan lama ditutup hanya satu-dua hari. Kepala Bidang Kemitraan dan Promosi Museum Gajah Dedah Rufaedah mengatakan tak mengetahui pasti kapan bangunan itu dibuka lagi. "Gedung itu ditutup karena peralatan keamanannya sedang diperbaiki," ujarnya.
Empat artefak emas dari Kerajaan Mataram Kuno yang diperkirakan berusia lebih dari seribu tahun hilang dari lemari kaca di ruangan khusus artefak emas gedung lama. Keempatnya adalah lempeng Naga Mendekam berukuran 5,6 x 5 sentimeter, lempeng Bulan Sabit berukuran 8 x 5,5 sentimeter, cepuk atau wadah bertutup dengan diameter 6,5 sentimeter dan tinggi 6,5 sentimeter, serta lempeng Harihara berukuran 10,5 x 5,5 sentimeter. Artefak-artefak yang hilang itu dulu ditemukan di situs petirtaan Jalatunda, Mojokerto, dan Belahan, Penanggungan, Jawa Timur.
Sehari sebelumnya, beberapa saksi masih melihat keempat artefak itu di lemari kaca atau biasa disebut vitrine. Seorang office boy bernama Rizky yang mengetahui pertama kali artefak-artefak itu sudah tak ada lagi di sarangnya. Sehari kemudian, pencurian ini dilaporkan ke Kepolisian Resor Jakarta Pusat. Seperti sebuah kebetulan, alarm lemari kaca sudah tak berfungsi empat bulan lalu. Sedangkan kamera CCTV tak lagi merekam sejak November tahun kemarin. Malingnya tak ketahuan. Bahkan kapan persisnya ia beraksi juga tak diketahui.
Hingga kini keempat artefak itu seperti kembali ditelan bumi. Penyelidikan polisi tak berkembang meski sudah memeriksa 45 saksi, 15 di antaranya satpam yang bertugas pada malam itu. Sumber Tempo di kepolisian mengatakan para reserse sudah mulai angkat tangan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja menolak mengakui timnya menemui jalan buntu. "Kami masih jalan terus," katanya. Ia enggan bercerita banyak penyelidikan itu dengan alasan sibuk. Kepala Polres Jakarta Pusat Komisaris Besar Angesta Romano Yoyol juga enggan meladeni pertanyaan soal kasus ini.
PENCURIAN empat artefak di Museum Nasional seperti menjadi cemeti bagi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Sudah tiga tahun berlalu, hilangnya 75 benda pusaka milik museum hingga kini masih misteri. Tak satu pun barang terlacak, apalagi menunjuk hidung pencurinya. Untuk itulah baru-baru ini dibentuk tim pencari fakta, yang anggotanya berasal dari berbagai instansi kebudayaan di Yogyakarta. "Kami ingin kasus ini cepat selesai," ucap Kepala Museum Sonobudoyo Riharyani.
Pada 11 Agustus 2010, museum yang memiliki koleksi terlengkap kebudayaan Jawa setelah Museum Nasional ini dibobol maling. Semua artefak yang digondol terbuat dari emas. Hampir semuanya berasal dari Kerajaan Mataram Kuno berdasarkan periode yang sama, sekitar seribu tahun lalu. Di antaranya topeng emas Puspa Sarira, arca Awalokiteswara, dan perhiasan lain.
Ini salah satu pencurian museum terbesar dalam sejarah negeri. Dewan Perwakilan Rakyat bahkan sampai membentuk tim investigasi. Kementerian Pendidikan Nasional pun ikut turun tangan. Dukun dan paranormal bahkan dilibatkan. Namun tetap tak ada perkembangan penyelidikan. "Polisi merasa blank," tutur Kepala Unit I Satuan Reserse Kriminal Polres Yogyakarta Ajun Komisaris Ardi Hartana.
Sejak tiga tahun lalu, kata Ardi, reserse Yogyakarta terus mengendus keberadaan artefak-artefak tersebut. Perburuan ke Malang dan Bali sudah mereka jabani. Interpol bahkan dilibatkan. Semuanya kosong. "Banyak juga informasi bohong," ujarnya.
Kini Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta turut dilibatkan. Nur Satwika, ketua tim penyidik PPNS balai itu, mengatakan timnya akan membuka kembali berkas pemeriksaan 28 saksi. "Pemetaan kasus ini dimulai dari nol lagi agar tak ada yang tertinggal," katanya.
Mereka yang terlibat dalam penyelidikan mengetahui pencurian tersebut memanfaatkan jasa pegawai museum yang nakal. Namun, hingga sekarang, mereka tak punya bukti kuat. Semuanya cuma desas-desus. "Tak mungkin pencurian itu tak melibatkan orang dalam," ujar Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya Johannes Marbun.
Mantan pegawai Museum Sonobudoyo pun saling menunjuk koleganya terlibat pencurian. Eks Kepala Museum Bugiswanto, misalnya, mencurigai seorang mekanik listrik museum terlibat pencurian. Seorang pensiunan pegawai museum yang enggan diungkap identitasnya mengatakan justru satpam yang ikut bermain. "Saya yakin pencurian ini melibatkan pegawai museum," kata Bugiswanto.
Pencurian di Museum Nasional juga diyakini melibatkan orang dalam. Ada beberapa kesamaan pencurian di kedua museum ini. Saat pencurian terjadi, kamera CCTV dan alarm kedua museum sama-sama rusak. Pada malam itu, pengamanan satpam di kedua museum juga lemah. Barang yang dicuri sama-sama emas dan berasal dari periode kerajaan yang sama. "Kedua pencurian ini bisa saja berkaitan," ujar Johannes.
Artefak emas yang hilang di Sonobudoyo digunakan sebagai pelengkap upacara adat era Mataram kuno, yang mayoritas memeluk Buddha. Sedangkan empat artefak yang hilang di Museum Nasional merupakan media "pembersih" benda-benda adat agar suci kembali. Khusus artefak yang dicuri di Museum Nasional punya nilai lebih karena memiliki cerita sendiri.
Seorang kolektor yang tak mau identitasnya diungkap menceritakan sebenarnya keempat artefak itu tak terlalu bernilai. Ia heran mengapa si maling tak menggubris 4.000-an koleksi artefak emas lain di ruang itu yang secara materi lebih berharga. Ia menduga ada nilai mistis dari lempeng-lempeng emas itu karena ada inskripsi tulisan Jawa kuno yang hingga kini belum diterjemahkan. "Keempatnya jadi buruan mungkin karena nilai mistis itu," ucapnya.
Menurut arkeolog yang kini staf ahli di DPR, Sudiyatmiko Aribowo, artefak yang hilang di kedua museum itu justru tak ternilai harganya karena saat ini tak lagi ditemukan barang yang sama. Ketiga lempeng dan satu cepuk dari Museum Nasional itu sangat penting keberadaannya bagi artefak lain pada periode yang sama. "Kalau tidak ada keempat artefak itu, benda-benda upacara adat lain tak akan bisa digunakan karena dianggap tak suci lagi," katanya.
Itulah sebabnya keempat artefak dari Museum Nasional sempat dikabarkan nongol di Thailand. Menurut Miko, hal ini masuk akal karena Thailand dianggap salah satu pusat agama Buddha zaman dulu. Di sana juga banyak artefak purba yang harus disucikan. Kepolisian Daerah Metro Jaya dikabarkan sempat berburu ke Bangkok, tapi pulang dengan tangan hampa.
PENGUNGKAPAN kasus pencurian benda koleksi museum menjadi hal yang langka sejak negeri ini merdeka. Kasus pencurian di Museum Nasional, yang terhitung sudah lima kali terjadi, baru terungkap saat Kusni Kasdut menggasak koleksi permata dan lukisan museum itu pada 31 Mei 1961. Aksinya ketahuan karena ia merampok sambil membunuh petugas dan salah satu lukisannya ia jual. Saat bertransaksi itu keberadaannya ketahuan. Selain kasus Kusni, tak ada satu pun pencurian museum yang tercatat pernah terungkap aparat.
Sejauh ini polisi hanya bisa mencurigai pencurian di Sonobudoyo dan Museum Nasional dilakukan terencana. Para pencuri, kata Ajun Komisaris Ardi, sudah mengetahui persis apa yang akan dicuri. Kalau cuma pencuri biasa, menurut dia, kasus ini akan cepat selesai. Salah satu kesulitannya: benda-benda purbakala itu hingga kini tak pernah muncul ke permukaan alias diperjualbelikan. "Kalau salah satu artefak itu ada yang muncul, akan mudah menelusurinya," ucapnya.
Miko mengatakan mustahil menunggu artefak-artefak itu muncul ke permukaan. Ia menduga pencurian artefak di Museum Nasional dan Sonobudoyo dilakukan kelompok yang sama. Mereka sudah memesan benda-benda tersebut. Jaringan ini kemudian melibatkan orang dalam dengan rayuan segepok uang. Setelah itu, benda-benda tersebut disimpan untuk koleksi pribadi. "Kalaupun muncul, bisa belasan tahun lagi," katanya.
Ia juga ragu polisi akan bisa mengungkap kasus ini. Miko mengaku pernah terlibat perburuan arca dan artefak yang tercecer dan masuk ke sindikat jual-beli benda purbakala. Nilainya mencapai triliunan rupiah. Ada warga asing yang terlibat.
Ada juga tentara dan polisi serta instansi lain yang ikut bermain. Pangkat mereka bukan setingkat bintara. Ada jenderal yang diketahui senang bermain benda purbakala. Mereka menjadi "beking" sekaligus makelar benda-benda purba itu. Miko tak mau mengungkap identitas mereka dengan alasan beberapa dari mereka masih aktif. "Sistemnya sudah sangat kompleks dan rumit. Tak akan bisa terbongkar," ujarnya.
Perkara keteledoran pihak museum turut disorot. Seorang arkeolog yang tak mau disebut namanya menceritakan, ia sudah malang-melintang di semua museum di Indonesia. Sindikat pencuri museum mudah beraksi dengan memanfaatkan sistem keamanan dan administrasi museum yang bobrok. Bila ada arca atau artefak museum yang berpindah tanpa diketahui, pegawai museum tak langsung menanggapi. Tiba-tiba artefak atau arca itu kembali lagi, tapi sudah diganti dengan yang palsu. "Banyak koleksi museum diganti yang palsu agar tak ketahuan telah dicuri," katanya.
Seorang mantan pegawai teras Museum Nasional turut bersaksi, benda-benda purbakala di sana sangat mudah dipindahkan dari lemari kaca. Biasanya artefak atau arca itu dipinjam oleh para peneliti dari luar museum tanpa proses birokrasi. Maka ada kalanya pegawai museum kelimpungan karena sering benda-benda itu tak kembali dan tak diketahui "peminjam"-nya karena tak lewat catatan resmi. Ia hanya memberi satu petunjuk: semua peminjaman koleksi museum hanya bisa dilakukan atas seizin kepala museum. "Mustahil kepala museum tak tahu," ujarnya.
Dedah Rufaedah menampik tudingan ini. Penyelidikan, kata dia, masih terus berjalan. "Kalau hanya dugaan, pencurian itu bisa dilakukan siapa saja." Sejauh ini, menurut dia, ada sedikit titik terang dalam kasus pencurian ini. Ia tak mau membocorkan titik terang itu. Saat ini pihaknya dan kepolisian sangat optimistis keempat artefak itu akan ditemukan. Namun ia tak bisa berjanji kapan keempatnya bakal ditemukan.
Mustafa Silalahi, Nurdin Kalim (Jakarta), Pito Agustin Rudiana, Muhammad Syaifullah, Adi Mawahibbun Idhom, Shinta Maharani (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo